DHADAK (2018)
Rasyidharry
Juli 24, 2018
Ashutosh Rana
,
Godaan Kumar
,
Hindi Movie
,
Ishaan Khatter
,
Janhvi Kapoor
,
Lumayan
,
REVIEW
,
Romance
,
Shashank Khaitan
6 komentar
Dhadak merupakan remake dari Sairat (2016),
fim berbahasa Marathi yang membahas perihal romansa yang terhalang perbedaan
kasta, atau dengan kata lain, satu lagi kisah ala Romeo & Juliet dengan penyesuaian kultur. Golongan berkasta
tinggi mengatur mereka yang rendah, dan mereka yang di bawah “mesti” menurut
sambil mendongak ke atas. Tapi bukankah kondisi serupa kerap terjadi saat
manusia dimabuk kepayang? Or let’s say,
head over heels? Si laki-laki diminta menyanyikan lagu Bahasa Inggris di
depan seisi sekolah oleh si wanita untuk mengungkapkan isi hatinya. Dia menurut
tanpa ragu.
Si laki-laki bernama Madhu (Ishaan Khatter). “Aku akan
membangun istana untukmu”, begitu katanya pada si wanita, Parthavi (Janhvi
Kapoor). Saat itu Madhu bersedia melakukan apa pun. Dia pikir dia bisa
melakukan apa pun. Parthavi menjawab, “aku tidak membutuhkan istana”. Cinta
kasih adalah satu-satunya yang ia perlukan. Dia pikir, cinta kasih adalah
satu-satunya yang ia perlukan. Sungguh indah bila benar demikian, tapi keduanya
masih bocah naif. Di sini, mereka ditempatkan dalam ujian, yang turut
mengajarkan bahwa mencintai seseorang lebih dari ungkapan kalimat manis dan
pengorbanan bagi sosok tercinta bukan cuma melompat ke kolam di depan orang-orang.
Parthavi adalah puteri Ratan Singh (Ashutosh Rana), pria kaya
raya terpandang yang tengah gencar berkampanye untuk pemilu. Cantik, kaya raya,
mandiri. Tidak heran jika Madhu, yang hanya anak pemilik restoran biasa, terpikat,
bagai kerbau dicucuk hidungnya. Madhu selalu dibuat salah tingkah, hanya bisa
mengumbar senyum canggung kala berhadap dengan Parthavi. Janhvi Kapoor, puteri
mendiang aktris legendaris Sridevi, memiliki aura memabukkan itu, sementara
Ishaan Khatter mengeluarkan cukup energi untuk memerankan pemuda penuh
kenekatan. Kedua bintang muda ini (Janhvi Kapoor baru melakoni debutnya)
memberi nyawa bagi romansa, yang di paruh awal diisi canda tawa serta
talik-ulur plus kegalauan ala percintaan remaja.
Awalnya Madhu menjauhi Parthavi akibat janji kepada sang ayah
yang menolak hubungan beda kasta. Tapi Madhu tetap diam-diam mengikuti sambil
mengintip si gadis pujaan dari jauh. Begitu Parthavi mengetahui alasan itu dan bersedia
menjauh, Madhu justru kelabakan lalu memohon-mohon. Ya, kegalauan dan
tarik-ulur macam itu nyatanya cukup sebagai daya agar Dhadak terus melaju. Hal yang kurang dari romansanya malah lagu
romantis dan tarian. Daripada itu, filmnya memberi beberapa montage kental gerak lambat, yang oleh
sutrdara Shashank Khaitan (Humpty Sharma
Ki Dulhania) gagal dikemas lewat bahasa visual menarik. Satu-satunya nomor
musikal bertempat kala pesta ulang tahun Roop (Godaan Kumar), kakak Parthavi, yang
dibalut lagu Zingaat, menghadirkan festivity yang saya harap tak kunjung
usai. Sayang, momen ini pula titik balik suasana filmnya.
Dari sini, Dhadak
beranjak menuju teritori lebih serius dengan permasalahan lebih kompleks, di
mana senyuman semakin memudar apalagi tawa. Saya takkan menyebut penyebab
pastinya, tapi inilah “ujian” yang saya singgung sebelumnya. Di atas kertas,
konflik dalam naskah yang juga ditulis Shashank menawarkan elemen formulaik,
pun terselip bumbu kecemburuan khas opera sabun. Tapi berkat titik balik ini,
perenungan akan makna cinta dapat dihadirkan. Sekali lagi, keduanya masih
bocah. Ketika terpaksa melangkah ke fase yang sebenarnya belum ingin dan siap
dijalani, pertengkaran tentu saja kerap meledak, api asmara meredup seiring
amarah yang sering membara, sehingga menjadi natural saat masing-masing pihak
mulai mempertanyakan kesungguhan pasangannya.
“Why did you love me?”,
tanya Parthavi. Saya suka sewaktu alih-alih “Don’t you still love me?”, naskahnya menanyakan “kenapa”. Because “why” indeed. Kenapa mencintai
jika sudah tahu resikonya, dan tatkala resiko itu terjadi justru menyalahkan?
Untungnya Shashank enggan memilih jalur “mudah” dengan adegan meletup-letup
berurai air mata. Beberapa momen menyentuh di paruh kedua ini bersumber dari
hal-hal kecil, misanya ketika Parthavi merasa bersalah dan tak berguna akibat
gagal mencuci baju dengan baik, atau saat Parthavi, walau dihadapkan pada
perilaku kelewatan Madhu, tetap setia dan membuktikan prasangka buruk sang pria
keliru.
Lalu Shashank menggiring kita pada 15 menit terakhir yang
luar biasa menegangkan. Melalui petunjuk dari ucapan Ratan, kita tahu hal buruk
akan terjadi pada akhirnya (Mayoritas romansa yang menjadikan Romeo & Juliet sebagai dasar selalu
menjurus ke sana). Namun Shashank, melalui pengadeganan masterful-nya tetap memancing penonton untuk bertanya, “Apa yang
akan terjadi?”, “Pada siapa?”, “Kapan? Di mana? Bagaimana?”, mencekik kita
dengan ketidakpastian menantikan sesuatu yang kita curigai bakal jadi
kenyataan. Sampai tracking shot di
akhir, ditutup oleh kebisuan mendadak menutup Dhadak bak jeritan yang tertahan.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
6 komentar :
Comment Page:review tumbal ritual gag ada bang?
Menurut saya nggak sekuat sairat...
@Doddy Minggu lalu nggak ada waktu buat film busuk :D
@Asrul Yah, banyak yang bilang gitu, tapi belum nonton Sairat.
Nggak review future world kah bang?
@susan Nope, dari trailer sama review yang ada kelihatan sampah banget. Filmnya yang disutradari Franco selama ini selain The Disaster Artist kan emang busuk.
Apa sebab suami dan anaknya jatuh,itu yg perlu di jelaskan.?
Penasaran gue cerita akhir ni film
Posting Komentar