TAKUT KAWIN (2018)
Rasyidharry
Maret 11, 2018
Adjis Doaibu
,
Alim Sudio
,
Babe Cabita
,
Comedy
,
Herjunot Ali
,
Indah Permatasari
,
Indonesian Film
,
Junior Liem
,
Kurang
,
Nina Kozok
,
REVIEW
,
Romance
,
Syaiful Drajat AS
9 komentar
“Awas lu ketabrak! Gue doain, gue sumpahin beneran ketabrak
lu!”. Itu bukan pertengkaran antara teman, melainkan luapan amarah seorang ibu
pada anaknya yang masih kecil, yang saya dengar di halte seusai menonton Takut Kawin. Merawat anak tidak mudah.
Banyak orang ragu menikah salah satunya karena belum siap punya momongan. Bagi
yang terlambat menyadari ketidaksiapannya, bisa berakhir seperti ibu di atas.
Intinya, alasan takut menikah bermacam-macam dan butuh melewati pertimbangan
panjang pula rumit sebelum mengambil keputusan. Sehingga saat Bimo (Herjunot
Ali) melamar Lala (Indah Permatasari) karena terbawa suasana sekaligus menolak dianggap
takut, saya tak terkejut prosesnya bermasalah.
Bimo melamar Lala di pesta pernikahan sahabatnya, Romy
(Junior Liem) ketika sedang mengucapkan kata sambutan. Orang tidak tahu malu
dan kurang peka mana yang melakukan itu? Lucuny, semua orang, termasuk kedua
mempelai tidak tersinggung, bahkan mendukung aksi dadakan itu. Di dunia nyata,
Bimo mungkin tidak lagi dianggap sahabat. Di dunia nyata pula, arsitek ganteng
nan kaya sepertinya takkan sulit merebut hati wanita atau menjadi “anak rumahan”
yang memesan air putih di kelab malam. Bagaimana cara Takut Kawin membuat penokohan itu bisa dipercaya? Meminta Junot
berakting penuh kecanggungan dengan bibir jarang terkatup seperti biasa.
Singkatnya, Bimo mulai meragukan keputusannya menikah setelah
mendapati ia dan Lala memiliki banyak perbedaan. Dibenturkan pada Lala yang
keras kepala, Bimo merasa selalu kalah pula kurang dihargai. Kejenakaan mengiringi prosesnya mempersiapkan mental menghadapi perkawinan. Setidaknya, begitu tujuan Takut Kawin. Masalahnya, Junot tidak
lucu. Usahanya menghidupkan Bimo yang canggung dan plin-plan justru
menghasilkan aktin kaku akibat penuturan kalimat tanpa nyawa. Sutradara debutan
Syaiful Drajat AS (juga selaku produer eksekutif) bagai kebingungan memakai
potensi deadpan comedy sang aktor. Sebaliknya,
Indah Permatasri bermain solid, dan karakter gadis keras nan dominan peranannya
mestinya lebih dieksploitasi lagi sebagai “counter”
bagi Bimo dalam rangka membangun unsur komedi.
Kenyataannya, Junot memang butuh tandem perihal melucu.
Tandem yang memberinya kesempatan merespon dan menimpali dengan ekspresi
polosnya, bukan yang “menguasai panggung” macam Adjis Doaibu atau Babe Cabita.
Contohnya sewaktu Nina Kozok (saya lupa nama tokohnya) menciumnya, lalu
bertanya “Is it good?”. Dengan cepat
Junot menjawab lewat acungan jempol, tentunya tanpa menutup bibir. Itu lucu. Takut Kawin butuh lebih banyak intraksi
mengelitik Junot-Indah.
Itulah mengapa sepertiga durasi akhir amat menghibur,
mengangkat kualitas filmnya secara drastis. Bimo selalu menghindari Lala,
begitu pun sebaliknya. Tapi kita tahu takdir akan mempertemukan keduanya lagi. Saat
akhirnya momen itu terjadi, Takut Kawin
berkembang makin mengasyikkan. Tengok konklusinya. Lucu, manis, dinamis, sebab
Junot dan Indah saling melengkapi sebagaimana Bimo dan Lala. Takut Kawin bicara soal betapa cinta
merupakan poin terpenting pernikahan, alhasil penonton harus dibuat percaya
bahwa kedua tokoh utama saling mencintai agar pesan itu tepat sasaran.
Sayangnya, selain kuantitas minim, di paruh awal pun kita lebih sering diuguhi
pertengkaran ketimbang kemesraan mereka.
Paruh akhirnya turut menyimpan kejutan (a good one), yang eksekusinya terganggu oleh penyutradaraan menggelikan
sewaktu Lala memutar lagu Berpisah-nya
Angel Karamoy di sela-sela pembicaraan seriusnya dengan Bimo. Sebuah momen yang
bukannya menyentuh, justru cringe-worthy.
Naskah buatan Alim Sudio yang tidak cukup menggali persoalan kultur pernikahan
di Indonesia maupun hubungan kedua protagonis, serta kerap kacaunya
pengadeganan Syaiful Drajat AS jadi akar permasalahan Takut Kawin. Seusai film, saya yakin,
penonton yang merasa takut melangkah ke jenjang pernikahan bakal tetap takut.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
9 komentar :
Comment Page:Nggak review sekala niskala kah min? Scara penasaran bgt sama film itu
Udah kok, postingan bulan Desember tapi. Nonton di JAFF soalnya :)
Masi sempat nggak mas rasyid buat review film" lama? Film sekarang bosan :v
Kira kira Isle of Dogs kapan tayang di Indonesia nih?
@benny haha nontonnya aja udah kurang sempet
@Zulfikar Harusnya awal April, soalnya Maret udah full dan April lowong gara-gara pada takut Infinity War
Bang, kemarin q nonton up in the air d tv, trus ngliat reviewmu. gimana kalo dibuat reviewnya lagi dg gaya bahasa yg sekarang bang. Hehe..
Haha don't read my old reviews please
Best comment itu wkwk, ide bagus bang kalau dibuat ulang pasti 5 star
Jelas. That's my "life changing movie". Dari yang ogah nonton film Oscar karena ngerasa terlalu berat jadi demen.
Posting Komentar