Tampilkan postingan dengan label Alim Sudio. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Alim Sudio. Tampilkan semua postingan

REVIEW - SAYAP-SAYAP PATAH

Saya ingat betul suasana kala kerusuhan pecah selama 36 jam di rutan Mako Brimob Kelapa Dua, pada 8-11 Mei 2018. Walau cuma mengikuti perkembangan lewat berita di media sosial dan televisi, ada perasaan mencekam yang teramat kuat. Bagaimana tidak? Para napi terorisme menguasai tempat mereka ditahan, yang juga markas penegak hukum. That sounds like hell on earth. 

Sebuah peristiwa yang sangat "film material", namun alih-alih melahirkan suguhan intens sekaligus emosional, Sayap-Sayap Patah lebih seperti usaha seadanya (kalau tak mau disebut "malas"), yang asal memakai kerusuhan tersebut, semata sebagai alat jualan. 

Jangan salah, saya tahu maksud pembuatannya apa. Saya tidak naif dan mengharapkan penelusuran mendalam nan kompleks atas peristiwanya. Sayap-Sayap Patah adalah presentasi kepahlawanan polisi sekaligus kampanye anti-terorisme, yang bahkan kurang berhasil menjalankan tugasnya. 

Bereuni dengan sutradara Rudi Soedjarwo sejak Ada Apa Dengan Cinta? 21 tahun lalu, Nicholas Saputra memerankan Aji, anggota Densus 88 yang bertugas memberantas pelaku terorisme di Surabaya. Salah satu rekan Aji diperankan oleh Revaldo. Tahukah kalian bahwa ini kali pertama dua pemeran Rangga (versi film dan sinetron) tampil bersama? Andai reuni serta pertemuan perdana itu terjadi dalam film yang lebih baik.

Target operasi Aji adalah Leong (Iwa K), yang telah banyak merekrut teroris. Perburuan itu menyita banyak waktu Aji, sehingga ia jarang menemani sang istri, Nani (Ariel Tatum), yang tengah hamil tua. Di satu titik Nani memilih pulang ke Jakarta untuk tinggal bersama ibunya (Dewi Irawan) akibat rasa cemas yang mengancam kesehatan kandungannya. Selepas sukses meringkus Leong, barulah Aji menyusul Nani ke Jakarta. Naas, tepat sebelum Nani melahirkan, sekaligus hari pertama Aji bekerja di Mako Brimob, terjadi kerusuhan. Di bawah arahan Leong, para napi mengamuk, menyandera, bahkan membunuh polisi. 

Paragraf di atas menjabarkan alur filmnya sampai sekitar 30 menit terakhir, sebab baru di situlah Sayap-Sayap Patah mulai memaparkan kerusuhan yang jadi sumber inspirasinya. Saya menyebut "30 menit", tapi itu termasuk pembangunan awal dan konklusi. Jika cuma menghitung momen kerusuhan pecah, maka hanya sekitar 20 menit, dari total durasi 110 menit. 

Menjadikan kerusuhan sebagai third act semata sejatinya bukan masalah. Saya bisa berargumen kalau perisitwa itu punya cukup bahan untuk melahirkan satu film utuh, tapi itu berarti saya mengharapkan hal yang bukan jadi tujuan filmnya. Pun bukankah prinsip "quality over quantity" dapat diterapkan? Tapi bahkan eksekusinya terkesan ala kadarnya. Seolah para pembuatnya berpikir, "Ah yang penting ada sekuen kerusuhan". 

Di fase itu Iwa K sebagai teroris intimidatif, dan Nugie sebagai komandan Mako Brimob yang selalu tenang kala menginterogasi penjahat, sama-sama tampil mengesankan. Lebih mengesankan dibanding Nicholas Saputra yang.....well, memerankan Nicholas Saputra. Tapi semuanya terlalu buru-buru. Mendadak dimulai, mendadak usai. Mengubah teror 36 jam menjadi tak sampai semalam sama sekali tidak membantu. 

Kelemahan naskah buatan Monty Tiwa, Eric Tiwa, dan Alim Sudio itu sebenarnya dapat tertolong andai Rudi Soedjarwo menambalnya lewat pengadeganan intens. Sayangnya tidak. Rudy tak mampu menghadirkan gambar-gambar mencekam, sebagaimana ia gagal mengemas aksi dalam sekuen penggerebekan Leong, yang penuh kamera shaky dan koreografi baku tembak clumsy. Tidak mengejutkan. Kapan terakhir kali Rudi merilis film bagus? 

Presentasi dramanya bernasib sedikit lebih baik. Biarpun kerap diganggu oleh sulitnya mendengar ucapan karakter (kadang akibat tata suara buruk, kadang artikulasi pemain yang buruk, kadang keduanya), ada gagasan menarik soal "tiada satu pun yang siap kehilangan". Rudi juga lebih nyaman mengarahkan drama, yang nampak dari timbulnya beberapa guratan emosi. Musik gubahan Andi Rianto turut berkontribusi menambah rasa, walau ada kalanya, lagi-lagi akibat kurang apiknya penataan suara, volumenya terdengar berlebihan. 

Sebagai kampanye anti-terorisme, Sayap-Sayap Patah diawali dengan menjanjikan. Terjadi ledakan bom di kantor lama Aji, dan menyaksikan mayat bergelimpangan bersimbah darah, diiringi tangisan anak kecil, ampuh untuk membuat penonton mengutuk para teroris, yang melakukan aksi biadab dengan kedok "perjuangan menuju surga". 

Tapi apa motivasi Leong menguasai Mako Brimob?. Di kisah aslinya, baik versi polisi maupun napi, sama-sama menyebut bahwa kerusuhan dipicu amarah narapidana. Sedangkan di film, aksi itu telah direncanakan jauh-jauh hari. Bukan tindak impulsif selaku luapan emosi. Saya paham, mungkin pembuat filmnya ingin menghindari potensi penggambaran negatif polisi sekaligus menegaskan kebengisan teroris, namun melihatnya dari kacamata penceritaan, itu merupakan lubang mengaaga. 

REVIEW - KUNTILANAK 3

Seperti telah saya sebutkan di ulasan untuk Mangkujiwo (2020), seri baru Kuntilanak menunjukkan keberanian menjauh dari citra trilogi "aslinya", walaupun secara kualitas tidak begitu solid. Horor anak di film pertama, ditambah sedikit sentuhan fantasi di film kedua, lalu total bertransformasi jadi fantasi ala Wizarding World di film ketiga, yang mana belum pernah dijamah industri kita. 

Dinda (Nicole Rossi) dianggap aneh gara-gara kekuatan telekinesisnya (She's like the Scarlet Witch of 'Kuntilanak' universe), dan belakangan ia makin meyakini tudingan tersebut. Apalagi pasca secara tidak sengaja melukai Panji (Adlu Fahrezy) dan Ambar (Ciara Brosnan yang jago mencuri perhatian kali ini sayangnya cuma jadi extended cameo). Karena itulah Dinda memutuskan masuk ke sekolah cenayang bernama Sekolah Mata Hati agar dapat mengontrol kekuatannya. 

Di sanalah Dinda bertemu anak-anak spesial lain, seperti Dennis (Farras Fatik) bisa membuat bola api, Uchi (Clarice Cutie) dengan kemampuan teleportasi, hingga Mala (Romaria Simbolon) si penyembuh. Anak-anak berkekuatan super, tata artistik mumpuni, scoring bernuansa magis milik Stevesmith Music Production. Berkat semua itu, menginjakkan kaki ke Sekolah Mata Hati terasa seperti memasuki dunia baru yang asing dalam perfilman Indonesia. Dunia fantasi ala Wizarding World. 

Terlebih begitu berkenalan dengan orang-orang berpenampilan eksentrik di balik Sekolah Mata Hati. Baskara (Wafda Saifan) si kepala sekolah, Adela (Nafa Urbach) dan Bejo (Amink) selaku pengajar, juga Eyang Sukma (Sara Wijayanto) yang mengatur segalanya dari belakang layar. Tampilan ala Limbad milik Amink mungkin agak menggelitik, namun kostum Sara Wijayanto di klimaks bak penebusan yang layak dari Agustino Mohede selaku penata busana. 

Kelemahan utama Kuntilanak 3 memang terkait inkonsistensi. Sebuah departemen bisa tampil apik di satu titik, kemudian mengalami penurunan di titik berikutnya. Naskah buatan Alim Sudio tidak terkecuali. Bangunan dunianya kreatif, tapi cukup keteteran ketika mengembangkan mitologi. Miko (Ali Fikry) dan Kresna (Andryan Brima) nekat menjemput Dinda selepas membaca berita mengenai murid Sekolah Mata Hati yang melihat kuntilanak, sebelum menghilang secara misterius. Sekolah cenayang yang menyembunyikan alamatnya ternyata tak serahasia itu, sampai hilangnya para murid diketahui wartawan. 

Rizal Mantovani kembali duduk di kursi penyutradaran, dan keunggulan sekaligus kekurangan pengarahannya terangkum lengkap di klimaks. Rizal tegas meninggalkan shot-shot horor termasuk menekan kuantitas jump scare. Sosok kuntilanak lebih dekat ke antagonis fantasi, yang fungsi kemunculannya adalah menakut-nakuti protagonisnya. Bukan penonton. 

Tapi biarpun dibekali CGI kelas satu (filmnya menyadari itu, lalu tidak ragu memperlihatkan sang kuntilanak secara jelas dan sering), Rizal masih lemah dalam membungkus adegan berintensitas tinggi. Pilihan shot-nya di beberapa adegan aksi amatlah canggung. Klimaksnya berpotensi tampil luar biasa andai tak diganggu kelemahan tersebut, ditambah naskah yang menawarkan cara sangat sederhana guna mengalahkan kuntilanak, tapi anehnya, cara itu baru disebut ketika memasuki situasi genting. 

Begitulah Kuntilanak 3. Inkonsisten. Konsepnya unik, namun keseruan dihalangi oleh aliran alur yang tergolong draggy bagi hiburan berisikan protagonis anak. Tapi mengalihkan perhatian dari layar pun sulit ketika Nicole Rossi, yang menggantikan Sandrinna Michelle, menghantarkan akting kuat. Menarik pula menantikan eksplorasi ke arah mana lagi yang bakal dijajal franchise ini, apalagi membaca nama familiar yang muncul di tengah-tengah kredit akhir. 

REVIEW - LOSMEN BU BROTO

Dapatkah tradisi berdiri beriringan dengan modernisasi? Berbeda dengan dunia barat, aspek kultural membuat obrolan soal perspektif kekinian di Indonesia jadi terkesan rumit. Kenapa ada kata "terkesan"? Sebagaimana disampaikan Losmen Bu Broto, menyikapi modernisasi di tempat yang menjunjung tinggi tradisi, sejatinya sederhana. Bukalah pintu hati, alih-alih sibuk berteori.

Mengadaptasi serial televisi Losmen (pernah diangkat ke layar lebar dalam Penginapan Bu Broto pada 1987, pun serial versi baru yang berjudul Guest House: Losmen Reborn tayang di TVRI hingga tahun ini), film ini berlatar di Yogyakarta. Sungguh pas. Sebagai salah satu penduduknya, saya tahu problematika ini memang tengah disoroti. Mana modernisasi destruktif mana modernisasi konstruktif? Mana yang mesti diserap, mana yang sebaiknya dibuang? 

Pak Broto (Mathias Muchus) dan Bu Broto (Maudy Koesnaedi) mengelola Losmen Bu Broto bersama ketiga anak mereka: Pur (Putri Marino), Sri (Maudy Ayunda), dan Tarjo (Baskara Mahendra). Bisa ditebak dari nama losmen, Bu Broto merupakan matriarch yang mengatur segalanya, dari perihal losmen hingga kehidupan anak-anaknya. 

Sri paling terganggu oleh dinamika itu. Di tengah kesibukan mengurus losmen, ia tetap meluangkan waktu bernyanyi di cafe. Menyanyi memang passion-nya. Sri pun menjalin hubungan dengan Jarot (Marthino Lio), seniman yang kerap menginap di losmen. Kedua hal tersebut ditentang sang ibu. 

Losmen Bu Broto bernuansa tradisional, baik desain bangunan, perabot, sampai pakaian para karyawan. Tapi pelayanannya tidak kuno. Misalnya terkait menu makanan tamu yang dibebaskan sesuai pesanan. Itu contoh kecil akulturasi dalam film ini. Elemen lebih esensial dapat dilihat pada bagaimana naskah buatan Alim Sudio menggambarkan tiga tokoh utama wanita, serta konflik yang melibatkan mereka.

Bu Broto adalah matriarch di negeri penuh patriarch, bukan karena paling tua, bukan pula karena sang suami telah tiada, melainkan karena sebegitu tangguh dia. Tapi Bu Broto memegang teguh prinsip berlandaskan tradisi. Sosoknya tradisional, namun tak tertinggal. Maudy Koesnaedi cemerlang menghidupkan kekokohan Bu Broto.

Lalu ada Pur, yang belum juga bisa melupakan kekasihnya, Anton (Darius Sinathrya), yang meninggal akibat kecelakaan. Bagaimana Pur menjalani hidup bersama luka selama setahun belakangan, kemudian berproses untuk bisa memaafkan semua termasuk dirinya sendiri, merupakan bentuk kekuatannya. Putri Marino luar biasa di sini, tidak menyisakan kekosongan rasa, sekalipun sedang berdiam diri. Puncaknya dalam sebuah perdebatan antara Pur dan ibunya. Cara Putri mengucap "Benar ya bu?" sembari berurai air mata, adalah perwujudan "nerimo" yang mengoyak hati.

Apabila Bu Broto ada di ekstrim kanan, dan Pur berdiri di tengah, maka Sri adi ekstrim kiri. Dialah yang membawa sudut pandang kekinian memasuki losmen (membuat saya makin mempertanyakan peran Tarjo). Ketika Sri hamil di luar nikah, di situlah para penghuni losmen dihadapkan pada dua pilihan: mengusir "kekinian" itu, atau membukakan pintu?

Ketiga wanita itu punya perspektif tentang alasan pengambilan sebuah sikap. Seringkali perspektif mereka saling bertentangan. Menurut Losmen Bu Broto, solusinya adalah dengan memahami perspektif masing-masing, yang didasari hati, selaku pondasi nilai kekeluargaan. Nilai keleluargaan sendiri adalah bagian tradisi, dan naskahnya secara cerdik menjadikan itu sebagai "pembuka pintu", alih-alih tembok penghalang modernisasi.   

Kekurangan naskahnya terletak pada minimnya presentasi soal pentingnya peran Sri di losmen. Dia digambarkan sebagai anak terpintar, tapi contoh nyata di lapangan tak pernah benar-benar kita lihat. Apa sesungguhnya keahlian Sri kurang terpapar jelas. Alhasil, saat di satu titik ia "pergi" sampai membuat pelayanan losmen kacau balau, agak sulit mempercayai masalah itu. 

Di kursi penyutradaraan, duduklah Ifa Isfansyah dan Eddie Cahyono (film panjang pertamanya sejak Siti). Setelah kredit pembuka yang dikemas segar nan kreatif lewat pemanfaatan berbagai properti, kedua sutradara membawa film ke nuansa yang sedikit berbeda. Cenderung bersabar dalam menggulirkan alur tapi tidak draggy. Gaya yang sebenarnya selaras dengan karya-karya kedua sutradara sebelum ini, terutama Eddie. 

Sehingga terasa inkonsisten tatkala keduanya memilih metode dramatisasi yang formulaik, bahkan repetitif. Selalu melibatkan air mata dan pelukan, yang hampir seluruhnya dibungkus menggunakan penataan kamera nyaris serupa. Sekali-dua kali mungkin masih berdampak, tapi jika terlalu sering, apalagi dalam waktu berdekataan, kekuatannya berkurang. Untungnya ada penampilan kuat trio aktrisnya, yang membuat tiap rasa tersampaikan. Pun kelemahan itu sama sekali tidak memengaruhi status Losmen Bu Broto sebagai satu dari sedikit film Indonesia, yang jeli dan benar-benar sukses memaparkan peleburan tradisi dan modernisasi.

REVIEW - SURGA YANG TAK DIRINDUKAN 3

Secara filmis, Surga yang Tak Dirindukan 3 sejatinya agak lebih baik ketimbang film kedua, yang juga superior dibanding film pertama, berkat peralihan fokus dari kisah religi seputar poligami menuju disease porn berbalut drama keluarga. Belum pantas disebut "bagus", namun peningkatan tetaplah peningkatan. Wajib diapresiasi. Selain kehadiran Marsha Timothy menggantikan Raline Shah sebagai Meirose, ketertarikan menonton pun muncul saat Pritagita Arianegara (Salawaku) ditunjuk mengisi kursi penyutradaraan. 

Kita tahu seri Surga yang Tak Dirindukan kental nuansa patriarki, sehingga walau masih berbasis novel buatan Asma Nadia, pun naskahnya masih ditulis Alim Sudio, menarik disimak, bagaimana kehadiran sutradara wanita memberikan pengaruh. Dan memang tampak ada niatan menggeser perspektifnya. Kini giliran Pras (Fedi Nuril) berada di posisi mendiang istri pertamanya, Arini (Laudya Cynthia Bella), kala Ray (Reza Rahadian) kembali ke kehidupan Meirose.

Siapa Ray? Ingat saat di film pertama Meirose yang tengah hamil mencoba bunuh diri akibat ditinggal tanpa kejelasan oleh calon suaminya? Ray adalah pria itu. Ayah kandung Akbar (Ali Fikry). Biarpun Meirose sudah berusaha menyembunyikan itu dari sang suami, toh semua akhirnya terbongkar. Mengira Meirose masih mencintai Ray, amarah Pras memuncak setelah tahu bahwa istrinya pernah berduaan di kamar bersama Ray. Padahal kondisi saat itu, Meirose baru siuman pasca sebuah kecelakaan.

Bukankah Pras berada dalam situasi yang mirip sewaktu menyelamatkan Meirose dahulu? Saya takkan menyebut Surga yang Tak Dirindukan 3 sebagai film yang menggugat kerapuhan maskulinitas (apalagi kala gagasan "istri adalah pelayan suami sang kepala rumah tangga" masih tercium di sana-sini), tapi keputusan menukar sudut pandang, membuktikan filmnya mau berkembang. Warna religi dipertahankan tanpa mencekoki penonton dengan ceramah agama. 

Naskahnya lebih cerdik. Misal ketika Pras mengetahui jika puterinya, Nadia (Zara Leola) tak lagi suka mendongeng sebagaimana Arini, dan memilih membuat video dance di YouTube. Masalah itu bisa saja dibawakan memakai tone konservatif, namun Pras memilih sedikit membuka pikiran, kemudian berujar, "Apa yang kita suka belum tentu baik". Konteksnya mengingatkan, bukan melarang. Dan memang betul, hal yang kita sukai belum tentu baik bagi kita. 

Sayangnya deretan hal dipaksakan tetap jadi batu sandungan. Misalnya keputusan Ray menyembunyikan alasan meninggalkan Meirose, yang jelas sebuah retcon kasar terhadap alur film pertama. Atau kebingungan Pras akibat perusahaannya terlilit utang sebesar 2,5 miliar. Perusahaan macam apa yang terancam gulung tikar gara-gara angka tersebut? Sekecil apa profit margin-nya? Tapi biarlah. Saya takkan mempersoalkan lubang logika, untuk film yang memiliki kalimat epik, "SANDIWARA APA YANG SEDANG KALIAN MAINKAN?!". Kalau saja dirilis luas di bioskop, saya yakin kalimat itu bakal jadi bahan banyak meme.

Terpenting, filmnya watchable. Apabila Hanung membawa film keduanya tampil megah nan dramatis, Pritagita menangani emosinya secara lebih intim, dibantu penampilan solid jajaran pemain. Marsha tahu cara menyeimbangkan keteguhan dengan kelembutan, Zara cukup piawai menangani momen dramatis, sementara Reza, seperti biasa, nyaman disaksikan. Aksen medoknya tak selalu enak didengar, namun setidaknya, Reza memakai pendekatan lebih subtil, alih-alih hiperbolis layaknya banyak aktor lain.

Surga yang Tak Dirindukan 3 juga menjadi installment paling menggelitik melalui sentuhan humor, khususnya berkat dua nama: Dea Panendra dan Zsazsa Utari. Dea menjadi seorang guru berkelakuan konyol, dalam peran comic relief yang biasanya identik dengan Asri Welas (kebetulan nama karakternya pun Welas), sedangkan Zsazsa mencuri perhatian melalui celetukan-celetukannya (that "Kecap Bango" jokes will catch you off guard).

Saya bersedia melupakan segala kekurangan film ini, mengakuinya sebagai suguhan layak tonton, hingga tiba sebuah momen. Momen singkat yang sebenarnya tak perlu ada, atau minimal, bisa dipresentasikan secara berbeda. Momen yang memperlihatkan ketidakpekaan filmnya terhadap isu dengan urgency tinggi, yakni kekerasan dalam rumah tangga, di mana mayoritas pelaku adalah suami. 

Momen tersebut terjadi saat Pras yang bimbang mesti bagaimana menyikapi hubungan Meirose dan Ray, menemui seorang ustaz. Sang ustaz kemudian berpetuah, bahwa menurut Islam, jika istri berselingkuh, suami boleh memberi hukuman, mulai dari mengingatkan, memarahi, bahkan memukul asal tidak berniat melukai. Apa perlunya hal itu disampaikan, bila konfliknya sendiri tak pernah mengarah ke sana? 

Film tidak perlu memberi pesan moral. Tapi film wajib peka terhadap situasi, sebagai bentuk tanggung jawab sosial pembuat karya. Apakah bijak, secara sepintas mencatut ayat yang kerap disalahartikan, tanpa mengolah konteks sekaligus pemaknaannya lebih mendalam? Di masa kegelapan dulu, suami bisa menyiksa bahkan membunuh istri yang dianggap membangkang, sehingga "memukul tanpa niat melukai", sama halnya dengan diperbolehkannya pria mempunyai empat istri, merupakan "jalan tengah" yang harus diambil. Sekarang? Wahai pembuat film, silahkan direnungkan, lalu berusaha pahami, bagaimana perasaan istri korban kekerasan tatkala menyaksikan momen tersebut. 


Available on DISNEY+ HOTSTAR

REVIEW - PERSAHABATAN BAGAI KEPOMPONG

Persahabatan Bagai Kepompong bakal membangkitkan kenangan banyak orang. Entah pendengar lagu Kepompong milik Sind3ntosca yang pada mengisi daftar putar remaja-remaja pada masanya, penonton sinetron adaptasinya yang tayang tahun 2008 hingga 2009, maupun penikmat keduanya. Tapi karya penyutradaraan kedua Sentot Sahid yang melakoni debutnya hampir dua dekade lalu lewat Titik Hitam (2002) ini, bukan mengandalkan nostalgia semata. Filmnya mampu berdiri sendiri, bahkan menonjol dibanding kebanyakan drama berlatar sekolah.

Naskah buatan Alim Sudio memberi relasi unik antara film dengan sinetronnya, di mana Kepompong merupakan karya fiksi, tepatnya "sinetron jadul", yang jadi inspirasi di balik pemilihan nama geng karakternya. Sebuah meta sequel. Pendekatan serupa pernah dilakukan oleh New Nightmare (1994), Book of Shadows: Blair Witch 2 (2000), The Human Centipede 2 (2011), sampai Muppets Most Wanted (2014). Di Indonesia, setahu saya baru seri Warkop DKI Reborn yang melakukannya. 

Apa pengaruh dari status sebagai meta sequel? Eksplorasi kisahnya lebih bebas. Tentu tribute dan reference tetap diselipkan, baik berupa cameo, juga pemakaian lagu-lagu seperti Gelora Asmara, Tuhan Tolong, dan pastinya Kepompong. Izinkan saya mengapresiasi keputusan memakai lagu Kepompong versi asli (bagi yang aktif di forum-forum internet saat lagunya meledak dulu, tentu tidak asing), yang lebih kental sentuhan rock, dan bisa kalian dengar di kanal YouTube "sind3ntosca". 

Cerita berpusat pada siswa SMP bernama Ben Sarjono (Bio One), yang sepeninggal ibunya, mesti pindah dari Bandung ke Jakarta, sementara sang ayah (Gunawan Sudrajat) menjalani dinas ke Papua. Menetap di rumah Om Bimo (Pascal Azhar) dan Tante Indah (Lulu Tobing), Ben pun harus tinggal serumah bersama sepupunya, Isabel (Yasmin Napper), yang selalu mengejeknya sebagai "anak mami". 

Keduanya memang berlawanan. Jika Ben termasuk golongan rakyat jelata cupu di sekolah, Isabel merupakan anggota geng Kepompong yang populer. Selain Isabel, ada si lugu Bembi (Shanice Margaretha), si kutu buku Dana (Jihan Safira), dan si sporty Lydia (Thalita Putri Riantani). Tipikal formasi geng cewek di film-film remaja. Tentu Kepompong punya geng saingan, yakni The Fabulous Diva, yang dipimpin Paula (Cut Beby Tsabina). Isabel dan Paula sejatinya bersahabat saat kecil. Keduanya bahkan lahir di rumah sakit dan hari yang sama. Hubungan itu merenggang, lalu berkembang jadi permusuhan, pasca persahabatan ibu mereka kandas akibat kegagalan suatu bisnis.

Persaingan kedua geng memanas, tatkala pihak sekolah mengadakan lomba pembuatan konsep acara perpisahan. Fokus Ben terpecah. Di satu sisi, ia ingin membantu Kepompong, namun di sisi lain, mulai tumbuh benih cinta antara dirinya dan Paula. Masalah tidak berhenti di situ. Sebagai "rakyat jelata", Ben dan temannya, Kimo (Fatih Unru), kerap jadi korban perisakan geng The Mafioso. Siapa ketua geng tersebut? Bobby (Joshua Rundengan), mantan pacar Paula. 

Konfliknya begitu ramai, yang mana mewakili kompleksitas sinetron remaja mana pun (tidak cuma Kepompong). Hebatnya, meski hanya punya waktu sekitar 95 menit, naskah buatan Alim Sudio mampu menyatukan segalanya dengan rapi, saling terkait, saling mengisi, tanpa tumpang tindih. Pun terasa menyegarkan, mendapati sebuah drama remaja, di mana kedua tokoh utamanya bukan merupakan pasangan romantis. 

Ada satu momen menarik, ketika di kamar, Ben menceritakan patah hati yang ia rasakan kepada tantenya, sementara Isabel mencuri dengar dari luar. Momen sederhana, kalau tidak mau dibilang klise, tetapi keberadaan Isabel yang tampak sedih mendengar penderitaan Ben, betul-betul memperkuat hubungan persaudaraan yang coba dibangun film ini. Semakin emosional momen tersebut, berkat Lulu Tobing beserta afeksi hangat yang ia berikan.

Akting para pemain lumayan memuaskan, meski penampilan mereka diganggu oleh buruknya tata suara. Keputusan Sentot Sahid menyertakan lagu dengan kuantitas cukup banyak, malah jadi bumerang ketika dibenturkan dengan lemahnya penataan suara, yang membuat dialog acap kali tenggelam di balik musik.

Bio One memberi performa memadai, meski tetap aneh rasanya, melihat aktor berumur 23 tahun memerankan siswa SMP. Sebagai perbandingan, Derby Romero baru berumur 18 tahun tatkala menjadi anak SMA di sinetronnya. Sedangkan bagi Yasmin Napper, Persahabatan Bagai Kepompong menegaskan potensi yang ia tunjukkan semasa menjalani debut lewat Imperfect dua tahun lalu. Bagi saya, Yasmin seperti Mawar de Jongh. Bintang muda dengan screen presence kuat, yang mampu membuat penonton jatuh cinta seketika. Terakhir, jangan lupakan pula Fatih Unru dengan akting dramatik mumpuni, yang menandakan kesiapannya melangkah, dari fase "aktor cilik" menuju "aktor remaja".

Persahabatan Bagai Kepompong mungkin punya alur formulaik, namun segala formula tersebut berhasil dikemas secara solid. Termasuk urusan konsistensi. Seperti telah saya sebutkan, naskahnya mampu menyatukan setumpuk konflik agar saling terkait dan mengisi. Semua bermuara pada dua pesan utama: anti-perisakan dan prasangka. Hampir seluruh gesekan antar karakter, timbul akibat prasangka. Akibat kurangnya pemahaman satu sama lain, sehingga kisahnya menjadi proses karakternya belajar membuka diri, untuk kemudian saling terkoneksi. 


Available on DISNEY+ HOTSTAR 

REVIEW - LAYLA MAJNUN

Film terbaru buatan sutradara Monty Tiwa ini dibuat berdasarkan kisah cinta Layla dan penyair bernama Qays ibn al-Mullawah dari abad ke-7, yang telah diabadikan melalui banyak media, salah satunya puisi Layla and Majnun karya Nizami Ganjavi yang ditulis pada 1188. Acha Septriasa memerankan Layla, sosok wanita religius, mandiri, sekaligus cerdas. Dia menjalani hidup sesuai keinginannya, baik sebagai pengajar sebuah pondok pesantren, maupun penulis novel. 

Hingga suatu hari, ia dipaksa menjalani perjodohan dengan Ibnu (Baim Wong), teman masa kecilnya sekaligus calon bupati. Awalnya Layla menolak. Selama ini ia begitu vokal menentang perjodohan, khususnya jika itu merenggut kebebasan seorang wanita. Tapi karena sang ibu (Dian Nitami) sudah banyak menerima bantuan dari ayah Ibnu (August Melasz), Layla tak mampu menolak. Selepas kepergiannya selama dua minggu ke Azerbaijan untuk menjadi dosen tamu, Layla bakal langsung menikahi Ibnu. 

Di sanalah Layla bertemu Samir (Reza Rahadian), salah satu mahasiswanya, yang dahulu sempat belajar di Indonesia. Hanya dalam waktu singkat, Layla yang di awal film enggan menikah, seketika jatuh hati kepada Samir. Apakah masuk akal? Pertanyaan itu bakal selalu bisa dimentahkan dengan jawaban, "Bukankah cinta memang tidak logis?", sehingga izinkan saya memodifikasinya sedikit. "Apakah penonton bisa mempercayai cinta keduanya?". 

Naskah buatan Alim Sudio kurang berhasil menciptakan rasa percaya itu. Ya, Samir jatuh hati setelah karya Layla menyembuhkan lukanya (elemen yang bisa ditarik ke gagasan lebih besar, soal kekuatan dari keindahan suatu karya literatur mengobati luka suatu bangsa tanpa memedulikan sekat jarak dan budaya). Tapi bagaimana dengan Layla? Andai tidak ada perjodohan, akankah Layla sebegitu mencintai Samir? Andai perangai Ibnu tak menghasilkan perbandingan "baik vs buruk" yang jomplang, akankah Layla sebegitu mencintai Samir?

Kalau bukan karena performa Reza dan Acha, mungkin Layla Majnun bakal hambar, pula menjemukan. Keduanya membuat saya betah melakoni perjalanan menikmati pemandangan Azerbaijan, yang ditangkap dengan cukup baik oleh Anggi Frisca selaku penata kamera. Acha selaku kuat perihal mengolah emosi, sedangkan Reza kembali membuktikan, kalau tuntutan berbicara menggunakan logat asing (sesekali bahasa setempat juga dipakai) tak mengahalangi ekspresi rasanya.

Ending-nya berusaha menjauhkan film ini dari tragedi yang mengisi kisah aslinya. Bukan semata demi akhir bahagia yang lebih disukai penonton, melainkan wujud pesan dari naskahnya, seputar ikatan keluarga. Gagasan yang menarik, walau lemahnya eksplorasi soal elemen kekeluargaan, membuat keputusan tersebut lebih mudah diapresiasi ketimbang dicintai.


Available on NETFLIX

BUKU HARIANKU (2020)

Saya selalu mengapresiasi film anak dalam negeri. Generasi muda kita membutuhkannya. Termasuk Buku Harianku, walau plot maupun deretan lagunya kental nuansa recycle. Musikal dalam kisah tentang anak kota menyambangi desa dan/atau berlibur ke rumah kakek, sudah jadi pola berulang sejak era Petualangan Sherina dua dekade lalu hingga kini. Bahkan sebagaimana di Petualangan Menangkap Petir (2018), tokoh kakek juga diperankan Slamet Rahardjo.

Kila (Kila Putri Alam) merindukan mendiang ayahnya, Arya (Dwi Sasono) yang gugur saat bertugas sebagai tentara. Walau amat menyayangi Kila, sang ibu, Riska (Widi Mulia), selalu sibuk bekerja. Pun rencana liburan ke Bali mesti diundur karena Riska mendapat tugas dadakan dari kantor. Kila pun terpaksa menghabiskan liburan sementara waktu di rumah Kakek Prapto (Slamet Rahardjo), yang terletak di Desa Goalpara, Sukabumi.

Figur kakek identik dengan rasa sayang luar biasa kepada cucu, tapi tidak dengan Kakek Prapto. Sebagai pensiunan tentara, ia begitu keras, bahkan menganggap bocah seperti Kila hanya merepotkan saja. Walau dibuat kesal, Kila juga menemukan sahabat baru di Goalpara. Namanya Rintik (Widuri Putri), puteri Keling (Ence Bagus) dan Neneng (Wina Marrino) yang bekerja untuk Kakek Prapto. Biarpun Rintik memiliki disabilitas (bisu), hubungan mereka sama sekali tidak terhalang.

Disabilitas memang tak seharusnya menghalangi pertemanan. Itu merupakan satu dari sekian banyak pesan bernilai yang dituturkan oleh naskah buatan Alim Sudio. Perihal belajar bahasa isyarat, anjuran makan sayur, ajakan mencintai alam, dan pastinya nilai kekeluargaan merupakan hal-hal penting yang dapat anda ajarkan saat membawa anak/adik/keponakan menonton Buku Harianku.

Setidaknya berkat pesan-pesan di atas, anda takkan pulang dengan tangan kosong, mengingat sebagai musikal, film ini kurang berhasil. Walau semakin membaik seiring durasi, tata suara pada menit-menit awal seperti tanpa melewati proses mixing, yang mana merupakan kelemahan fatal bagi sebuah musikal. Deretan lagunya catchy, pun mengandung lirik ringan mengenai kehidupan sehari-hari yang mudah dicerna penonton anak. Tapi akibat kemiripan di sana-sini, lagu-lagunya bagai “pengulangan” dari lagu-lagu populer yang sudah lebih dulu muncul.

Apalagi belum semua momen musikalnya mencapai standar tontonan layar lebar. Disutradarai oleh Angling Sagaran (From London to Bali, Tabu) dengan tim dari EKI (Eksotika Karmawibangga Indonesia) sebagai pengarah tari, sekuen musikal Buku Harianku sering kekurangan tenaga, seolah tak melalui proses rehearsal (banyak musikal anak kita yang punya hasil jauh lebih baik), walau musikalnya melahirkan satu pemandangan hangat ketika Rintik dan Kila berdiri di panggung 17-an.

Terkait penceritaan, terdapat beberapa lubang. Pertama soal perubahan sikap karakter. Kakek Prapto semestinya dibawa melewati transformasi dari seorang kakek ketus menjadi lebih ramah, tapi gradasi itu tak nampak karena ambiguitas penokohan. Kadang ia galak, kadang melembut, sehingga saat titik balik sesungguhnya terjadi, dampaknya tidak terlalu besar. Sedangkan di kesempatan lain, Neneng sempat memarahi Kila yang dianggapnya membahayakan Rintik. Tapi keesokan harinya, semua kembali seperti semula, seolah tidak terjadi apa-apa. Permintaan maaf dari Neneng kepada Kila sebenarnya sudah cukup untuk menambal lubang itu.

Terdapat subplot lain mengenai Samsudi (Gary Iskak), seorang pebisnis yang berniat membangun resor dengan kedok memajukan pertanian Desa Goalpara. Konflik ini muncul hanya untuk memenuhi obligasi dalam aturan tak tertulis film anak, di mana keberadaan sosok penjahat merupakan kewajiban. Tapi selain nihil substansi dan takkan berdampak sedikit pun andai dihilangkan, pilihan konklusinya terkesan malas. Ini bukan simplifikasi guna memudahkan penonton anak, melainkan “simply lazy”.

Beruntung, Buku Harianku masih memiliki jajaran pemain yang tampil cukup solid. Di luar inkonsistensi penokohannya, Slamet Rahardjo tidak pernah gagal menambahkan hati. Begitu juga Ence Bagus, yang layak mendapat pengakuan lebih dari “sekadar” seorang komedian. Sementara Kila Putri Alam tidak terbebani kala melakoni peran utama dalam debut layar lebarnya. Santai, luwes, dan natural untuk ukuran aktris cilik, ia adalah figur yang pas untuk memimpin penonton anak mengarungi petualangan bernama Buku Harianku, yang sayangnya berjalan tidak terlalu mulus ini.

MARIPOSA (2020)

Seperti sempat saya singgung di ulasan Teman tapi Menikah 2, penonton kita sedang jatuh hati pada adaptasi Wattpad bertema romansa remaja yang membawa ciri-ciri seperti judul “asing”, gombalan unik (baca: absurd), dan tipikal bad boy yang cenderung brengsek ketimbang keren. Mariposa, yang diangkat dari kisah buatan Luluk HF, sebenarnya turut mengusung formula serupa, tapi pendekatan ringan lewat sentuhan humor dan kemasan artistik yang diberi perhatian, membuatnya unggul dibanding banyak kompatriotnya.

Acha (Adhisty Zara) menyukai teman sekolahnya, Iqbal (Angga Yunanda). Tapi seperti sudah disinggung di atas, tentu saja Iqbal tidak membalas cinta Acha, bersikap dingin bahkan sedikit kasar padanya. Iqbal sangat kaku. Kekakuan yang dipicu tuntutan tinggi sang ayah (Ariyo Wahab), agar Iqbal selalu jadi nomor satu di bidang akademis, termasuk menjuarai olimpiade sains tingkat nasional. Tujuannya adalah memperoleh beasiswa untuk berkuliah di Inggris. Iqbal punya alasan kuat menghindari urusan percintaan. Kondisi tersebut berlawanan dengan keluarga Acha. Sang ibu (Ersa Mayori), yang seorang Army (penggemar BTS) sekaligus pengagum hal-hal berbau budaya populer Korea Selatan, ibarat sahabat bagi Acha, yang bisa ia ajak berbagi banyak hal termasuk tentang cinta.

Pun meski sesekali kelewatan, penolakan Iqbal sebenarnya bisa cukup dipahami. Obsesi Acha sebenarnya sering kelewatan. Dia selalu mengikuti Iqbal, terus menghubunginya, bersikap seolah keduanya berpacaran. Penanganan keliru dapat menjadikan Acha karakter creepy, namun Zara adalah figur likeable yang mampu memberi kepolosan, sehingga bentuk obsesinya bisa dijustifikasi sebagai kenaifan polah cinta monyet remaja.

Berlangsung selama hampir dua jam (117 menit), Mariposa mengalami stagnansi ketika kisahnya sebatas tersusun atas repetisi-repetisi situasi ketika Acha menggoda Iqbal hanya untuk menerima respon dingin. Jangan pula berharap ada eksplorasi mendalam mengenai metafora metamorfosis ulat jadi kupu-kupu (“mariposa adalah Bahasa Spanyol yang berarti “kupu-kupu”) yang sejatinya cuma gimmick untuk membuai target pasar bocah/remaja awal. Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh Alim Sudio selaku penulis naskah adaptasinya.

“Perbaikan” yang dilakukan adalah memperlakukan romantikanya tidak terlalu serius, melalui selipan humor-humor segar. Tengok adegan di perpustakaan, atau sekuen menggelitik tentang “perjalanan kue keju Belanda”. Alhasil, walau ceritanya tidak banyak berprogres dan memiliki durasi cukup panjang, Mariposa takkan terasa melelahkan. Apalagi visualnya cukup memanjakan mata, melalui penggunaan warna-warna pastel (khususnya kombinasi biru-merah muda) pada seragam dan properti serta pencahayaan lembut.

Selain stagnansi kisah, muncul juga masalah perihal pembangunan intensitas di babak akhir yang menyoroti pelaksanaan olimpiade. Menyulap aktivitas mengerjakan soal tertulis jadi pemandangan menegangkan bukan perkara mudah, dan pengarahan Fajar Bustomi belum berhasil mencapai titik itu. Dan sewaktu lomba memasuki babak rebutan, pemakaian teknik quick cut guna meningkatkan dinamika justru kerap membuat pusing kepala.

Beruntung Mariposa menyimpan konklusi yang berhasil menjadi puncak emosi. Berpengalaman mengarahkan trilogi Dilan, Fajar tahu cara menciptakan momen menggemaskan berisi pengakuan cinta ala remaja, yang juga menyentuh hati berkat penampilan heartful Zara. Aktris muda ini memang tidak bisa dipandang remeh.

ANAK GARUDA (2020)

Anak Garuda merupakan satu lagi film mengenai sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) setelah Say I Love You bulan Juli tahun lalu. Menariknya, meski seluruh pemerannya berbeda, kursi penyutradaraan sama-sama diduduki oleh Faozan Rizal, naskahnya tetap ditulis Alim Sudio, sementara Verdi Solaiman beralih peran dari aktor ke produser. Ceritanya sendiri mengambil timeline selepas “pendahulunya” tersebut, sehingga wajar bila anda mengira film ini adalah sekuel. Tapi tidak. Keduanya tanpa kaitan, walau kualitasnya tidak jauh beda.

Sheren (Rania Putrisari), Olfa (Clairine Clay), Wayan (Geraldy Kreckhoff), Dilla (Rebecca Klopper), Sayyida (Tissa Biani), Yohana (Violla Georgie), dan Robet (Ajil Ditto) adalah ketujuh tim SPI yang kini sudah lulus dan menjalankan pusat pembelajaran serta rekreasi Kampoeng Kidz. Walau sudah menjalankan bisnis sendiri, sesungguhnya mereka masih belum lepas dari ketergantungan pada sang mentor sekaligus pendiri SPI, Koh Jul (Kiki Narendra). Alhasil begitu Koh Jul pergi untuk sementara waktu, perpecahan mulai terjadi di antara ketujuh muda mudi ini.

Akibat naskah yang lalai menjembatani momen demi momen ditambah penyuntingan buruk, Anak Garuda tampil bak sketsa yang dijahit paksa, di mana tiap sketsa memperlihatkan bagaimana Rocky (Krisjiana Baharudin) si volunteer baru seolah berusaha mengadu domba anak-anak SPI. Rasanya seperti menonton kompilasi episode sebuah serial pendek berjudul “Kenakalan Rocky”. Mungkin Alim Sudio ingin memperlihatkan secara lengkap apa saja aksi Rocky, tapi ujungnya sebatas menghasilkan checklist permasalahan.

Pun bicara soal Rocky, saat akhirnya alasan di balik perbuatannya diungkap, yang muncul justru ketidaksinkronan alih-alih jawaban. Di sini saya membicarakan aspek psikis karakter, yang mestinya menjelaskan bagaimana faktor “A” menyulut tindakan “B, C, D” dan seterusnya. Hal itu tidak dilakukan, atau tepatnya, tidak dilakukan secara layak. Seolah penulis beranggapan jika masalah masa lalu atau luka hati seseorang bisa jadi alasan untuk membuatnya melakukan keburukan apa pun. Padahal tidak sesederhana dan seacak itu.

Setidaknya di tengah-tengah “invasi Rocky”, Anak Garuda masih menyenangkan diikuti berkat akting solid beberapa pemain utama yang konsisten menyuntikkan energi bagi jalannya cerita. Memerankan Olfa yang menyimpan kepedulian tinggi terhadap salah satu murid SPI yang mentalnya terganggu akibat trauma, Clairine bisa memberikan tatapan penuh kepedulian serta memanfaatkan kesempatan kala dituntut mengolah emosi lebih lanjut. Tissa seperti biasa, selalu memberikan warna dan tak terjebak monotonitas dalam menangani situasi apa saja, bahkan yang sederhana sekalipun. Malah Kiki Narendra selaku penampil paling senior di sini yang agak mengganggu. Mau tidak mau perbandingan sulit dihindari. Ketika Verdi Solaiman begitu natural membawakan sosok Koh Jul yang selalu berapi-api melontarkan kalimat-kalimat inspiratif, Koh Jul versi Kiki bagaikan karikatur.

Melewati pertengahan durasi, Anak Garuda mengembangkan cakupan kisahnya ketika ketujuh tim SPI berkesempatan melakukan perjalanan ke Eropa. Sayangnya, perjalanan yang telah mereka cita-citakan sejak lama ini terganggu oleh masalah interpersonal yang belum juga usai. Benarkah? Sebab sering muncul inkonsistensi berulang terkait persoalan itu. Di satu titik mereka tertawa bersama, kemudian bertengkar, lalu bertingkah seolah tidak ada masalah, sebelum akhirnya mendadak perpecahan mencapai puncak.

Perjalanan ke Eropa dimaksudkan sebagai puncak tantangan sekaligus emosi filmnya. Seperti kebanyakan road trip, harapan para pembuatnya, ada makna yang tersimpan dan bukan sekadar jalan-jalan biasa. Harapan itu gagal terwujud akibat inkonsistensi tadi. Pun sepertinya Rizky Mocil terlalu total memerankan Roy si pemandu menyebalkan sehingga perjalanan ini juga tak terasa nyaman untuk diikuti.

Tentu semua akhirnya bakal berakhir bahagia, karakternya akan berbaikan sementara Koh Jul mengungkapkan kebanggaannya. Koh Jul menyebut bahwa di matanya, anak-anak didiknya itu merupakan keajaiban. Kenapa? Atas dasar apa? Karena mereka bermalam di jalanan Paris sambil menunggu Menara Eiffel buka? Karena mereka terus bertengkar dan saling menyalahkan bahkan setelah Koh Jul berkali-kali memberi petuah? Saya tidak menemukan keajaiban apa pun.

LAMPOR: KERANDA TERBANG (2019)

Menonton horor, mudah menebak apakah seorang sutradara merupakan penggila genre itu atau bukan lewat bagaimana ia membungkus sekuen teror. Menahkodai Lampor: Keranda Terbang, Guntur Soeharjanto yang selama ini identik dengan sajian romansa dan religi seperti 99 Cahaya di Langit Eropa (2013), Assalamualaikum Beijing (2014), hingga Ayat-Ayat Cinta 2 (2017), kentara belum menguasai genre yang dibawakannya, melahirkan deretan kecanggungan dalam debutnya menyutradarai horor.

Bukan Guntur seorang yang menjajal horor untuk kali pertama. Begitu pula Adinia Wirasti. Memerankan wanita bernama Netta yang mengalami trauma masa kecil saat adiknya digondol Lampor (hantu pembawa keranda terbang berwujud mirip Dementor), Adinia berusaha menampilkan kesubtilan kala menangani keresahatan individu yang menyimpan setumpuk rahasia, tapi malah menghasilkan penampilan tak bernyawa. Pasif, sering merenung, selalu muram, dan gemar menggumam, meski masih memikat kala dituntut meletupkan emosi, secara keseluruhan, sebagaimana sutradaranya, debut horor sang aktris berakhir kurang manis.

Setidaknya, separuh awal Lampor: Keranda Terbang punya pondasi solid, bersedia bercerita ketimbang menumpuk penampakan belaka. Bersama si suami, Edwin (Dion Wiyoko), dan kedua anaknya, Agam (Bimasena) dan Sekar (Angelia Livie), Netta terpaksa pulang ke kampung halamannya di Temanggung, guna menyampaikan pesan terakhir ibunya, Ratna (Unique Priscilla), kepada sang ayah, Jamal (Mathias Muchus). Ketika Netta kecil, Ratna membawanya pergi meninggalkan Jamal karena ia menganut ilmu hitam pemberian Pak Atmo (Landung Simatupang), si dukun setempat.

Malang, tepat di hari kedatangan Netta, Jamal mendadak meninggal dunia. Warga pun menyambut sinis kepulangan Netta, menganggapnya sebagai pembawa bencana. Mereka yakin bahwa keberadaan Netta mengundang teror Lampor. Benarkah itu? Kalau bukan, apa penyebab utama kemunculan Lampor, yang konon menyambangi tempat di mana pendosa berada? Pertanyaan itu jadi basis eksplorasi naskah buatan Alim Sudio (Kuntilanak, Makmum, Twivortiaire). Remah-remah misteri ditebar secara berkala, sambil pelan-pelan kompleksitas ditingkatkan lewat kemunculan tokoh-tokoh baru.

Kematian tidak wajar Jamal memancing kecurigaan bahwa ia sejatinya dibunuh oleh orang yang mengincar warisannya. Ada sejumlah tersangka. Apakah Esti (Nova Eliza) selaku istri muda Jamal sekaligus keponakan Pak Atmo? Bimo (Dian Sidik) si tukang pukul? Mitha (Steffi Zamora) si puteri angkat Jamal dan Esti? Atau Nining (Annisa Hertami) si pelayan yang senantiasa bersikap baik? Naskahnya mengeksplorasi pertanyaan itu dengan baik, membuat alur bergerak dinamis, sambil sesekali menyelipkan pemanis berupa mitos-mitos mistis seperti awan berbentuk naga hingga kucing hitam sebagai pertanda bencana.

Tapi memasuki paruh akhir, naskahnya kewalahan sewaktu berusaha menyusun keping-keping kebenaran dan menjelaskan "rules" di balik teror Lampor. Seperti benang kusut. Belum lagi karakternya kerap melakukan tindakan yang pantas dipertanyakan. Contohnya Netta, yang kerap meninggalkan anak-anaknya sendiri, padahal seharusnya ia paling tahu betapa berbahaya hal itu. Beruntung di tengah keruwetan itu, Dion Wiyoko memberi satu lagi performa kuat. Bukan yang terbaik dari sang aktor, tapi cukup untuk menghalangi filmnya dari keruntuhan.

Poin terlemah Lampor: Keranda Terbang adalah eksekusi terornya. Padahal, bayangkan betapa mengerikan makhluk satu ini. Membawa keranda terbang, berstatus prajurit Nyi Roro Kidul, menculik lalu merenggut nyawa siapa saja yang terlihat dan melihatnya. Potensinya besar, apalagi ditambah CGI memadai—walau fakta bahwa Lampor banyak muncul di kegelapan malam cukup membantu. Tapi seperti telah disebutkan, Guntur Soeharjanto belum piawai menangani horor.

Pengadeganannya sering menghasilkan disorientasi apalagi pada momen-momen yang mengetengahkan kekacauan sarat aksi. Daripada urgency, justru pusing kepala yang didapat. Bukan saja kekurangcakapan sutradara mengatur fokus adegan, serupa banyak produksi Starvision, penyuntingan kasar berujung transisi berantakan lebih sering menghantui ketimbang hantunya sendiri (walau di kasus Lampor: Keranda Terbang saya curiga sutradara memang tidak menyuplai materi yang cukup).

TWIVORTIARE (2019)

“Saat bayi kembar siam dipisahkan, mereka akan mempunyai jantung, suhu tubuh, dan organ-organ lain sendiri-sendiri”, begitu kira-kira penjelasan Beno (Reza Rahadian) kepada Alex (Raihaanun). Begitu pula pasangan, atau dalam konteks film ini perceraian suami-istri. Twivortiare, selaku adaptasi novel berjudul sama (plus sebagian kisah Divortiare) karya Ika Natassa, mengupas bagaimana sepasang insan yang saling mencintai berjuang mengatasi perbedaan-perbedaan individual tersebut.

Pastikan anda tak ketinggalan sedikit pun adegan pembuka yang menata pondasi hubungan kedua tokoh utama. Merasa pernikahan mereka telah kehilangan nyawa, Beno dan Alex memutuskan bercerai. Dua tahun berselang, rupanya cinta itu belum padam. Ketika Beno pelan-pelan berusaha merebut lagi hati si mantan istri, Alex kesulitan beranjak pergi walau tengah berpacaran dengan Denny (Denny Sumargo).

Keduanya pun mengikat janji suci untuk kali kedua, berjanji bakal bersikap lebih baik. Alex berjanji akan melatih kesabaran, sementara Beno perlu meluangkan waktu di luar kesibukan sebagai dokter bedah. Tapi tidak ada hubungan tanpa gesekan. Di sini menariknya Twivortiare. Dipandu naskah buatan Alim Sudio (Surga yang tak Dirindukan, Ayat-Ayat Cinta 2) sutradara Benni Setiawan (Sepatu Dahlan, Toba Dreams, Insya Allah Sah), kisahnya bukan menawarkan buaian romantika manis bahwa “semua akan baik-baik saja”. Karena semua tidak akan (selalu) baik-baik saja.

Kita diajak melihat Beno dan Alex bertengkar, berbaikan, bertengkar lagi, berbaikan lagi, begitu seterusnya. Tidak secara asal, sebab segala pertengkaran itu dipicu alasan serupa. Biarpun mencapai pertengahan kesan repetitif gagal dihindari, dari situ, naskahnya berhasil menyuguhkan proses belajar secara bertahap guna saling mengenali, memahami, agar dapat memperbaiki. Pertengkaran jelas berarti masalah, namun bukan musibah, bukan pula bukti ketiadaan cinta.

Twivortiare merupakan cerita cinta berbasis karakter yang mengedepankan pasangan itu sendiri ketimbang elemen-elemen lain. Alhasil, kepiawaian duet penampil utama jadi faktor terpenting. Dan saya berani menyatakan bahwa urusan chemistry, Reza-Raihaanun merupakan kombinasi tanpa tanding. Tidak berlebihan menyebut mereka salah satu pasangan terbaik yang pernah saya saksikan.

Bagaimana interaksi verbal dituturkan begitu dinamis lewat penghantaran kaya variasi ditambah kejelian mengatur tempo hingga bagaimana rasa dihidupkan di layar dalam otentitas luar biasa yang dengan mudah “menulari” penonton, jadi beberapa bukti kehebatan Reza dan Raihaanun mengagkat standar “on-screen couple” ke tingkat lebih tinggi, yang tidak pernah saya bayangkan mampu dicapai film negeri ini.

Sedangkan di jajaran pendukung, Anggika Bolsterli dan Boris Bokir, masing-masing sebagai dua sahabat Alex, Wina dan Ryan, berjasa mencairkan suasana lewat kejenakaan yang sesekali terselip di antara intensitas konflik. Anggika seperti biasa bersenjatakan antusiasme bertenaga, sementara Boris jeli melontarkan kelakar-kelakar singkat namun segar.

Padukan akting Reza dan Raihaanun dengan pengarahan Benni Setiawan yang kembali menemukan sensitivitas sejak Toba Dreams (2015)—sambil sesekali dibarengi lagu manis Kembali ke Awal dari Glenn Fredly—jadilah sajian emosional bahkan sejak menit-menit awal. Benni enggan mencoba macam-macam. Memahami esensi kisah (berbasis karakter) sekaligus kapasitas dua pemeran utamanya, Benni “cuma” berusaha membangun keintiman dua sejoli. Daripada gambar cantik, kamera berfokus untuk sesempurna mungkin menangkap permainan rasa Reza dan Raihaanun. Rasa yang begitu kuat sehingga memancing pertanyaan, “Inikah cinta?”.

MAKMUM (2019)

Bagaimana cara menjadikan horor pendek tentang gangguan hantu di tengah salat sebuah film panjang? Cukup meragukan, apalagi ditambah keterlibatan Baginda Dheeraj Kalwani. Tapi proyek adaptasi film pendek berjudul sama karya Riza Pahlevi ini rupanya lebih baik dari perkiraan jauh di atas produksi Baginda Dheeraj lain, meski pencapaian itu terbilang mudah selama film anda bukan sampah.

Kisahnya membawa kita ke suatu asrama yang dikepalai oleh Rosa (Reny Yuliana), menggantikan Ibu Kinanti (Jajang C Noer) yang terbaring sakit. Berbeda dengan sang pendahulu, Rosa bersikap keras cenderung kecam pada para penghuni, khususnya Nurul (Tissa Bianni), Nisa (Bianca Hello), dan Putri (Adila Fitri) yang dilarang pulang selama liburan akibat gagal mendapat rata-rata nilai 8.

Seolah belum cukup sial, bukan cuma teror pengurus asrama galak saja yang mesti diadapi, pula sesosok makhluk halus yang dijuluki “Hantu Makmum” karena kerap meneror kala mereka menjalankan salat. Adegan pembukanya langsung menunjukkan peristiwa gaib tersebut, tatkala sutradara Hadrah Daeng Ratu (Mars Met Venus, Jaga Pocong, Malam Jumat the Movie) sanggup mereka ulang nuansa atmosferik film pendeknya.

Sampai suatu ketika datang Rini (Titi Kamal), mantan penghuni asrama yang menawarkan diri menjadi mentor pasca pekerjaannya sebagai perias mayat gagal menghasilkan uang, membuatnya diusir dari kontrakan. Penokohan Rini menarik. Dia bisa melihat hantu dan tidak takut pada mereka. Bahkan Rini berani “menghardik” makhluk tak kasat mata yang berbuat iseng ketika ia sedang bekerja.

Jarang horor lokal mempunyai protagonis semacam itu. Saya pun menantikan bagaimana duet penulis naskah Alim Sudio (Ayat-Ayat Cinta 2, Dimsum Martabak, Kuntilanak) dan Vidya Talisa Ariestya mengembangkan tokoh Rini begitu ia memutuskan membantu anak-anak asrama menyelidiki teror hantu Makmum. Tapi harapan tinggal harapan. Di sisa durasi, Rini tak ubahnya protagonis horor kebanyakan yang hanya mampu kaget, takut, lalu kabur, dan praktis menyia-nyiakan talenta Titi Kamal.

Potensi Rini pelan-pelan terkubur, berakhir sebagai satu lagi karakter yang mudah dilupakan. Satu poin yang terus saya ingat mengenainya adalah luka bakar di tangannya. Mengapa ia tidak mengenakan sarung tangan? Mungkin itu takkan banyak membantunya memperoleh pekerjaan di dunia tata rias (manusia hidup), namun setidaknya mengurangi kecanggungan saat berjabat tangan dengan orang asing.

Bagaimana usaha naskahnya melebarkan cerita delapan menit menjadi 95 menit? Awalnya semua berjalan baik, malah menarik kala mitologi soal Kanzan, alias hantu-hantu yang gemar mengusik ibadah salat, diperkenalkan oleh Ustaz Ganda (Ali Syakieb). Sampai Alim dan Vidya seolah melupakan pembangunan tersebut, kemudian memperkenalkan twist yang justru menciptakan kontradiksi mengenai asal-usul si hantu pengganggu.

Masih terkait penulisan, Makmum juga terjebak kebiasaan buruk film kita, khususnya horor, yakni pemakaian baris kalimat yang asal mencampurkan diksi santai dan baku, yang berakhir terdengar kaku. Paling mendapat kerugian dari gaya bahasanya adalah Arief Didu sebagai Slamet si penjaga asrama. Arief yang biasanya luwes, di sini bak terbebani. Masalah berbeda menimpa Tissa Biani. Seperti biasa, urusan olah emosi, aktris muda ini piawai, tapi pelafalan Bahasa Jawanya mengganggu akibat terkurung stereotip buatan sinetron dan FTV.

Makmum sejatinya bukan sajian murahan. Poin pembeda dari produksi Baginda Dheeraj lain yakni keberadaan beberapa teror yang efektif. Memasuki horor ketiganya, Hadrah semakin cerdik memainkan atmosfer sembari meminimalisir pemakaian musik. Urusan timing pun ia membaik, terlihat jelas dalam “jump scare lemari” yang didahului pembangunan mencekam sebelum ditutup gebrakan mengejutkan.

Sayang, begitu dihadapkan pada sekuen berintensitas tinggi yang menuntut kejelian mengolah dinamika, sebagaimana di Jaga Pocong dan Malam Jumat the Movie, Hadrah masih canggung. Baik dari pilihan shot maupun gerak kamera (yang artinya juga tanggung jawab Rendra Yusworo selaku sinematografer) seperti kekurangan daya. Alhasil, kualitas klimaks di mana kekacauan memuncak terjun bebas, bergerak layaknya orang kelaparan.