BHAVESH JOSHI SUPERHERO (2018)
Rasyidharry
Juni 03, 2018
Action
,
Drama
,
Harshvardhan Kapoor
,
Hindi Movie
,
Kurang
,
Nishikant Kamat
,
Priyanshu Painyuli
,
REVIEW
,
Vikramaditya Motwane
3 komentar
Pada dasarnya Bhavesh Joshi Superhero merupakan origin story, sebagaimana telah berulang kali kita saksikan dalam
film bertema pahlawan super. Bedanya, menyentil isu sosial lebih dikedepankan
ketimbang mengulik ruang personal si calon pahlawan. Bayangkan film Batman,
tapi pendalaman karakter Bruce Wayne kalah dominan dibanding paparan korupnya
Gotham. Saya menyebut “Batman” karena Bhavesh
Joshi mengusung pendekatan “realistis”, serupa Batman Begins (2005). Di sebuah sekuen menarik—yang mestinya lebih
sering ditampilkan—protagonisnya merangkai sendiri beragam alat bermodalkan
barang bekas seadanya. Pemandangan macam itu ibarat obligasi jika ingin membuat
film pahlawan super bernuansa realistis.
Pun serupa babak pembuka trilogi The Dark Knight, plotnya melibatkan
rencana jahat untuk menguasai saluran air. Sementara melihat tongkat sebagai
senjata si jagoan plus pengembangan poin alur di paruh akhir, inspirasi lain
besar kemungkinan datang dari serial Daredevil.
Dua judul itu memiliki satu kesamaan: kelam dan berusaha membumi. Di saat
bersamaan, kisah vigilante bertopeng
yang nekat terjun ke jalan tanpa kemampuan bela diri apalagi kekuatan super
jelas mengingatkan pada Kick-Ass (2010),
yang meski brutal, punya unsur komedi kental. Pendekatan mana yang lebih tepat?
Pertanyaan yang sepertinya juga kesulitan dijawab oleh empunya film.
Mari simak cara filmnya dibuka.
Tiga sahabat, Bhavesh Joshi (Priyanshu Painyuli), Siku (Harshvardhan Kapoor),
dan Rana (Nishikant Kamat) tengah berkumpul membahas kejengahan atas
pemerintahan korup serta kecintaan Rana terhadap pahlawan super sejak kecil.
Rana juga yang membuka narasi. Padahal, dibanding Bhavesh maupun Siku, perannya
teramat kecil. Sebelum konklusi, pratis dia cuma spekator dalam aksi
Bhavesh-Siku membentuk duo pembasmi kejahatan bernama “Insaaf” yang memberantas
ketidakdilan di lingkungan, dari penebang liar pohon kota sampai penyedia
layanan internet busuk. Poin ini jadi salah satu wujud kebingungan pembuatnya,
entah terkait pengembangan narasi atau nuansa film.
Sutradara Vikramaditya Motwane (Udaan, Trapped) memang kurang jeli
membungkus timing humor, tapi paruh
awalnya jelas penuh kekonyolan yang cocok mewakili ceritanya. Betapa tidak? Duo
Insaaf bak pahlawan kesiangan yang memakai topeng dari tas kertas serta
menyebarkan aksi mereka melalui video meriah (kalau bukan norak) di internet.
Mereka menghentikan penerobos jalur satu arah hanya untuk dipukuli. Hingga aksi
mereka mulai menyentuh para pemegang kekuasaan sehingga ancaman bertambah serius,
demikian pula filmnya. Tapi perlu diingat, Kick-Ass
juga menampilkan ancaman mematikan, tapi urung menanggalkan guyonan. Bukti
kalau konflik serius tak wajib dibawakan serius pula. Sesuatu yang mestinya
jadi keahlian sineas India kini. Setidaknya, jadilah konsisten. Di paruh kedua,
kala rasa kelam telah mengambil alih, filmnya masih sempat menampilkan sikap taat aturan si jagoan yang berhenti
saat lampu merah meskipun musuh-musuhnya tengah mengejar.
Sedangkan paruh pertamanya coba
menggali motivasi, alasan di balik keputusan tokoh utamanya mengenakan kostum
pahlawan super. Tujuan ini akhirnya gagal terpenuhi akibat kurangnya keintiman
dalam naskah buatan Vikramaditya Motwane, Anurag Kashyap, dan Abhay Koranne.
Fokusnya bukan mengenai “hati” di antara relasi karakter, melainkan pembahasan
isu sosial. Sejatinya pilihan ini turut memberikan nilai positif. Pemikiran
saya sempat terprovokasi terkait perdebatan: Apakah aksi Insaaf memberi dampak?
Apakah bersikap selurus mungkin bakal mengubah dunia? Perdebatan yang sayangnya
berujung inkonklusif, sebab Bhavesh Joshi
Superhero terbentur obligasi untuk banting setir mempresentasikan film
pahlawan super, karena terlanjur menjual filmnya demikian.
Penonton yang berharap disuguhi
baku hantam ala blockbuster mungkin
akan kebingungan tatkala mencapai lebih dari satu jam dari total durasi 153
menit, filmnya tak kunjung menghidangkan laga. Begitu yang dijanjikan tiba, saya
justru mendapati potensi yang gagal termaksimalkan. Beberapa perpindahan adegan
kasar nan canggung, teknik pengambilan gambarnya urung menangkap baku hantam
brutal berisi pukulan-pukulan peremuk tulang, koreografi yang walau tak buruk
jelas tidak seberapa dinamis, semua itu adalah setumpuk kekurangan yang
menghalangi Bhavesh Joshi mencapai
puncak potensi. Padahal dengan tubuh kekar, jenggot lebat, juga wajah tampan dan
tegas yang mengingatkan akan John Krasinski, Harshvardhan Kapoor punya
kapasitas memerankan vigilante tangguh.
Sudahkah saya menyebut ending-nya bagai
cerminan ketergesa-gesaan pembuatnya
sewaktu menyadari jatah durasi menipis tapi masih terdapat banyak hal untuk
dirangkum? Sebuah momen menampilkan karakternya menceritakan kisah mengenai
Icarus. Saya justru melihat Bhavesh Joshi
Superhero-lah si Icarus.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
3 komentar :
Comment Page:Vikramaditya Motwane emang rata2 filmnya lambat. Sama halnya dengan Trapped maupun Udaan, namun kedua film itu memberikan sebuah impact yg cukup bagi saya, entah kenapa saya nonton film ini seolah gak peduli amat ya sama karakternya (upss), mana konklusi buru-buru plus pas saya nonton di studio sendiri pula..
Setuju semua poinnya. Udaan bagus soalnya fokus total ke drama. Dan ya,nggak peduli sama karakterya kayak udah dibahas di atas. Dan ya, nonton sendiri juga haha. Bakal flop ini. Senin pas "Veere di Wedding" tayang, layarya pasti kepangkas.
Tabahkan hatimu Harshvardhan, siap flop tuk kedua kali. Yupss Veere di Wedding harus nonton, di tunggu Mas review-nya..
Posting Komentar