EL (2018)
Rasyidharry
Mei 10, 2018
Achmad Megantara
,
Aurelie Moeremans
,
Brigitta Cynthia
,
Dimaz Andrean
,
Djaumil Aurora
,
Findo Purwono HW
,
Indonesian Film
,
Kurang
,
Meriam Bellina
,
REVIEW
,
Romance
9 komentar
Dafychi (Aurelie Moeremans) adalah gadis berkepribadian ganda,
kondisi yang membuatnya dianggap aneh dan ditakuti teman-teman sekolahnya. Mario
(Achmad Megantara) adalah pengusaha muda sukses yang galak, sikap yang
membuatnya dianggap aneh dan ditakuti para bawahan. Keduanya bertemu, jatuh
cinta, lalu saling menyembuhkan kondisi masing-masing. Gangguan psikis Dafychi
si gadis bandel—yang tiap mendengar bunyi ledakan bakal berubah menjadi Dafyna
si gadis manis—bisa dipahami. Sebuah trauma menekannya. Tapi Mario? Dia kaya,
sukses dalam bisnis, pun tak kekurangan kasih, sebab meski eksentrik, sang ibu
(Meriam Bellina) menyayanginya. Mengapa ia begitu sinis, bahkan kadang bagai
tanpa perasaan?
Haruskah ada alasan di balik karakteristik Mario itu? Tidak
juga. Masalahnya terletak pada konsistensi. Apa Mario seorang anti-sosial? Melihat
antusiasmenya kala kembali bertemu si kawan lama, Ando (Dimaz Andrean), rasanya
tidak. Walau gangguan psikologis dimiliki Dafychi, Mario justru lebih sulit
dipahami. Di suatu malam, Mario dan Dafychi bertemu Alena (Dara Warganegara),
mantan pacar Mario yang masih kukuh mengejarnya. Alena memamerkan pacar barunya
(jelas guna memanas-manasi sang mantan), yang Mario balas dengan mengenalkan Dafychi
sebagai “adiknya Ando”. Itu kebodohan yang sulit dipercaya dapat dilakukan pria
dengan pengalaman pacaran tidak nihil.
Tapi Djaumil Aurora (Mata
Dewa, Bunda: Kisah Cinta 2 Kodi), yang bertugas menulis naskah adaptasi novel
berjudul sama karya Luluk HF, bisa berdalih bahwa hal di atas tidak mustahil.
Ya, saya akui probabilitasnya belum mencapai 0%. Saya memilih ikut serta,
pasrah mau dibawa ke mana oleh EL.
Saya cuma berharap disuguhi komedi-romansa manis, menggelitik, nan bernyawa.
Potensi komedinya besar. Bayangkan tokoh sekaku Mario disandingkan dengan gadis
“seliar” Dafychi. Belum lagi ketika dihadapkan pada perubahan drastis pada
kepribadian Dafychi-Dafyna. Beberapa comic
timing agak kacau akibat penyuntingan berantakan yang didasari niatan
menyusun tempo cepat, namun justru berakhir tak memberi kesempatan penonton
meresapi kelucuannya.
Untung tidak seluruhnya demikian. Beberapa mampu memancing
tawa, meski lebih disebabkan energi seorang Aurelie. Energi yang begitu tinggi
sampai naskah, penyutradaraan Findo Purwono HW (Suster Keramas 2, Eyang Kubur), maupun akting Achmad Megantara tak mampu
mengimbangi demi menciptakan dinamika yang saling mengisi. Sang aktris berdiri
seorang diri menopang filmnya dari keruntuhan total. Bicara soal pasangannya,
Achmad Megantara berusaha amat keras, acap kali terlampau keras malah, untuk
terlihat, terdengar, dan terasa sebagai pria serius, ketus, kaku, juga keren. Segala
tujuan itu tak ada yang tercapai karena penampilannya nampak dibuat-buat. Atau sosok aslinya memang demikian? Itu lebih celaka.
EL mengangkat persoalan kepribadian
ganda, yang sangat jarang dijamah perfilman negeri ini. Walau agak
menyayangkan, saya tidak terkejut saat mendapati filmnya urung memberi
pemahaman baru terkait kondisi tersebut. Menjadi patut disayangkan tatkala
keadaan unik itu gagal dimaksimalkan untuk menambah dinamika interaksi kedua
tokoh utama. Paruh awalnya cukup menarik. Mario yang kerepotan menghadapi
kebandelan Dafychi, kemudian disusul kemunculan Dafyna yang membuatnya semakin
bingung. Memasuki paruh kedua, keliaran Dafychi justru ditekan, konflik pun
bergeser ke ranah lebih generik. Apalagi kalau bukan tentang kecemburuan dan
cinta segitiga.
Ada satu sub-plot mengenai Sivia (Brigitta Cynthia), sahabat
Dafychi di kelas sekaligus korban tindak kekerasan oleh sang ayah. Cerita
sampingan ini hanya punya dua substansi: menciptakan klimaks dan membuka jalan bagi
terselesaikannya seluruh konflik. Setidaknya dari situ kita berkesempatan
melihat Verdi Solaiman dalam salah satu peran antagonisnya yang paling gampang
menyulut kebencian meski cuma muncul sejenak. Verdi dann Aurelie jelas layak
berada di film yang jauh lebih baik. Bahkan sesungguhnya, melihat beragam
potensi yang ada, EL berhak memperoleh
eksekusi yang lebih mumpuni.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
9 komentar :
Comment Page:Jadi arti dari judul EL itu apa Mas Rasyid?
Pertanyaan yang belum kejawab dan nggak tertarik cari tahu karena hasilnya gini haha
Tapi penilaian aktingnya Megantara gak berdasarkan hal personal kan, Mas ? hahaha.
Oo nggak dong. Cuma belum pengalaman aja. Sialnya kudu meranin tokoh yang butuh karisma natural, dihadapain sama Aurelie pula. Kebanting 😁
Wuadu mas rasyid saya baru nemuin film bagus yang dibawah radar (tidak terdeteksi niatnya cuma nyiba gtaunya bagus) tpi pas di cek udah tayang midnight di bioskop si pdhl di streaming udah hd dari lama, judulnya Cold Skin tentang monster dan bneran ada tapi monster sesungguhnya manusia krkter nya menarik, kalo di review bagua nii coba deh
@Mas Rasyid Maklum Mas pendatang baru kali ya. Saya kira dia umurnya di atas Aurelie lho, taunya dia 21 tahun. Kekecoh sama posturnya.
Cold Skin? Menurutku membosankan.
Tipe2 film Eropa yg secara artistik cukup meyakinkan,punya gagasan ini-itu tapi lalu sepertinya kebingungan menyeselesaikannya.
Wah ada juga yg nonton cold skin, mnurut gua ga bosenin kok justru penggambaran karakter nya bagus dan meskipun mirip shape of water saya lebih enyoy ini klo shape justru bosenin, visual cinematography nya juga keci dan prubahan karakter di ending nonjok
Karakter utamanya nya cuma 2 orang, yg kamu sebut perubahan karakter itu cuma kegilaan dr keputus asaan yg predictable karena penjaga sebelumnya jg jadi begitu.
Settingnya jg sederhana, hanya 1 pulau terpencil. Ga banyak yg bisa digali dari sisi visualnya.
Posting Komentar