SESAT (2018)

4 komentar
Dalam Sesat, Sammaria Simanjuntak (Demi Ucok, Cin(t)a) menuntun kita menyusuri proses karakternya menghadapi duka. Diperlihatkan seluk beluknya dengan seksama, memastikan kita paham dan melangkah sesuai jalur, selama kita bersedia menaruh perhatian. Tapi saat tiba waktunya menangani teror makhluk halus pengabul permintaan, sang penunjuk jalan justru bak kebingungan sendiri. Keharusan menakut-nakuti, yang nampak bukan salah satu keahliannya, membuat Sammaria tersesat.

Bicara storytelling alias penceritaan, di antara jajaran horor lokal tahun ini, Sesat memang yang terbaik. Melalui naskah hasil karyanya bersama Evanggala Rasuli, Sammaria memaparkan sebuah keluarga kecil yang tidak sempurna, tapi jelas bahagia. Khususnya ketika menyoroti hubungan hangat Amara (Laura Theux) dengan ayahnya (Willem Bivers). Kehangatan singkat yang membuat saya ingin menghabiskan waktu lebih lama berada di tengah-tengah mereka. Begitu pula dengan Amara yang begitu terpukul setelah sang ayah meninggal. Sebab dialah pendukung terbesar mimpi Amara sebagai atlet, juga perekat kala ia dan sang ibu (Vonny Cornelia) kerap berselisih.

Kini bersama ibu dan adiknya, Kasih (Rebecca Klopper), Amara terpaksa tinggal di Desa Beremanyan, di rumah sang kakek (Arswendy Bening Swara), si penulis novel yang tampak merahasiakan sesuatu sebagaimana tatapan tak ramah nan misterius warga setempat. Makan waktu beberapa lama sampai Sesat memulai usahanya menggedor jantung penonton, tapi Sammaria tidak meninggalkan kita dalam kehampaan. Di tengah pergerakan lambat temponya, senantiasa hadir sesuatu untuk dituturkan, entah pergumulan batin Amara atau mitologi setan Beremanyan yang dijabarkan selangkah demi selangkah.

Berkat informasi dari seorang teman sekolah (Endy Arfian), Amara mengetahui kemampuan Beremanyan mengabulkan permintaan siapa saja yang memanggilnya, meski untuk itu, pengorbanan perlu dilakukan. Melalui kliping surat kabar yang tertempel di dinding ruang kerja kakek, kita diberi pemahaman akan riwayat Desa Beremanyan yang dinaungi keberuntungan. Amara pun yakin legenda tersebut benar adanya, dan tatkala ia akhirnya nekat melakukan ritual, itu bisa memaklumi, sebab campur aduk kesedihan akibat kehilangan, kerinduan, juga kesepian memang mampu menyeret manusia melakukan hal gila.

Saya tidak bisa membahas detail progresnya, kecuali bahwa Sesat melangkah ke ranah serupa karya klasik Brian De Palma, yang sekaligus menandai bertambahnya kecepatan laju film ini, sembari menyelipkan elemen gore yang cukup efektif memancing ngeri. Selain rapi bercerita, naskahnya menyimpan pengembangan menarik yang mengandung dua kejutan. Pertama perihal mitologi Beremanyan, yang muncul bukan sekedar atas nama efek kejut, pula masuk akal sekaligus memperkaya bangunan dunianya. Kedua, sewaktu Sammaria dan Evanggala memelintir selipan romansanya, yang justru menghadirkan relevansi seputar remaja. Apabila disimak, intisari keduanya saling bertautan, yakni ego yang meruntuhkan kepedulian.

Sejak tadi saya membahas elemen penceritaan, karena Sesat sendiri seperti memilih berkonsentrasi di sana. Sempat luput mengeksplorasi detail peran penting suatu benda kesayangan Amara yang berujung menciptakan kebingungan, pada akhirnya kebingungan penonton belum ada apa-apanya dibandingkan yang Sammaria rasakan sewaktu menyajikan teror. Selain peristiwa berdarah di sekolah plus jump scare pertama yang efektif menggedor jantung berkat ketepatan timing meski triknya tergolong murahan, praktis Sesat dipenuhi cara menakut-nakuti medioker.

Sammaria seolah terlalu khawatir menjadi murahan, kemudian memilih berhemat menampilkan sosok Beremanyan, yang akhirnya berujung fatal akibat pengadeganan canggung di sana-sini. Daripada penampakan si peneror, Sammaria lebih banyak menampilkan dampak yang terjadi pada korban. Tubuh mereka diseret, dilempar, dibanting ke sana kemari, dalam kemasan tak meyakinkan, yang acap kali didorong sudut kamera serta perpindahan adegan yang kurang memfasilitasi kengerian.  Musik buatan “trio Pengabdi Setan”, Aghi Narottama, Bemby Gusti, dan Tony Merle sesekali memperdengarkan sentuhan unik namun tak menolong lemahnya departemen penyutradaraan.

Ketimbang kulminasi teror, klimaksnya justru menjadi puncak kelemahan filmnya menebar teror. Sebenarnya, konklusi yang Sesat miliki adalah titik akhir yang sesuai untuk mengakhiri seluruh proses karakternya, namun ketiadaan puncak gejolak dalam pertarungan manusia melawan iblis, yang hadir tak sekuat pertarungan manusia melawan sisi gelapnya sendiri, meninggalkan ketidakpuasan teramat besar pasca filmnya usai. Sebuah potensi besar yang gagal terpenuhi, setidaknya Sesat bukan horor pesakitan, sekaligus memberi karir Laura Theux—yang membuat Amara lebih berwarna ketimbang banyak protagonis horor lokal—“nyawa baru” pasca Jaran Goyang yang memalukan.

4 komentar :

Comment Page:
Unknown mengatakan...

Adegan pensil mekanik sih yang cukup bagus walaupun motif kenapa bisa sampe konflik kayak gitu rada kurang masuk akal.

Sama penyelesaian konfliknya gampang banget. Gue kira bakalan susah dan penuh darah secara Jajang c Noer bilang seolah2 masalah dengan Beremanyan itu nggak ada jalan keluarnya.

Unknown mengatakan...

Kalo dicompare plus minusnya sama sebelum iblis menjemput gimana bang?

Unknown mengatakan...

Kalo dicompare plus minusnya sama sebelum iblis menjemput gimana bang?

Rasyidharry mengatakan...

@Heru Awalnya mikir gitu, tapi setelah diinget-inget, kejadian fitnah+bullying yang didasari sakit hati gitu di real life buanyak banget, jadi make sense. Tapi ya, klimaksnya terlalu gampang.

@Unknown Overall, Sesat lebih kuat di narasi, tapi urusan teror SIM jelas jauh di atas.