CHRISTOPHER ROBIN (2018)
Rasyidharry
Agustus 22, 2018
Alex Ross Perry
,
Allison Schroeder
,
Bagus
,
Comedy
,
Drama
,
Ewan McGregor
,
Fantasy
,
Hayley Atwell
,
Jim Cummings
,
Marc Forster
,
REVIEW
,
Tom McCarthy
8 komentar
Bahkan sebelum Christopher Robin memaparkan permasalahannya, saat baru mencapai
sekuen pembuka berupa hari perpisahan Christopher dengan teman-temannya para
penghuni Hundred Acre Wood, mata saya sudah basah. Karena saya, dan kemungkinan
banyak penonton dewasa lain, mengamini ketika Christopher berkata, “I’ve cracked”. Ditekan oleh apa yang
sering disebut “realita”, yang pelan tapi pasti melucuti kebahagiaan kita.
Momen pembuka itu menghadirkan haru karena mengembalikan ingatan saya akan hari-hari
lalu yang lebih sederhana namun bahagia, tatkala tawa jadi barang yang murah
harganya.
Beberapa ulasan menuding film ini
melakukan simplifikasi terhadap problematika dunia nyata, ada juga yang
menyebutnya menawarkan solusi tidak sehat karena mengajak penonton berlindung
di bawah memori masa kecil ketimbang berdiri tegak menghadapi segala masalah. Yes, I’ve cracked indeed. Tapi saya
bersyukur tidak jatuh sedalam penulis ulasan-ulasan di atas yang terlanjur dikuasai
pil pahit kehidupan. Dan Christopher
Robin bak pengingat supaya tak terjerumus ke lubang serupa.
Walau benar bahwa film ini
sederhana. Ditulis oleh Alex Ross Perry (Queen
of Earth, Nostalgia), Tom McCarthy (Up,
Spotlight), dan Allison Schroeder (Hidden
Figures) yang terinspirasi dari buku Winnie-the-Pooh
karya A. A. Milne dan E. H. Shepard, yang juga menginspirasi terciptanya seri
animasi produksi Disney, naskahnya setia mengikuti formula film keluarga
khususnya soal hubungan berjarak ayah dan anak. Tentu perlu diingat bahwa petualangan
Pooh dan kawan-kawan memang selalu sederhana, sebab kisahnya menelusuri masa
kanak-kanak, di mana logika kaku serta kompleksitas pikir belum mengalahkan
kekayaan imajinasi.
Bagi Christopher Robin (Ewan
McGregor), logika dan kerumitan kini merupakan makanan sehari-hari. Gemblengan
sekolah asrama hingga terjun ke medan perang membentuk pola pikir Christopher
dewasa, yang telah menikahi Evelyn (Hayley Atwell), dan memiliki seorang puteri
bernama Madeline (Bronte Carmichael). Kesibukan Christopher menghadirkan jarang
antara ia dan Madeline, yang sebentar lagi bakal mengikuti jejaknya bersekolah
di asrama, meski si gadis sendiri tak menginginkannya. Ditambah tekanan di
kantor, makin runyam gejolak di hati Christopher. Sampai Pooh (Jim Cummings)
datang berkunjung.
Christopher belum (atau menolak?)
menyadari bahwa ia membutuhkan Pooh. Pikirannya berisi hal-hal yang (dia kira)
diperlukan untuk menggapai kebahagiaan, daripada hal-hal yang sesungguhnya dia
inginkan, yang bisa mempersembahkan kebahagiaan saat itu juga. Tapi film ini
memastikan Christopher masih punya hati. Orientasinya pekerjaan, tapi ketika si
atasan, Giles Winslow Jr. (Mark Gatiss), menyuruhnya memecat sejumlah karyawan
demi penghematan, nuraninya menolak. Pun saat Pooh meminta bantuan mencari
teman-temannya yang hilang, meski dikejar deadline,
Christopher akhirnya bersedia. Kesediaan yang membawanya menuju rangkaian
petualangan, termasuk pertarungan melawan Heffalumps, monster berwujud gajah
yang memangsa rasa bahagia. Sejatinya Christopher lah Heffalumps itu. Dia
memangsa kebahagiaannya sendiri, dan bukan mustahil, sang puteri.
Bila telah familiar dengan kisah
Winnie the Pooh, atau setidaknya menonton animasi tahun 2011 yang menawan itu,
anda tahu mesti berekspektasi apa. Sebuah petualangan make-believe sederhana tetapi sarat imajinasi yang menyenangkan
diikuti berkat tingkah tokoh-tokohnya. Dihidupkan oleh CGI bernuansa realisme
tanpa perlu kehilangan sentuhan cartoonish,
mereka masih gemar (tanpa diniati) melontarkan lelucon bodoh yang mencapai
puncak kelucuan tiap melibatkan permainan kata.
CGI mumpuni memudahkan kita percaya
jika Ewan McGregor, yang punya pesona memadahi selaku tokoh utama di dunia
semi-fantasi, benar-benar menggendong Eeyore atau membelai bulu lembut Pooh
yang menggemaskan. Melengkapi elemen visualnya adalah sinematografi, yang
berkat sensibilitas Matthias Koenigswieser di belakang kamera dalam menangkap
cahaya senja maupun ekosistem Hundred Acre Wood, tampil selaras dengan
kelihaian sutradara Mark Forster (Finding
Neverland, Quantum of Solace, World War Z) menyusun adegan lembut yang
ampuh menyentil rasa.
Butuh waktu hingga kisahnya mulai
konsisten menampilkan kehangatan serta momen magis, pun perubahan 180 derajat
hati Christopher Robin terasa mendadak. Proses untuk mencapai sana sudah cukup
panjang, hanya untuk keteteran kala harus menampilkan titik balik yang
meyakinkan. Namun Christopher Robin
sudah cukup indah sekaligus bermakna, sehingga saya bersedia melupakan
kekurangan-kekurangan tersebut. Film ini tidak mengajak menutup mata akan
realita, tetapi jika kita bersedia berkorban guna mengejar keberhasilan dunia
nyata, tidak ada salahnya sesekali berkorban meluangkan waktu sejenak, melupakan
segalanya, lalu berbahagia bersama orang-orang tercinta.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
8 komentar :
Comment Page:review cindolo na tape nggak bang?
Film mile 22 atau mending nonton CR ini ga yah bang? Lg edisi efisiensi nih haha
Abis nonton ini, jadi pengen punya semua bonekanya yg kayak di film ini. Lucu, wkwk
@Muhammad Ooh jelas CR
@Anna Yes, pengen Pooh & Eeyore 😂
Bang film ini ada kaitannya sama goodbye christopher robin ga ?
@Rifki Nggak ada, GCR itu film British, pendekatannya realis gelap, beda banget sama CR-nya Disney ini yang fantasi & hangat.
Anak2 Kalo diajak nonton ini bisa dapat feel nya ga kira2?
@Trio masih bisa terhibur sama petualangan & karakternya yang lucu kok.
Posting Komentar