GURU NGAJI (2018)
Rasyidharry
Maret 15, 2018
Akinza Chevalier
,
Alim Sudio
,
Andiana Suri
,
Cukup
,
Dewi Irawan
,
Dodit Mulyanto
,
Donny Damara
,
Drama
,
Ence Bagus
,
Erwin Arnada
,
Indonesian Film
,
REVIEW
,
Verdi Solaiman
6 komentar
Khususnya di kampung, ustaz, guru ngaji, kiai, atau siapa
saja yang dipandang warga sebagai ahli agama adalah sosok terhormat. Sebisa
mungkin dia harus tanpa cela, yang akhirnya kerap menimbulkan pengultusan
terhadapnya. Guru Ngaji, yang
merupakan film kedua Erwin Arnada tahun ini setelah Nini Thowok (di sini ia hanya memakai nama “Erwin”), secara
mengejutkan coba melawan kesesatan pikir tersebut. Mukri (Donny Damara), si
guru ngaji yang dihormati, diam-diam punya pekerjaan kedua sebagai badut pasar
malam. Sang pendidik terhormat jadi bahan tertawaan bocah-bocah kala malam saat
ia mengolah banyolan serta trik sulap ketimbang ayat suci Al Qur’an.
Pada praktiknya, Mukri, yang merahasiakan pekerjaan badutnya
itu tak hanya dari warga sekampung tapi juga istri dan anaknya, memang tidak
dituntut banyak mengutip ayat dalam film ini. Mukri (dan filmnya) enggan berceramah. Sekalinya diminta mengisi khotbah
solat Jumat, yang merupakan satu dari hanya dua momen ia mengutip ayat suci
sepanjang film, Mukri sempat menolak. Dia memang tak merasa paling ahli, pula menolak
dipanggil ustaz. “Saya hanya guru ngaji biasa”, begitu ucapnya. Mukri ada di
tengah garis pembatas tipis antara rendah ati dan kurang percaya diri.
Dia pun takut sang istri, Sopiah (Dewi Irawan) malu mengetahu
suaminya adalah badut. Mungkin karena Mukri menyadari perilaku konsumtif
Sopiah, yang sempat diam-diam mengambil uang pelunas hutang untuk membeli baju.
Berbeda dengan Mukri, Sopiah ingin dipandang “tinggi” meski kondisi ekonomi
mereka serba kekurangan. Subplot ini nantinya memproduksi salah satu momen
paling emosional yang dapat tercapai berkat curahan rasa Dewi Irawan. Mungkin
sebagai karakter, Mukri terlalu baik hati, tapi fakta bahwa dia bukan “tukang
ceramah” patut diapresiasi. Daripada berkata “pacaran haram”, Mukri justru
mendukung Parmin (Ence Bagus), partner badutnya, merebut hati Rahma (Andiana
Suri). Karena hal terpenting bagi Mukri adalah membahagiakan sesama.
Naskah buatan Erwin Arnada bersama Alim Sudio (Takut Kawin, Ayat-Ayat Cinta 2) menyusun
dengan baik keping-keping kisah soal pencarian kebahagiaan yang didapat dari
meraih mimpi. Bukan mimpi muluk, karena bagi para tokohnya, memiliki motor demi
merenggut hati gadis pujaan atau mengunjungi Masjid Istiqlal andai tak mampu
menginjakkan kaki di Mekah juga sudah cukup. Turut tersirat pula kritik sosial
mengenai masyarakat yang membiarkan tindak korupsi Pak Kades (Tarzan) tetapi
mengutuk profesi Mukri sebagai badut—yang mana halal—walau elemen ini sekedar
numpang lewat tanpa resoulsi memuaskan.
Guru Ngaji masih mengusung formula “penderitaan
beruntun” yang menguasai kemiskinan, tapi akting jajaran pemain, terlebih Donny
Damara dan Ence Bagus, memudahkan untuk menaruh simpati. Keduanya bukan
mengedepankan penderitaan namun ketulusan. Bahkan di mata Ence Bagus yang
seolah selalu berkaca-kaca ketika dihadapkan pada persaingan melawan Yanto
(Dodit Mulyanto) memperebutkan Rahma pun saya melihat ketulusan. Erwin sendiri
bagai tak ingin mengemas segala aspek filmnya sebagai “pesakitan”. Walau
mengambil setting di kampung dengan tokoh miskin, kekumuhan urung
dieksploitasi. Tata artistiknya justru penuh warna, bahkan cuma sekedar gorden pun tampak merah menyala.
Sayang konklusi yang memaksakan diri menyentuh ranah
keberagaman justru memancing kesan problematis. [SPOILER ALERT!!!] Mukri dan Parmin diminta memerankan Santa Claus
di acara perayaan Natal dan Tahun Baru sebuah Gereja yang diurus oleh Koh Alung
(Verdi Solaiman), sang pemilik pasar malam tempat mereka bekerja. Sempat ragu,
tawaran itu akhirnya diterima. Tapi alih-alih Santa Klaus, keduanya, ditambah
putera Mukri, Ismail (Akinza Chevalier), datang memakai kostum badut, Gareng,
dan Petruk. Alasannya, “toh sama-sama tokoh fiktif”. Argumen itu tidak keliru,
tapi memberi kesan tanggung terkait pesan “menghargai keberagaman”. Pun kembali
ke tujuan Mukri yang ingin menebar kebahagiaan, apakah anak-anak di kursi
penonton bahagia? Bayangkan sebaliknya. Anda datang ke pertunjukkan wayang lalu
disuguhi Santa Claus dengan alasan “sama-sama tokoh fiktif kan?”. Apa anda
bahagia? Sepertinya tidak. Guru Ngaji
memaksa memberi resolusi terhadap hal yang sejatinya tidak perlu dijawab karena
bukan itu persoalan utamanya. Paling tidak film ini mencoba, meski serupa usaha
Parmin mendekati Rahma, “belum to the max”.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
6 komentar :
Comment Page:The death of stalin & game night
Recomended kah??
Asal suka satir politik + black comedy bakal suka Death of Stalin. Game Night baru nonton malam nanti.
Hehehe.......“penderitaan beruntun”..... menurut bang Rasyid film penderitaan beruntun yg paling berkenan apa????? Ane sih "Leviathan"..... Bang Rasyid, suka ma cassavetes film??? punya recomendasi film bw yg baru tau cassavetes???
Dancer in the Dark kali ya. Nggak terlalu sreg sama metode "bikin tokohnya semenderita mungkin" buat ambil simpati penonton. It's a cheap way.
Cassavetes sih kalau awal wajib A Woman Under the Influence dulu
Keberagaman dan toleransi kan ga harus mencampur adukan ritual2 atau budaya suatu agama mas.
Saya rasa itu keputusan yang tepat diambil penulis dan sutradara film ini.
Kalau menurut saya beberapa film "bernuansa religi" seperti berusaha menampilkan toleransi/keberagaman secara frontal atau maksa.
Contohnya di film Mencari Hilal.
Kayanya ga perlu se ekstrem itu untuk menjelaskan tentang toleransi/keberagaman.
Contoh film soal keberagaman dan toleransi yang lebih soft itu ya Aisyah Biarkan Kami bersauadara menurut saya.
Gini lho poinnya:
Anak-anak di acara itu dateng, pengen nonton sinterklas. Terus kita kasih wayang. Apa mereka seneng? Nggak lah, yang ada ngerasa dibohongin. Nggak ada hubungannya sama agama. Kalau pesan utamanya adalah "menebar kebahagiaan", keputusan yang diambil karakternya justru nggak bikin bahagia orang lain. Sama kayak dateng ke konser Coldplay, eh dikasih Foo Fighter. Ya sama-sama band, sama-sama oke, tapi kan bukan itu yang dicari. Apalagi ini anak-anak ya. Common sense aja itu. Dilihat dari kepentingan alur juga, nggak perlu masukin pesan toleransi antar-agama, lha yang dibahas sepanjang film bukan itu. Kenapa konklusi mesti lompat ke sana? Itu baru maksa.
Oh, 'Mencari Hilal' nggak maksa kok. Malah itu pesannya jelas "mau agamanya apa, alirannya apa, sesama manusia ya saling membantu".
Posting Komentar