Tampilkan postingan dengan label Ence Bagus. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ence Bagus. Tampilkan semua postingan

REVIEW - GARA-GARA WARISAN

Melakoni debut penyutradaraannya, Muhadkly Acho (juga selaku penulis naskah, posisi yang pernah ia tempati di Kapal Goyang Kapten) mengikuti jejak Ernest Prakasa (menjabat produser film ini) sebagai komika yang mampu menggabungkan humor dengan drama keluarga menyentuh. 

Tapi Gara-Gara Warisan takkan langsung menggigit. Film ini lambat panas. Sekitar 15-20 menit pertama, saya bahkan mengira bakal pulang dengan kekecewaan. Sekuen pembukanya meletakkan pondasi bagi konflik utama, di mana kita mengunjungi Dahlan (Yayu Unru) dan Salma (Lydia Kandou), pasutri pengelola guest house dengan tiga anak. Salma mengidap kanker, lalu meninggalkan suami beserta anak-anaknya. 

Pembukaan tersebut, yang dikemas bak kumpulan fragmen, sayangnya dirangkai kurang rapi, pula kurang intim untuk bisa menghasilkan dampak emosi (seperti replikasi lebih lemah dari Up). Lalu secara bergantian kita menyambangi hidup ketiga anaknya. 

Adam (Oka Antara) si sulung, yang sejak kecil merasa tak dianggap oleh ayahnya, menikahi Rini (Hesti Purwadinata), memiliki satu putera, dan bekerja di bagian customer service. Laras (Indah Permatasari) mengabdi dengan cara mengelola panti wreda bersama Benny (Ernest Prakasa). Si bungsu yang paling dimanja, Dicky (Ge Pamungkas), adalah musisi yang lebih banyak menghabiskan waktu mengonsumsi narkoba bersama Vega (Sheila Dara), pacarnya, ketimbang bermusik.

Semua tengah kesulitan ekonomi, semua punya masalah personal dengan anggota keluarga lain. Adam merasa sang ayah hanya menyayangi Dicky, sedangkan Laras pergi dari rumah karena enggan bertemu ibu tirinya, Asmi (Ira Wibowo). Alurnya terus melompat, harus membagi waktu antar karakter karena bentuknya yang lebih dekat ke arah ensambel ketimbang fokus ke satu sosok. Bukan perkara mudah. Naskah buatan Acho cukup tertatih-tatih di fase ini. Apalagi tatkala serupa banyak produksi Starvision, departemen penyuntingan (vital di film ensambel) bekerja kurang mulus. 

Sampai Dahlan jatuh sakit, kemudian memanggil tiga anaknya, meminta mereka "berlomba" mengelola guest house. Pemenangnya bakal menjadi pimpinan baru guest house. Memasuki titik inilah Gara-Gara Warisan mulai "memanas". Meski masih membawa persoalan masing-masing, tiap tokoh bergerak ke satu tujuan, sehingga memudahkan fokus penceritaan. 

Secara alamiah pun, setelah menghabiskan beberapa waktu mengikuti karakternya, kita mulai mengenal sekaligus terhanyut dalam problematika mereka. Salah satu poin terbaik terkait penokohan naskahnya adalah, tidak ada karakter yang benar-benar patut dicaci maupun sepenuhnya suci. Kadang timbul simpati, namun ada kalanya memancing rasa benci. 

Bukan keluarga harmonis yang ingin ditampilkan, melainkan sekumpulan individu tidak sempurna, dengan beraneka ragam kelebihan/kebaikan dan kekurangan/keburukan. Tinggal bagaimana mereka dapat mengisi lubang masing-masing. Terdapat fase menarik di alurnya yang mewakili gagasan di atas, yakni ketika Adam, Laras, dan Dicky bergantian mengurus guest house. 

Adam selaku petugas customer service menekankan perihal keramahan, mengajari karyawan cara memperlakukan tamu bak raja. Laras yang sarat pengalaman mengelola panti wreda, memaparkan rencana terstruktur, termasuk soal strategi promosi. Sedangkan Dicky yang terbiasa hidup semaunya, fokus pada kebahagiaan karyawan. Ketiga perspektif tersebut sebenarnya komponen penting, yang bila disatukan, akan membentuk kesempurnaan. Sama halnya dengan esensi "bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh" dalam konteks keluarga. Sayang, poin ini tidak diberi payoff memadai. 

Di sela-sela konflik keluarga pelik miliknya, Gara-Gara Warisan menaruh humor sebagai penyegar suasana. Keempat karyawan guest house diberi tugas mengeksekusi humornya. Wiwin (Aci Resti), Ijul (Lolox), Aceng (Ence Bagus), dan Umar (Dicky Difie) sanggup menjadi scene stealer, yang kemunculannya efektif memancing tawa berkat kepiawaian cast. Belum lagi tambahan kekuatan dari beberapa cameo. 

Bagaimana dengan debut Acho di kursi penyutradaraan? Memang belum sempurna, sebab ia sendiri masih meraba-raba cara memperkuat emosi lewat pengadeganan, tanpa harus sepenuhnya bergantung pada akting pemain. Sebuah keributan besar di peralihan menuju third act, yang terasa seperti versi lebih mentah dari adegan serupa di Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini, merupakan contohnya. 

Tapi Acho juga membuktikan potensinya. Di klimaks, tatkala semua (ya, semua) pemeran utama mencurahkan seluruh emosi mereka, Acho tahu mana saja gestur-gestur yang harus ditangkap kamera. Gestur-gestur yang mewakili luapan ekspresi kasih sayang antar anggota keluarga. 

Dipimpin oleh penampilan heartbreaking Yayu Unru, klimaksnya luar biasa dalam mengaduk-aduk perasaan, salah satunya karena perspektif yang ditawarkan. Entah sudah berapa banyak film keluarga kita menjustifikasi kesalahan orang tua dengan mengatasnamakan "niat baik". Gara-Gara Warisan menolak hal tersebut. Filmnya merangkul ketidaksempurnaan. Bahwa orang tua pun bisa salah. Benar-benar salah, tanpa alasan, tanpa pembenaran. Bahwa "memohon pengampunan" bukan cuma ucapan yang patut dilontarkan anak. Ada kalanya mengakui kesalahan justru membuka lembaran baru yang penuh kehangatan.

BUKU HARIANKU (2020)

Saya selalu mengapresiasi film anak dalam negeri. Generasi muda kita membutuhkannya. Termasuk Buku Harianku, walau plot maupun deretan lagunya kental nuansa recycle. Musikal dalam kisah tentang anak kota menyambangi desa dan/atau berlibur ke rumah kakek, sudah jadi pola berulang sejak era Petualangan Sherina dua dekade lalu hingga kini. Bahkan sebagaimana di Petualangan Menangkap Petir (2018), tokoh kakek juga diperankan Slamet Rahardjo.

Kila (Kila Putri Alam) merindukan mendiang ayahnya, Arya (Dwi Sasono) yang gugur saat bertugas sebagai tentara. Walau amat menyayangi Kila, sang ibu, Riska (Widi Mulia), selalu sibuk bekerja. Pun rencana liburan ke Bali mesti diundur karena Riska mendapat tugas dadakan dari kantor. Kila pun terpaksa menghabiskan liburan sementara waktu di rumah Kakek Prapto (Slamet Rahardjo), yang terletak di Desa Goalpara, Sukabumi.

Figur kakek identik dengan rasa sayang luar biasa kepada cucu, tapi tidak dengan Kakek Prapto. Sebagai pensiunan tentara, ia begitu keras, bahkan menganggap bocah seperti Kila hanya merepotkan saja. Walau dibuat kesal, Kila juga menemukan sahabat baru di Goalpara. Namanya Rintik (Widuri Putri), puteri Keling (Ence Bagus) dan Neneng (Wina Marrino) yang bekerja untuk Kakek Prapto. Biarpun Rintik memiliki disabilitas (bisu), hubungan mereka sama sekali tidak terhalang.

Disabilitas memang tak seharusnya menghalangi pertemanan. Itu merupakan satu dari sekian banyak pesan bernilai yang dituturkan oleh naskah buatan Alim Sudio. Perihal belajar bahasa isyarat, anjuran makan sayur, ajakan mencintai alam, dan pastinya nilai kekeluargaan merupakan hal-hal penting yang dapat anda ajarkan saat membawa anak/adik/keponakan menonton Buku Harianku.

Setidaknya berkat pesan-pesan di atas, anda takkan pulang dengan tangan kosong, mengingat sebagai musikal, film ini kurang berhasil. Walau semakin membaik seiring durasi, tata suara pada menit-menit awal seperti tanpa melewati proses mixing, yang mana merupakan kelemahan fatal bagi sebuah musikal. Deretan lagunya catchy, pun mengandung lirik ringan mengenai kehidupan sehari-hari yang mudah dicerna penonton anak. Tapi akibat kemiripan di sana-sini, lagu-lagunya bagai “pengulangan” dari lagu-lagu populer yang sudah lebih dulu muncul.

Apalagi belum semua momen musikalnya mencapai standar tontonan layar lebar. Disutradarai oleh Angling Sagaran (From London to Bali, Tabu) dengan tim dari EKI (Eksotika Karmawibangga Indonesia) sebagai pengarah tari, sekuen musikal Buku Harianku sering kekurangan tenaga, seolah tak melalui proses rehearsal (banyak musikal anak kita yang punya hasil jauh lebih baik), walau musikalnya melahirkan satu pemandangan hangat ketika Rintik dan Kila berdiri di panggung 17-an.

Terkait penceritaan, terdapat beberapa lubang. Pertama soal perubahan sikap karakter. Kakek Prapto semestinya dibawa melewati transformasi dari seorang kakek ketus menjadi lebih ramah, tapi gradasi itu tak nampak karena ambiguitas penokohan. Kadang ia galak, kadang melembut, sehingga saat titik balik sesungguhnya terjadi, dampaknya tidak terlalu besar. Sedangkan di kesempatan lain, Neneng sempat memarahi Kila yang dianggapnya membahayakan Rintik. Tapi keesokan harinya, semua kembali seperti semula, seolah tidak terjadi apa-apa. Permintaan maaf dari Neneng kepada Kila sebenarnya sudah cukup untuk menambal lubang itu.

Terdapat subplot lain mengenai Samsudi (Gary Iskak), seorang pebisnis yang berniat membangun resor dengan kedok memajukan pertanian Desa Goalpara. Konflik ini muncul hanya untuk memenuhi obligasi dalam aturan tak tertulis film anak, di mana keberadaan sosok penjahat merupakan kewajiban. Tapi selain nihil substansi dan takkan berdampak sedikit pun andai dihilangkan, pilihan konklusinya terkesan malas. Ini bukan simplifikasi guna memudahkan penonton anak, melainkan “simply lazy”.

Beruntung, Buku Harianku masih memiliki jajaran pemain yang tampil cukup solid. Di luar inkonsistensi penokohannya, Slamet Rahardjo tidak pernah gagal menambahkan hati. Begitu juga Ence Bagus, yang layak mendapat pengakuan lebih dari “sekadar” seorang komedian. Sementara Kila Putri Alam tidak terbebani kala melakoni peran utama dalam debut layar lebarnya. Santai, luwes, dan natural untuk ukuran aktris cilik, ia adalah figur yang pas untuk memimpin penonton anak mengarungi petualangan bernama Buku Harianku, yang sayangnya berjalan tidak terlalu mulus ini.

JAFF 2019 - ABRACADABRA

Pesulap bernama Lukman (Reza Rahadian) memutuskan pensiun. Di pertunjukkan terakhirnya, ia bertaruh, kalau triknya gagal, maka ia takkan melakukan sulap lagi. Sebuah alasan semata, karena di situ, Lukman memang berniat gagal. Triknya adalah menghilangkan bocah dalam kotak. Alih-alih kotak khusus, ia memakai kotak kayu biasa peninggalan sang ayah, seorang pesulap tersohor yang hilang pasca pensiun. Tapi, saat dibuka, kotak itu kosong. Kekosongan yang juga terasa di hati saya selama menonton Abracadabra.

Berikutnya, orang-orang lain ikut hilang karena kotak tersebut, dan Lukman melakukan perjalanan guna mengembalikan mereka, sembari mencari tahu rahasia di balik kotak kayu bertuliskan “Abracadabra” itu. Perjalanan yang melibatkan kejar-kejaran dengan trio polisi konyol (Butet Kertaradjasa, Ence Bagus, Imam Darto) hingga kemunculan wanita berpenampilan glamor (Salvita Decorte) yang bak berasal dari masa tatkala kabaret Moulin Rouge mencapai puncak kejayaan.

Faozan Rizal (Habibie & Ainun, Say I Love You), selaku sutradara sekaligus penulis naskah, menjadikan film ini taman bermain. Sejak menit-menit awal ketika Lukman mengadakan pertunjukan sementara pesulap-pesulap lain—termasuk Paul Agusta dengan dandanan ala drag queen dan Ismail Basbeth yang bisa melayang—ikut menonton, absurditas sudah terbangun. Ini bukan dunia di mana manusia berperilaku seperti realita, kultur dan teknologi bagai berasal dari dongeng, pun nalar tidak bekerja “sebagaimana mestinya”.

Kreativitas ide liar Faozan Rizal dalam membangun dunia memang menarik, sama menariknya dengan bagaimana sang sutradara, yang lebih dikenal sebagai sinematografer, menjadikan Abracadabra salah satu suguhan visual paling unik serta memanjakan mata dalam perfilman Indonesia. Terkesan quirky dan banyak dihiasi warna pastel, tidak salah bila ingatan langsung tertuju pada karya-karya Wes Anderson, khususnya The Grand Budapest Hotel (2014).

Ragam warna pembungkus latar termasuk kantor polisi berwarna merah muda di tiap sudut, mise-en-scène yang memperhatikan betul presisi penempatan objek termasuk aktor secara detail, pesawat dan mobil mainan yang berjalan di atas sebuah peta untuk menggambarkan perjalanan Lukman, kostum-kostum ala pertunjukan panggung megah, menciptakan pemandangan pemuas mata, yang memperlihatkan apa jadinya kalau perkawinan empat departemen, yaitu penyutradaraan, sinematografi, tata kostum, dan art direction, berlangsung mulus.

Hampir tiap shot bisa di-capture sebagai wallpaper, untuk kemudian diamati terkait luar biasanya Faozan dan tim memperhatikan detail. Visualnya memang menghipnotis. Tapi seperti orang dihipnotis, hati terasa hampa. Ceritanya tenggelam dalam eksperimentasi gambar dan gaya. Padahal sejatinya, kisah Abracadabra sederhana saja. Tentang perjalanan karakternya memahami, mempercayai, lalu akhirnya menerima.

Dikisahkan, kotak milik Lukman terbuat dari kayu Yggdrasil, pohon dari mitologi Norse, yang menghubungkan sembilan dunia. Silahkan cari tahu beberapa kisah soal Yggdrasil dan mitologi Norse secara umum, termasuk tentang konsep waktu yang tidak linear dalam mitologi itu. Anda akan bisa memecahkan garis besar teki-teki Abracadabra. Tapi adanya makna tersirat dan metafora tidak berbanding lurus dengan kualitas penceritaan. Terpenting adalah pengemasannya. Dan di sini, rasa dalam drama kehidupan Lukman lenyap. Bernasib sama adalah kualitas akting Reza Rahadian.

Jangan salah, Reza tidak pernah buruk. Hanya saja, kesan spesial yang kerap mengiringi kemunculannya urung nampak. Dia tak kuasa memperbaiki penokohan membosankan Lukman, seorang pria gloomy di antara dunia sarat keceriaan. Abracadabra mengandung dua sisi yang tak pernah bisa melebur. Tuturan komersil ringan bersenjatakan lelucon receh yang cukup efektif memancing tawa berbenturan dengan kontemplasi kelam. Ketimbang saling mengisi, pertemuan keduanya melahirkan inkonsistensi. Film ini kental pengaruh Wes Anderson, dan sulit tidak berharap Faozan mau sepenuhnya menempuh jalur komedik seperti Anderson.

Proses batin protagonisnya gagal dieksplorasi, sehingga saat akhirnya ia mencapai destinasi, transformasi internalnya kurang meyakinkan. Sungguh saya ingin menyukai Abracadabra, khususnya karena totalitas para pembuatnya melahirkan parade visual luar biasa patut diacungi jempol. Tapi patut disadari bahwa urgensi di industri perfilman kita adalah soal perbikan penulisan naskah, bukan gambar cantik.

IKUT AKU KE NERAKA (2019)

Ikut Aku ke Neraka adalah film di mana Sara Wijayanto muncul dalam kapasitas glorified cameo sebagai psikiater yang menyampaikan kepada bawahannya bahwa salah satu pasien yang mereka tangani mungkin bukan mengalami gangguan jiwa melainkan diganggu makhluk halus, sementara Ence Bagus memerankan dokter kandungan yang melontarkan lelucon di tengah proses persalinan. Tidak mengejutkan bila masih tersimpan banyak kengawuran lain.

Merupakan kali kedua Azhar Kinoi Lubis menyutradarai horor pasca Kafir: Bersekutu dengan Setan yang menyiratkan potensi meski eksekusinya jauh dari maksimal, Ikut Aku ke Neraka memang tontonan ngawur dan acak. Termasuk judulnya, yang mengingatkan pada Drag Me to Hell. Ketika film garapan Sam Raimi tersebut memang secara literal menampilkan usaha hantu menarik korbannya ke neraka, judul film ini tak ubahnya clickbait.

Film dibuka dengan memperlihatkan Sari (Cut Mini) di rumah sakit jiwa, kemudian melompat untuk mengajak kita bertemu gadis cilik yang bisa berinteraksi dengan hantu. Gadis itu tak lain adalah protagonis kita, Lita (Clara Bernadeth) yang kini sedang hamil tua. Hanya lewat beberapa menit awal saja, penuturan berantakan dari naskah buatan Fajar Umbara (Comic 8, Mata Batin, Sabrina) seketika dapat dideteksi.

Kebahagiaan Lita dan sang suami, Rama (Rendy Kjaernett) harus sirna akibat teror sesosok hantu, yang terjadi setelah Lita mengoperasi tanda lahir di punggungnya. Malang bagi Lita, Rama tak mempercayai ceritanya. Kemudian kisah bergerak menuju.....well,  sebenarnya untuk berpuluh-puluh menit ke depan, kisahnnya jalan di tempat. Lita diteror, melapor pada Rama yang tak menggubris ceritanya. Begitu seterusnya.

Narasi semacam itu bisa menarik jika berhasil mempermainkan perspektif penonton terkait kondisi psikis Lita. Tanpanya, hanya ada repetisi menyebalkan, sebab respon skeptis Rama praktis menghalangi alurnya bergerak maju. Keadaan membaik setelah Rama mengakui kebenaran cerita sang istri, lalu memanggil dukun bernama Adam (Teuku Rifnu Wikana), yang menjabarkan beberapa teori seputar alasan di balik teror si hantu. Teori yang alih-alih menjawab, justru menyulut pertanyaan lain, yang menunjukkan kebingungan Fajar membangun aturan mistisismenya sendiri.

Naskahnya bertambah remuk jika kita membahas soal diksi. Banyak kalimat, sebutlah, “Mari akhiri malapetaka ini”, “Dia adalah entitas independen”, dan lain sebagainya, takkan kita temukan dalam obrolan kasual di realita. Semakin terdengar aneh ketika penghantaran lemah para pemain turut berkontribusi.

Sekali waktu, kita diajak mengunjungi Sari yang tiap malam juga mendapatkan teror di bangsalnya. Tidak perlu merekrut nama sekaliber Cut Mini untuk peran sekecil Sari, tapi Ikut Aku Ke Neraka adalah film yang memasang Sara Wijayanto sebagai psikiater dan Ence Bagus sebagai dokter kandungan. Keputusan memakai Cut Mini jelas lebih bisa dipahami. Setidaknya sang aktris mampu jadi penampil terbaik, ketika jajaran cast lain tidak terlalu berkesan (Teuku Rifnu Wikana, Clara Bernadeth), atau justru bermain kaku (Rendy Kjaernett).

Beruntung, departemen penyutradaraan sedikit lebih baik. Azhar Kinoi Lubis masih sanggup membuat segelintir jump scare yang cukup efektif meningkatkan intensitas, biarpun metode kemunculan hantunya miskin kreativitas, dan masih terjebak dalam pemakaian tata suara berisik. Elemen soild lain adalah tata artistik dan visual, namun pada titik ini, nuansa vintage dari dekorasi serta pewarnaan tak lagi spesial akibat terlalu sering dieksploitasi pasca kesuksesan Pengabdi Setan (oleh horor produksi Rapi Films).

Ikut Aku ke Neraka ditutup oleh konklusi kelam yang gagal menusuk perasaan akibat ketidakmampuan memancing kepedulian terhadap jajaran karakternya. Seolah belum cukup, pemandangan konyol yang menggabungkan penulisan bodoh dan akting buruk, menyusul beberapa detik kemudian selaku mid-credits scene.

DOREMI & YOU (2019)

Siapa sangka sineas di balik arthouse tentang perjalanan wanita lanjut usia mencari makam sang suami berjudul Ziarah (2016), berujung menghasilkan salah satu film anak Indonesia terbaik selama beberapa tahun terakhir, yang pula pantas disebut sebagai salah satu musikal lokal modern paling meghibur. Doremi & You ibarat ajang pembuktian versatilitas seorang BW Purbanegara.

Bagi saya, musikal yang baik adalah pertemuan kreativitas dengan keindahan tak tergambarkan, yang mampu menggerakkan rasa meski tanpa peristiwa penuh drama. Doremi & You menampilkan itu sedari momen pembuka tatkala para tokoh utama bersatu dalam nomor musikal berlatar lingkungan sekolah.

Di situ, BW Purbanegara bukan sebatas mengumpulkan sebanyak mungkin siswa untuk menari di lapangan sekolah, melainkan menempatkan mereka di berbagai titik peristiwa, yang masing-masing menyimpan elemen unik. Dipandu koreografi sarat kreativitas garapan Mila Rosinta (Another Trip to the Moon), kita berkesempatan menyaksikan siswa-siswi menari dalam sapuan cat tubuh warna-warni atau menggunakan peralatan pramuka sebagai properti. Sungguh momen pembuka yang efektif merebut atensi.

Naskah hasil tulisan BW bersama Jujur Prananto (Ada Apa Dengan Cinta?, Pendekar Tongkat Emas, Petualangan Menangkap Petir) sejatinya tidak melakukan banyak modifikasi formula, yang mana bukan kewajiban dalam tontonan ringan bagi anak semacam ini. Kisahnya mengangkat tentang persahabatan empat murid SMP: Putri (Adyla Rafa Naura Ayu), Anisa (Nashwa Zahira), Markus (Toran Waibro) dari ekstrakulikuler paduan suara, dan Inung (Fatih Unru) dari ekstrakulikuler teater.

Suatu sore, akibat kecerobohan di tengah perjalanan sepulang sekolah, mereka menghilangkan uang iuran jaket tim paduan suara sebesar tiga juta rupiah. Demi menggantinya, mereka memutuskan mengikuti Doremi & You, sebuah lomba tarik suara yang menjanjikan uang sebesar 10 juta rupiah bagi sang pemenang. Anda mungkin merasa kejadian tersebut bukan akhir dunia, tapi ingat, keempatnya adalah bocah SMP. Bayangkan anda berada di usia mereka (ditambah bukan berasal dari keluarga kaya), masalah serupa pasti bakal memberi tekanan luar biasa.

Tapi karena semakin dekatnya UAS, si guru paduan suara (Ence Bagus) melarang adanya kegiatan ekstrakulikuler dan menolak permintaan menjadi pelatih. Alhasi, Putri meminta pertolongan Reno (Devano Danendra), siswa SMA yang berposisi sebagai asisten pelatih paduan suara. Sebuah ide yang terbentur ketidaksukaan teman-teman Putri terhadap Reno, yang menganggapnya dingin, galak, menyebalkan, dan pretensius. Reno sendiri awalnya menolak tawaran itu.

Masalah belum berhenti. Karena kegagalan di UAS berpotensi membuat beasiswanya dicabut, Anisa dilarang turut serta oleh sang paman (Teuku Rifnu Wikana) yang keras, sementara Markus mendapati bisnis jasa badut ayahnya mulai sekarat. Naskahnya cukup rapi guna memposisikan konflik-konflik itu selaku pondasi penokohan ketimbang distraksi. Kehadirannya justru memperkaya cerita alih-alih menghilangkan fokus.

Adegan pembuka beriringkan lagu Hari ini Indah tetap jadi favorit saya, namun bukan berarti momen lainnya lemah. Harmoni melahirkan musikal berskala lebih kecil tapi dengan romantisme besar, sedangkan usaha melagukan beberapa dialog, walau tak selalu sukses (sesekali berujung cringey), mayoritas sukses menambah dinamika menyenangkan dalam interaksi karakternya, termasuk menghadirkan tawa.

Klimaks berlatar kompetisi Doremi & You (didahului twist yang sebenarnya kurang substansial) menampilkan kepiawaian Andi Rianto (30 Hari Mencari Cinta, Arisan!, Kartini) memadukan ragam musik nusantara. Keragaman memang salah satu pesan utama filmnya, yang menekankan “unity in diversity”. Keempat protagonis memiliki latar kultural berbeda, pun perspektif Doremi & You tentang musik mengandung pesan serupa, yang diwakili sempilan obrolan antara Reno dan Putri mengenai perbedaan cara memakan bubur ayam.

Penonton anak bisa memetik pesan berharga dari hal-hal tersebut, di samping selipan pernak-pernik lain, misalnya pelajaran perihal mencari informasi via membaca buku yang kini mudah dilakukan berkat fasilitas daring. Anak-anak pun berkesempatan menikmati jajaran idola seusia unjuk gigi memamerkan talenta. Toran menggelitik, Nashwa tampil baik melakoni mome dramatik, Fatih penuh warna seperti biasa, dan Naura “membabat habis” seluruh nomor musikal berbekal aura bintang tak terbantahkan. Sebagai penampil yang (sedikit) lebih dewasa, Devano membuktikan bahwa ia jauh lebih hidup ketimbang saat dipaksa memerankan remaja (sok) keren di Melodylan.

Kelemahan muncul sewaktu BW menempatkan terlalu banyak shot tak perlu, yang bakal lebih berguna dalam suguhan “arus samping” sebagai media membangun atmosfer dan kesadaran penonton akan latar sebuah peristiwa, tapi justru melemahkan kelincahan gerak tontonan ringan macam Doremi & You. Tapi itu bisa dipahami. Film ini merupakan transisi bagi sang sutradara, dan sungguh transisi yang memuaskan.

DILAN 1991 (2019)

Alasan materi promosi Dilan 1991 menjual filmnya sebagai “fotokopi” Dilan 1990, yang murni bergantung pada keeksentrikan si tokoh tituler serta rayuan unik (atau aneh?) miliknya, bisa dimengerti. Formula tersebut lebih dari sekadar sukses. Adaptasi novel karya Pidi Baiq itu pantas disebut fenomena budaya populer. Kalimat-kalimat maupun adegannya melahirkan jutaan meme sekaligus menjadi film lokal terlaris kedua sepanjang masa. Saya yakin Dilan 1991 bakal mengulang, bahkan bisa melebihi kesuksesan itu. Silahkan tengok jumlah penonton hari pertama yang akan dengan gampang menghempaskan rekor Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 2 (313 ribu).

Apabila anda tak tahan dengan pendekatan film pertamanya, mudah untuk memandang rendah apa yang trailer-nya tampilkan. Bahkan saya yang mampu menoleransi puisi gombal Dilan, merasa pesimis dan memasang ekspektasi rendah. Dilan 1991 dibuka lewat pemandangan yang sesuai ekspektasi tersebut. Dilan (Iqbaal Ramadhan) dan Milea (Vanesha Prescilla) yang telah resmi berpacaran, sedang berboncengan di bawah guyuran hujan. Tentu saja sepanjang perjalanan, Dilan sibuk membombardir telinga sang kekasih dengan baris-baris kalimat ajaib yang membuat saya merinding geli.

Sampai beberapa lama, naskah garapan Titien Wattimena (Salawaku, Dilan 1990, Aruna & Lidahnya) dan Pidi Baiq (juga merangkap sutradara) masih belum beranjak dari jalur tersebut. Walau cukup melelahkan, saya akui gestur “ciuman tangan” Dilan-Milea akan melahirkan hal ikonik baru di kalangan remaja. Tapi begitu konflik bermunculan, Dilan 1991 memperlihatkan wajah aslinya sebagai romansa remaja dengan hati.

Konfliknya tidak baru maupun kompleks, masih mondar-mandir seputar dua muda-mudi dimabuk cinta yang berusaha mempertahankan hubungan mereka. Kini Milea, yang sudah merasa mempunyai hak bicara sebagai kekasih, mulai berani vokal mengutarakan ketidaksukaan perihal bergabungnya Dilan dalam geng motor. Milea khawatir, suatu hari aktivitas itu bakal menempatkan Dilan di tengah situasi berbahaya. Kekhawatiran yang akhirnya terbukti tepat.

Masalah di atas sederhana, namun relatable. Keinginan Milea masuk akal, tapi Dilan dengan hatinya yang sekeras batu menolak dikekang. Tersimpan potensi yang sayangnya urung naskahnya jamah, yakni soal penggalian sisi personal Dilan. Menyelami isi hati terdalamnya, mengeksplorasi dinamika psikis atau rasanya, bisa membuat penonton memahami Dilan dengan sendirinya, daripada harus diberitahu secara verbal oleh dialog-dialog.

Dengan begitu, Dilan bukan saja sesosok mesin puisi, tapi manusia sungguhan. Walau belum maksimal, setidaknya kini kita dapat sekilas melihatnya, ketika tak semua interaksi Dilan-Milea diisi buaian gombal. Adegan Milea menyuapi roti menunjukkan wajah percintaan yang lebih membumi sekaligus memberi Iqbaal kesempatan menampilkan akting natural sesuai bakatnya. Beruntung bagi Vanesha, karakterisasi Milea memfasilitasi kapasitas akting dramatiknya. Bersenjatakan tangisan yang ampuh menusuk hati, bahkan kalimat klise macam “Aku sayang kamu, Dilan” terdengar menyentuh.

Perjalanan Milea menciptakan drama emosional bagi penonton turut dibantu kehadiran dua sosok wanita: Bunda Dilan (Ira Wibowo) dan Ibu Milea (Happy Salma). Bunda lebih aktif dan lantang, sedangkan Ibu penuh kelembutan. Keduanya saling melengkapi, sama-sama sosok wanita mengagumkan, dan senantiasa menebarkan kehangatan kasih sayang ibu tiap kali muncul di layar.

Faktor lain di balik peningkatan pesat bobot emosinya dibanding film pertama adalah makin apiknya pengarahan Pidi Baiq dan Fajar Bustomi (Jagoan Instan, Surat Kecil untuk Tuhan, Dilan 1990) dalam meramu momen menyentuh, meski anda takkan menemukan kesubtilan dari pengadeganan mereka. Sementara lagu-lagu seperti Rindu Sendiri dan Dulu Kita Masih SMA yang telah mengakar di benak penonton turut berkontribusi melahirkan suasana manis. Saya tak malu mengakui bahwa di beberapa kesempatan, termasuk montase saat Milea mengenang memori di Bandung (adegan “kenangan” dalam film adalah kelemahan saya), air mata nyaris mengalir.

Penceritaan Dilan 1991 tak sepenuhnya mulus. Progresi ceritanya disusun lewat gaya episodik dan durasi 121 menit jelas terlampau panjang. Banyak poin minim substansi, seperti kemunculan kembali Kang Adi (Refal Hady) hingga subplot tentang Pak Dedi (Ence Bagus) si guru genit bisa dibuang tanpa merusak intisari kisah. Saya pun terganggu oleh dekorasi bioskop, yang meski telah mendesain ulang loket penjualan tiket, secara keseluruhan nampak begitu kekinian. Sisanya saya tak bisa banyak berkomentar karena tak mengetahui detail kondisi Bandung awal 90-an.

Memiliki sederet kekurangan tadi, Dilan 1991 jelas jauh dari sempurna. Tapi apabila sebuah romansa mampu melahirkan protagonis likeable (khususnya Milea), bahkan mengaduk-aduk perasaan, bagi saya itu sudah cukup. Dilan 1991 merupakan sekuel memuaskan yang tampil superior dibanding pendahulunya dan menyulut ketertarikan akan film berikutnya: Milea.

PS: Terdapat post-credits scene, namun sangat pendek dan tak seberapa penting kecuali bagi penggemar berat.

SUZZANNA: BERNAPAS DALAM KUBUR (2018)

Judul film ini terdengar seperti gabungan antara Bernafas dalam Lumpur (1970) dan Beranak dalam Kubur (1971), dua film yang dibintangi Suzzanna Martha Frederika van Osch. Judul yang disebut pertama bukan horor, namun drama, yang konon merupakan film Indonesia pertama yang berani menonjolkan seksualitas, pemerkosaan, juga kata-kata kasar, dengan “sundel” alias “sundal” alias “pelacur” sebagai salah satunya. Menariknya, elemen-elemen plot Suzzanna: Bernapas dalam Kubur banyak mengambil inspirasi dari Sundel Bolong (1981).

Kebetulan? Sepertinya begitu. Tapi saya bakal percaya jika muncul pernyataan bahwa easter egg di atas adalah kesengajaan. Sebab orang-orang di balik Suzzanna: Bernapas dalam Kubur terbukti paham betul kriteria yang harus dipenuhi kala membuat “Film Suzzanna”. Ini bukan biopic, bukan pula remake, melainkan penghormatan yang dilakukan dengan benar, alih-alih sekedar usaha tak tahu malu guna mengeruk uang. Ini adalah ode yang menunjukkan betapa (warisan) Suzzanna masih menghembuskan napas terornya dari dalam kubur.

Pendekatan tersebut tampak dari pemilihan nama tokoh utama. Bukan Alicia, Lila, atau (yang paling tenar) Suketi, tapi Suzzanna, yang diperankan oleh Luna Maya dalam penjelmaan sempurna sebagai sang ratu horor. Dalam wujud manusia (a.k.a. sebelum bertransformasi menjadi sundel bolong), kita melihat Luna dalam balutan prostetik yang membuatnya bak kembaran Suzzanna, apalagi ditambah kefasihannya berlogat bak noni Belanda. Walau sesekali terdengar inkonsisten, Luna sebagai Suzzanna adalah pemandangan adiktif yang membuat saya lupa, jika butuh beberapa lama sebelum horor merangsek masuk.

Suzzanna dan sang suami, Satria (Herjunot Ali), menjalani kehidupan penuh cinta yang bahagia, khususnnya saat setelah tujuh tahun, momongan yang dinanti akhirnya tiba. Tapi jika mengenal film-film Suzzanna, tentu anda tahu ada tragedi bersiap mengacaukan kebahagiaan mereka. Tragedi yang hadir dalam wujud rencana empat karyawan Satria: Umar (Teuku Rifnu Wikana), Dudun (Alex Abbad), Jonal (Verdi Solaiman), dan Gino (Kiki Narendra). Mereka memutuskan merampok rumah Satria setelah permintaan naik gaji ditolak. Aksi itu dilangsungkan di tengah penugasan Satria ke Jepang, sementara Suzzanna sedang  menghabiskan malam Minggu menonton layar tancap. Ketika di luar dugaan Suzzanna pulang lebih awal, mereka berempat terpaksa membunuh, lalu menguburnya di pekarangan belakang rumah.

Keesokan paginya ia terbangun, seolah baru bermimpi buruk seperti biasa. Sebuah keputusan berani dari naskah karya Bene Dion Rajagukguk (Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 & 2, Stip & Pensil) yang dibuat berdasarkan cerita buatannya bersama Sunil Soraya (Supernova: Ksatria, Putri, & Bintang Jatuh, Single) dan Ferry Lesmana (Danur: I Can See Ghosts). Sekilas absurd, tapi—dalam kasus langka di film horor kita—Bene menyusun aturan-aturan soal apa yang bisa/tidak bisa sundel bolong lakukan, alasan ia melakukan “A” daripada “B”, dan sebagainya. Jumlahnya bisa dihitung jari, tak seberapa kompleks, tapi Bene terus konsisten membangun alur berdasarkan aturan yang ia tetapkan.

Film-film Suzzanna dahulu adalah wujud totalitas hiburan, yang meski punya tujuan utama menakut-nakuti, menolak malu-malu menyentuh ranah kekonyolan, baik melalui komedi maupun cara metode membunuh over-the-top dari sundel bolong. Sebuah hiburan paket lengkap bagi semua kalangan yang seru disaksikan beramai-ramai, baik di studio bioskop atau layar tancap di tengah lapangan kampung. Suzzanna: Bernapas dalam Kubur mengusung tujuan serupa, sehingga diselipkanlah komedi, yang penghantarannnya dilimpahkan pada trio Asri Welas, Opie Kumis, Ence Bagus.

Ketiganya memerankan pembantu Suzzanna. Di satu kesempatan, mereka mecurigai jati diri si majikan, dan memulai penyelidikan yang berujung pada momen paling jenaka sepanjang film. Khususnya Opie Kumis dengan kepiawaian melontarkan celotehan-celotehan absurd yang kelucuannya sukar ditampik. Opie memang komedian berbakat yang butuh lebih banyak tampil di film apik macam ini ketimbang judul-judul seperti Humor Baper (2016) atau Selebgram (2017).

Suzzanna: Bernapas dalam Kubur memang hendak mengikuti formula horor Suzzanna masa lalu, namun juga berfungsi selaku modernisasi. Daripada b-movie, pendekatan lebih “besar” diterapkan, yang mana dapat kita sadari hanya dengan sekilas mengamati tata artistik dan sinematografi garapan Ipung Rachmat Syaiful (Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, Rudy Habibie). Ketika Suzzanna memeriksa seisi rumahnya sewaktu perampokan berlangsung, kameranya bergerak mulus, menyapu seisi ruangan lewat single take untuk memperlihatkan keempat perampok di persembunyian masing-masing. Sedangkan musik gubahan Andhika Triyadi (Dilan 1990, Dear Nathan, Cek Toko Sebelah) terdengar megah sebagai cara mewah menyusun tensi dramatis, yang sayangnya kurang berdampak akibat lemahnya performa aktor utama.

Bentuk modernisasi lainnya adalah ditiadakannya cara membunuh cartoonish, lalu sebagai gantinya, menambah kadar gore. Seberapa pun saya rindu melihat sundel bolong mengendarai mobil atau traktor, harus diakui, pemandangan tersebut akan sulit diterima penonton kekinian. Setidaknya Suzzanna: Bernapas dalam Kubur masih memberi kepuasan serupa kala memperlihatkan setan yang punya peran cenderung heroik ketimbang makhluk kejam, menegakkan keadilan dengan caranya. She’s a supranatural vigilante. Tatkala dunia nyata kerap membebaskan para pelaku kejahatan terhadap wanita dari hukuman, menyaksikan mereka menerima penghakiman di sini jelas menyenangkan.

Aspek horornya memang tak seberapa mengerikan. Mungkin karena sundel bolong tak pernah menampakkan diri di lingkungan yang familiar untuk menghantui “rakyat biasa” (pinggir jalan, perkampungan, dll.) sehingga terornya kurang terasa dekat, atau mungkin, karena Suzzanna sendiri punya aura mistis tak tertandingi. Luna Maya sendiri mengeluarkan kemampuan terbaiknya sebagai sundel bolong dengan tawa menyayat telinga dan mata yang melotot begitu lebar, seolah menatapnya dapat menyebabkan kematian.

Awalnya film ini disutradarai Anggy Umbara (Comic 8, Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss!, Insya Allah Sah 2) seorang, namun pasca suatu peristiwa (yang tak bisa saya ungkap), Rocky Soraya (The Doll, Sabrina) bergabung, berbagi kredit penyutradaraan. Sulit memilah mana hasil kerja Rocky mana Anggy, sehingga saya memutuskan menganggapnya sama rata. Pergerakan ceritanya mulus, menyebabkan alurnya nyaman dinikmati mesti suguhan utamanya tak langsung muncul. Urusan membangun teror, kadang kita diajak berdiam terlalu lama di satu momen sampai intensitasnya turun drastis, tapi siapa pun yang menggarap klimaks, khususnya adegan “Kebangkitan sundel bolong”, layak dipuji atas kemampuan mencuatkan keindahan dari dramatisasi teror. Tonton film ini, nikmati perjalanannnya, kemudian mari menanti, apakah ular di atas pohon itu cuma ular biasa atau petunjuk mengenai reboot untuk.....

DOA (DOYOK-OTOY-ALI ONCOM): CARI JODOH (2018)

Sebuah adegan di trailer memperlihatkan Mang Ujang (Ence Bagus) si penjual kopi mengomel sementara kopi mengucur dari mulutnya. Di film, ketika Mang Ujang hendak mengulangi perbuatan sama (membuat kopi dalam mulut alih-alih cangkir), Ali Oncom (Dwi Sasono) menyela dengan berkata “Jangan diulang Bang, yang tadi aja nggak lucu”. Ucapan Ali sebenarnya bisa ditujukan bagi keseluruhan DOA (Doyok-Otoy-Ali Oncom): Cari Jodoh, selaku komedi yang keliru menyamakan definisi “lucu” dengan “aneh” dan “absurd”.

Saya ambil satu lagi adegan dari trailer ketika Doyok (Fedi Nuril) ditelepon oleh mendiang sang ibu (Yati Surachman), yang muncul dalam wujud pocong. Doyok diminta agar cepat mencari jodoh, lalu bermuara pada adegan musikal di mana Doyok menyanyikan Cari Jodoh milik Wali, berlagak bak rock star, sedangkan sang ibu bersama pocong-pocong lain jadi penari latar. Daripada seru dan lucu, saya malah dibuat kebingungan. Saya mesti merespon bagaimana? Musikal berikutnya, walau tak sebegitu aneh, tampil datar dalam kemasan medioker. Entah apa alasan mengganti lirik lagu-lagunya, yang alih-alih lucu justru mengurangi hook lagu. Padahal lagu tema, yang telah lebih dulu mengiringi serial animasi televisinya, luar biasa catchy.

Mengadaptasi komik strip rubrik Lembergar (Lembar Bergambar) milik harian Pos Kota, film ini mengisahkan persahabatan tiga pengangguran: Doyok, Otoy (Pandji Pragiwksono), dan Ali Oncom. Otoy selalu jadi sasaran kemarahan istrinya, Elly (Nirina Zubir) akibat hanya bermalas-malasan, Ali Oncom gemar menggoda wanita walau telah memacari Yuli (Jihane Almira), sedangkan Doyok, masih melajang. Otoy dan Ali Oncom pun tergerak mencarikan kawannya jodoh melalui berbagai cara. Salah satunya lewat situs “Minder”. Ya, satu lagi humor plesetan merk yang bagai kegemaran Anggy, yang kali ini tak hanya menyutradarai, pula menulis naskahnya bersama Fico Fachriza.

Tapi plesetan di atas masih lebih baik daripada 2 gaya komedi yang diandalkan film ini, yaitu 1) Komedi absurd yang dibuat seabsurd serta seaneh mungkin, dan 2) Komedi jorok yang dikemas, well, sejorok mungkin. Namun seolah tidak ada yang berusaha dijadikan selucu mungkin. Seberapa absurd? Bayangkan Anggy Umbara, tampil sebagai cameo, memerankan juri lomba debat bernama Manoj P., yang membuka perlombaan dengan teriakan “Action!”. Seberapa jorok? Pada satu titik, kita diserbu humor berlandaskan alat kelamin yang menampilkan penis salah satu tokoh terjebit dua kali. Anggy memang liar. Saat keliaran itu tersalurkan secara tepat dan terkontrol, ia mampu melahirkan kreativitas tinggi. Sayangnya tidak di sini. Biar seorang sutradara aksi yang bagus, Anggy bukan sutradara komedi mumpuni. DOA (Doyok-Otoy-Ali Oncom): Cari Jodoh adalah bukti nyata.

Karena bagaimana bisa sebuah film amat tidak lucu ketika diisi nama-nama bertalenta? Selain materi lemah, fakta bahwa pemeran pendukung tampil lebih solid ketimbang mayoritas pemain utama merupakan salah satu faktor. Ketika Dwi Sasono, dengan riasan yang membuatnya sulit dikenali, memikat berkat kemampuan menciptakan tawa unik, Pandji adalah Pandji seperti biasa, hanya gaya rambut aneh plus perut (lebih) buncit yang membedakan. Kemudian Fedi Nuril, meski mengenakan gigi tonggos palsu sembari menyindir Fahri si pujaan wanita yang ia perankan di Ayat-Ayat Cinta, jelas belum sepenuhnya piawai berkomedi. Berbeda dengan deretan pemain pendukung, khususnya para wanita. Nirina yang masih ahli mengoceh bak lesatan peluru, Titi Kamal dengan cara bicara dan gerak bibir aneh, sampai Laura Basuki yang menggila, menjaga filmnya dari kehancuran total.

Dan kita pun tahu pasti gaya khas Anggy Umbara. Dia takkan membiarkan DOA (Doyok-Otoy-Ali Oncom): Cari Jodoh berakhir sebagai film mengenai pencarian jodoh berlatar kehidupan masyarakat kampung kelas menengah ke bawah semata. Sehingga, third act-nya, melompat ke satu lagi twist berkonsep tinggi yang menggiring kita menuju klimaks berupa baku hantam sarat kekacauan. Ketika saya berpikir Anggy mulai mampu mengontrol dosis keliaran eksplorasinya untuk dipakai seperlunya seperti dalam Insya Allah Sah 2, sang sutradara justru menghasilkan absurditas berikutnya, yang juga karya terburuknya sejak Comic 8: Casino Kings Part 1 (2015).

22 MENIT (2018)

22 Menit membuka cerita melalui paparan rutinitas pagi hari karakternya. AKBP Ardi (Ario Bayu) beserta kehangatan keluarganya, Firman (Ade Firman Hakim) si polisi lalu lintas yang mengatur jalanan Thamrin di tengah kegamangan akibat pernikahannya dengan Sinta (Taskya Namya) terancam batal, office boy bernama Anas (Ence Bagus) yang berusaha membantu kakaknya, Hasan (Fanny Fadillah) mencari kerja, juga Mitha (Hana Malasan) yang di sebuah cafe menantikan kedatangan Dessy (Ardina Rasti). Semua berjalan damai, hingga pukul 10:40, terjadi ledakan bom di persimpangan Sarinah.

Lalu layar menampilkan jam digital yang bergerak mundur beberapa menit sebelum tragedi, memindahkan fokus menuju perspektif karakter lain. Rupanya 22 Menit merupakan hyperlink cinema, atau setidaknya, berusaha menjadi itu. Meminjam deksripsi Roger Ebert, hyperlink cinema yaitu tatkala tokoh-tokoh maupun rangkaian peristiwa terjadi dalam kisah berlainan, namun koneksi atau pengaruh di antara kisah-kisah itu perlahan diungkap, menyatukan segalanya. Sederhananya, struktur satu ini adalah penyatuan kisah yang (awalnya) terpisah memakai satu benang merah.

Terinspirasi tragedi bom Sarinah pada 14 Januari 2016, hyperlink  sejatinya merupakan bentuk yang tepat, mungkin malah paling efektif untuk menggambarkan bahwa korban yang berasal dari beragam kalangan, terhubung dalam satu pengalaman kolektif. Bahwa di tengah kekacauan tersebut, ada individu-individu yang menyimpan cerita, atau dalam konteks naskah buatan Husein M. Atmodjo (Parts of the Heart, Midnight Show) dan Gunawan Raharjo (Jingga), sosok tercinta masing-masing. Perspektif itu berpotensi memberi dampak emosional kuat, sebab terdapat hal spesial, misterius, bahkan “ajaib” seputar pengalaman kolektif yang terwujud melalui kebetulan yang diprakarsai takdir.

Sayang, naskahnya gagal mempresentasikan pengalaman kolektif itu, atau menilik kegunaan hyperlink cinema, tautan yang mestinya ada justru tiada. Ketimbang merekatkan, eksekusi 22 Menit justru kacau nan membuyarkan. Fokus lemah menjadi sebab. Daripada menyoroti tokoh atau lingkup waktu tertentu di tiap “segmen”—yang dipisahkan hitung mundur jam digital—alurnya bak produk campur aduk asal terhadap sederet plot sampingan. Sulit menyebut secara pasti, karakter atau situasi mana yang di satu titik tengah dijadikan fokus (kalau fokus itu sendiri dipunyai filmnya). Dalam hyperlink, tentu fatal andai “link”-nya sendiri hilang, yang di film ini turut menyebabkan raibnya jembatan antara cerita dengan perasaan penonton.

Hanya subplot Hasan-Anas yang cukup berkesan, itu pun bukan berkat skrip, tetapi karena seperti dalam Guru Ngaji, Ence Bagus menampilkan sensitivitas. Matanya menyuarakan keresahan. Sisanya hampa, terlebih Mitha dan Dessy. Kita tak tau siapa mereka, tidak pula berbagi momen personal dengan keduanya. Kesannya, para penulis naskah yang sudah terjebak di jeratan benang kusut buatan sendiri, alih-alih coba merapikan justru menambah jalinan benang lain.

Didukung penuh pihak kepolisian, film panjang kedua produksi Buttonijo Films setelah Another Trip to the Moon (2015) ini memiliki production value plus penanganan aksi yang tidak main-main. Prosedur anti-terorisme ditampilkan, beberapa helikopter diterjunkan, detail properti-properti lain pun solid. Apalagi 22 Menit diambil di lokasi asli, di mana pengambilan gambar dilakukan tiap akhir minggu selama sebulan. Namun itu berakhir sebatas kemewahan kulit luar ketika duo sutradara, Eugene Panji (Naura & Genk Juara the Movie) dan Myrna Paramita kurang cakap memaksimalkan modal di atas untuk menghasilkan gelaran aksi intens. Tidak buruk, tapi melihat sumber daya miliknya, wajar jika saya berharap lebih, meski Ario Bayu tentu saja tidak mengecewakan, tampak meyakinkan memerankan polisi tangguh nan pemberani yang mengangkat senjata.

Pada departemen musik, Andi Rianto (Arisan!, Kartini, Critical Eleven) telah berusaha menyerbu telinga penonton melalui dentuman mendebarkan plus horn megah ala Hans Zimmer, tapi aksinya tidak pernah mencapai klimask. Pun tak berlebihan bila menyebut 22 Menit sebagai film nihil klimaks. Pertempuran polisi melawan teroris berakhir saat mayoritas penonton rasanya mengira filmnya masih menyimpan amunisi lebih, dan memang seharusnya demikian. Tapi tidak. Baku tembaknya tampil pendek dalam durasi keseluruhan yang juga pendek (71 menit), kemudian memberi ruang bagi epilog yang melompat dari fokus utama (peristiwa terorisme 14 Januari), yang dibuat hanya untuk menggambarkan gerak cepat dan kesigapan polisi memberantas antek terorisme sampai ke akarnya. Singkatnya, pembangunan citra. Terdengar voice over Vincent Rompies (tampil singkat selaku cameo) di siaran radio yang terasa melankolis, syahdu, manis tapi pahit. Momen itu seharusnya dijadikan penutup.

REUNI Z (2018)

Berjam-jam saya memandangi halaman review yang masih putih polos alias kosong. Sambil duduk ditemani batang demi batang rokok, ingatan saya melayang kembali menuju Reuni Z, kolaborasi kedua Soleh Solihun bersama Monty Tiwa di kursi penyutradaraan setelah Mau Jadi Apa? (2017), berharap memperoleh ide tentang paragraf pembuka. Tapi nihil. Semakin memeras otak, semakin kusut isi kepala. Mungkin saya sedang buntu. Mungkin saya penulis yang buruk. Mungkin karena cuma sedikit hal berkesan dalam filmnya.  Reuni Z memang tidak buruk, tetapi bakal segera terlupakan. Padahal, dilupakan jauh lebih mengerikan dari dikejar zombie.

Berbeda dengan jajaran protagonis, khususnya Juhana (Soleh Solihun) dan Jeffri (Tora Sudiro) yang sulit melupakan permasalahan mereka semasa SMA. Sempat bersahabat, bahkan membentuk band bersama, keduanya bertengkar di panggung, menghasilkan hubungan canggung yang bertahan hingga 20 tahun kemudian tatkala reuni diadakan. Ketika Juhana telah angkat nama sebagai aktor film murahan sekaligus bintang iklan pompa air, Jeffri tetap merasa Juhana menghancurkan mimpinya sukses di dunia musik. Jeffri sendiri kini menikahi Lulu (Ayushita), si mantan bassis, dan sudah dianugerahi momongan, sedangkan Juhana masih hidup seorang diri.
Ketiganya, ditambah Mastur si penggebuk drum yang telah berganti kelamin dan nama menjadi Marina (Dinda Kanya Dewi), bertemu lagi di reuni SMA yang oleh naskah buatan Soleh bersama Agasyah Karim dan Khalid Kashogi bukan cuma dijadikan arena para zombie berburu mangsa empuk, pula memfasilitasi keberadaan ensemble cast. Dari Surya Saputra si tukang bully, Henky Solaiman si guru, Verdi Solaiman si tukang pamer, Fanny Fabriana si MC, Ence Bagus si pria sok alim, Joe P Project si satpam, sampai penampilan pasangan Anjasmara dan Dian Nitami. Begitu ambisius, kisahnya berusaha membagi porsi nyaris sama rata ke setumpuk nama di atas. Waktu pun terbagi, sehingga elemen persahabatan Juhana-Jeffri yang harusnya diutamakan justru sebatas numpang lewat.

Setelah repot-repot menaruh fokus pada banyak tokoh, saat tiba waktunya ajal menjemput akibat serangan zombie, adegan kematian malah tersaji off-screen. Apalagi kalau bukan demi meminimalkan sadisme yang berpotensi memantik debat kusir melelahkan di tahap sensor. Dampaknya, beberapa kematian tak terduga maupun pengorbanan karakternya urung berefek. Polanya sering berulang. Salah satu tokoh terkepung pasukan zombie, sebelum adegan langsung berpindah tanpa memperlihatkan nasibnya. Bahkan sulit mengetahui apakah seseorang sudah meregang nyawa atau belum, jika bukan karena mereka tak muncul di momen penutup.
Poin terkuat Reuni Z, yang sejatinya juga urung dimaksimalkan, adalah komedi. Beberapa kali saya tergelak. Melanjutkan pencapaian di Hangout (2016), Dinda jadi sosok terlucu yang mencuri perhatian berkat kesediaan menanggalkan rasa malu saat melucu. Totalitas. Masalahnya tak semua tokoh menyimpan karakteristik selucu Marina alias Mansur. Jeffri tak lebih dari pria paruh baya yang sesekali bersikap bodoh. Sementara profesi Juhana sebagai aktor film murahan hanya dijadikan jalan supaya film ini bisa memajang beberapa parodi poster film Indonesia klasik serta menyelipkan cameo Joko Anwar. Selebihnya, daya tarik Juhana cuma sebuah slogan yang semakin sering diulang semakin menghilang kelucuannya.

Serbuan zombie dapat memunculkan kesan atmosferik sebagaimana Night of the Living Dead (1968), bisa pula seru seperti Dawn of the Dead, baik versi Romero (1978) atau remake karya Zack Snyder (2004). Tapi kejar-kejaran dengan zombie di Reuni Z tidak menegangkan, mencekam, atau seru. Humornya pun bak berdiri sendiri, di mana mengganti zombie dengan makhluk lain, takkan mempengaruhi gaya leluconnya. Timbul beberapa pertanyaan. Bagaimana zombie mendeteksi korbannya? Mereka bisa ditipu oleh bau, terpancing suara, tapi kadang melihat buruannya. Mereka pun dapat dihentikan melalui serangan di bagian tubuh mana saja, membuat konklusi yang coba bermetafora bahwa mengenai kekuatan persahabatan jadi kurang berarti. Setidaknya riasan dan efek spesial pada klimaks digarap cukup baik.


Untuk ulasan versi vlog bisa ditonton di sini: