ROMA (2018)

26 komentar
Miracle resides within your will”, ucap guru bela diri/spiritual, Professor Zovek (diperankan Luchador Latin Lover), sambil berdiri dengan sebelah kaki dan kedua tangan sementara matanya ditutup. Para murid dan penonton mengikuti, namun semua gagal, kecuali Cleo (Yalitza Aparicio), protagonis dalam usaha Alfonso Cuaron menuturkan kisah seseorang yang kerap dilupakan meski punya jasa besar: asisten rumah tangga (ART) alias pembantu. Cleo dipedulikan oleh para majikan, tapi tetap saja, nama tengah, usia, dan tanggal lahirnya tak diketahui.

Seperti ART kebanyakan, Cleo hanya berdiam diri di belakang, tersenyum sembari tetap mengawasi, ketika majikannya bersantai menonton televisi atau berlarian di pantai. Dia merapikan kamar, membersihkan kotoran anjing, menyiapkan makanan, di saat kepala keluarga tempatnya bekerja, Antonio (Fernando Grediaga) mengeluhkan kebersihan rumah walau jarang pulang menemani istri dan anak-anaknya. Ketika anak-anak selalu bertengkar satu sama lain, sementara sang ibu, Sofia (Marina de Tavira), kesulitan mengatur emosi akibat perilaku sang suami, Cleo, tanpa mereka sadari, menjadi perekat yang menjaga keluarga tersebut tetap berdiri.

Mengadopsi gaya neorealisme Italia termasuk pemakaian warna hitam-putih, Cuaron yang kali ini merangkap penulis naskah, sinematografer, dan co-editor, beralih sejenak dari keriuhan blockbuster setelah mengkhatamkan ilmunya lewat tiga film terakhir, termasuk Gravity (2013) yang memberinya piala Oscar untuk “Sutradara Terbaik”. Tapi toh jika diperhatikan, Roma bukan arthose neorealisme biasa. Ceritanya memang cerminan sehari-hari minim dramatisasi, pun set-piece berskala besar takkan ditemukan, namun aspek teknisnya lebih kompleks dari kelihatannya. Boleh dibilang, “khas Cuaron”.

Gambar pembukanya langsung mengunci atensi saya. Menampilkan lantai biasa yang ditangkap menggunakan kamera statis, tak lama kemudian alir mengalir, menciptakan refleksi langit dan pesawat yang sempat melintas. Momen tersebut membuktikan kemampuan Cuaron mengekstraksi keindahan dari hal kecil. Berikutnya lihat bagaimana Cuaron menggerakkan kameranya perlahan ke tiap penjuru ruangan mengikuti langkah karakternya.

Setiap sapuan kamera mengajak penonton mengamati detail mise en scène yang tak hanya menghasilkan observasi terhadap aktivitas Cleo, pula orang-orang serta kejadian di sekitarnya. Dari pesta dansa, memadamkan kebakaran hutan, hingga yang paling kompleks, reka ulang pembantaian Corpus Christi, menunjukkan betapa lihai sang sutradara memvisualisasikan peristiwa yang membutuhkan ketepatan timing tinggi. Dan menggarap film kecil rupanya tak melunturkan kemampuan Cuaron membangun situasi intens, yang seperti biasa, banyak dibungkus memakai take panjang.

Mungkin tidak semua orang merasa terikat dengan jalinan ceritanya, apalagi ditambah penggunaan tempo lambatnya. Tapi jika tak mampu mengoyak perasaan, setidaknya Roma bisa menyedot seluruh perhatian anda terhadap kisahnya. Kisah yang lebih mirip tangkapan realita suata masa tatkala Cuaron menyatukan beragam tema, mulai dari keluarga, gender (termasuk sindiran terhadap maskulinitas), sampai politik.

Tapi tidak ada tumpang tindih, sebab keseharian Cleo tetap dikedepankan, sementara elemen-elemen lain dibiarkan lewat sebagai bagian rutinitas yang memperkaya pemahaman kita akan kondisi Colonia Roma, Meksiko, pada 1970-1971 kala Cuaron menghabiskan masa kecil (film ini bersifat semi-autobiografi berdasarkan memori Cuaron tentang pengasuhnya, Libo Rodriguez). Minim dialog, Cuaron membiarkan kameranya bicara soal kondisi sosial-ekonomi masyarakat sekitar, atau bagaimana ia memandang sang ayah sebagai sosok berwibawa ketika tengah memarkir Ford Galaxie miliknya di garasi kecil sambil merokok.

Sebagai neorealisme yang baik, segala aspek pun harus tampak senyata mungkin. Di departemen akting, Yalitza Aparicio tidak berlebihan, tidak pula terlalu menekan luapan emosi sebagaimana kerap kita temui dalam arthouse. Cuaron membiarkan aktrisnya, yang masih nihil pengalaman, bermain senatural mungkin, sembari ia menggerakkan filmnya bagai reka ulang memori yang mengalir mulus, salah satunya berkat penyuntingan rapi. Pun serupa realita, selalu ada kejadian dramatis. Cuaron menumpahkan seluruh emosi yang tertahan di sebuah momen jelang akhir, kala Cleo beserta orang-orang yang ia layani akhirnya “bersatu” di bawah siraman cahaya mata hari senja.

26 komentar :

Comment Page:
Chan hadinata mengatakan...

Ini film ini kalo gw ditanya bagus apa tdk.. gw jawab bagus sekali tapi bingung menjelaskan bagusnya
Alur lambat tp gak membosankan
Minim konflik tapi selalu terikat tau2 udah habis aja filmnya
Satu scene favorit ketika cleo matiin lampu trus alur kameranya ngikut muterin.. keren sih itu

Unknown mengatakan...

Taun ini yg dapat 5 stars cuman lady bird doang y bang?

KOKO mengatakan...

Scene paling indah ketika Cleo di rangkul sofia beserta keempat anaknya di pantai.. sebuah Pemandangan indah. Bentuk luapan emosi Cleo yang selama ini tertahan...

Zulfikar Knight mengatakan...

Mas Rasyid tertarik riviw Lars Von Trier's The House That Jack Built? Reviewnya beragam, ada yang walkout dan muntah di Cannes.

KieHaeri mengatakan...

Penggunaan teknik monochrome-nya auto mengingatkan saya pada film Ida (2013) pun kala menontonnya pun demikian. Selalu meraih atensi saya untuk tak beranjak di kursi. Btw, lebih bagus mana nih menurut Mas Rasyid? Hehe

Oh ya film Bird Box nya Sandra Bullock akan di review kah?

Aku12345 mengatakan...

Mas mau tanya, apa emang mulai dari awal film ada suara narasi cewek yang ngebaca mulai dari judul dll? Saya nonton dari download di lapak film, hehehe. Terima kasih

Anonim mengatakan...

Scene lahiran sama waktu di pantai terbaik sih! menurut mas antara shoplifters, roma dan burning siapa yang punya kesempatan paling besar buat bawa pulang oscar untuk foreign languange? karena tiga film ini yang hypenya tinggi.

Rasyidharry mengatakan...

@Chan Ya itulah yang namanya "absorbing". Kita pasrah aja hanyut sama felemnya.

@rowyah Sejauh ini iya. Masih ada beberapa hari hehe.

@Koko Hell yeah, that's so damn beautiful!

@Zulfikar Nonton sih pasti, tapi kemungkinan nggak akan di-review karena nggak ada di tempat streaming resmi.

@Ungki Pilih Ida. One of my favorite movie of all time. Gambarnya kayak lukisan sakral semua. Buat Bird Box belum yakin mau nonton sih, dahuluin yang lain.

@rahman oh itu namanya "Salah donlot" hahaha.

@Unknown Jelas Roma. Lha kemungkinan film ini menang Best Picture juga besar.

Hadi Alkatiri mengatakan...

Yup, ada peluang buat masuk best Picture sih. Secara taun ini oscar bait-nya gk terlalu meyakinkan. Paling saingannya filmnya Clint Eastwood, A STAR IS BORN sama VICE. Tapi kayaknya kalo best foreign masih pegang SHOPLIFTERS. Reviewnya dong, mas hehe

Rasyidharry mengatakan...

@Hadi Filmnya Eastwood (The Mule) nggak akan dapat apa-apa sih. Review biasa dan nggak ada buzz. Roma udah pasti masuk nominasi Best Picture, dan tinggal saingan sama A Star is Born. Dan karena itu Roma udah pasti menang Best Foreign Language. Masak masuk nominasi Film Terbaik tapi gagal menang di Film Asing Terbaik.

Rasyidharry mengatakan...

Oh, dan buat review Shoplifters udah ada kok dari lama. Makanya udah tenggelam ke halaman berikutnya.

fikri mengatakan...

sound design nya mantul banget gua rasa,hehehe

fikri mengatakan...

sound design nya mantul banget gua rasa,hehehe

fikri mengatakan...

sound design nya keren banget gue rasa, hehehe nyata banget 3d nya

susan mengatakan...

Kalo best picture milih ini sih daripada a star is born.

Unknown mengatakan...

Filmnya gak seru, bagus darimana? seruan avenger infinity war.

Zulfikar Knight mengatakan...

Bisa gak sih film ini masuk nominasi Best Picture? Karena ini kan film yang (untuk beberapa orang) hanya bisa ditonton di "rumah".

Janus mengatakan...

Ga masuk bioskop reguler ya bang rasyid

Rasyidharry mengatakan...

@Zulfikar Pasti masuk. Pertanyaannya bakal menang atau nggak. So far balapan Best Picture ya Roma vs A Star is Born.

@Janus Di beberapa bioskop Amrik tayang terbatas buat menuhin aturan daftar Oscar.

Unknown mengatakan...

Bang review "The Other Side of the Wind" gak?

yovenamelinda mengatakan...

Hari ini saya nonton untuk yang kedua kali. Baru sadar, gong pembuka dan penutupnya sama ya? Visualisasi pesawat terbang lewat.

Arnaz Prakasa mengatakan...

menurutku, oscar sekarang perang antara Roma vs The Favourite, padahal The Favourite belom nonton, A Star is Born bagus banget tp tbh ngga ngerasa bahwa 'ini tuh film oscar'

Satria wibawa mengatakan...

Dua kali saya terisak :)

Anonim mengatakan...

Apakah mas Rasyid setuju jika Roma dapat dikatakan sebagai salah satu yang terpenting pada abad ini? berpikir demikian, setelah mengulang untuk kedua kali dan membaca ulasan Roger Ebert tentang film ini, "I think that’s because it so completely embodies what he considered the role of great cinema as an empathy machine. We should be thankful there are films like “Roma” keeping that machine humming."

Rasyidharry mengatakan...

Pertama, koreksi. Itu bukan ulasan Ebert, tapi Brian Tallerico.
Soal pemakaian istilah "penting", jawabannya beragam, ditinjau dari perspektif mana dulu. Pastinya, Roma ini kasih bukti tentang seberapa jauh visual storytelling bisa dilakukan.

Dede mengatakan...

Kok saya agak terganggu sama bayangan orang2 di adegan paragraf pertama, kaya ada yg salah gitu, apa perasaan saya doang ?!