ESCAPE ROOM (2019)
Rasyidharry
Januari 12, 2019
Adam Robitel
,
Bragi F. Schut
,
Cukup
,
Deborah Ann Woll
,
horror
,
Jay Ellis
,
Logan Miller
,
Maria Melnik
,
Nik Dodani
,
REVIEW
,
Taylor Russell
,
Thriller
,
Tyler Labine
6 komentar
Sutradara Adam Robitel (The Taking of Deborah Logan, Insidious: The
Last Key) cukup bijak untuk mengetahui bahwa film terbarunya ini tidak
punya naskah sekuat premisnya. Sebagai jalan keluar, Robitel menggerakkan
filmnya sedemikian cepat, menerapkan penyuntingan lincah, menolak mengendurkan
intensitas. Set piece-nya silih
berganti sebelum penonton sempat menyadari setumpuk kelemahannya. Alhasil,
walau kurang berkesan, Escape Room takkan
membosankan.
Kisahnya dibuka dengan perkenalan
terhadap tiga karakter: Zoey (Taylor Russell) si mahasiswi fisika yang pemalu
dan lebih menggemari rumus ketimbang manusia, Ben (Logan Miller) si penjaga
toko dengan kesulitan finansial, dan Jason (Jay Ellis) sang trader muda sukses. Mereka menerima
kotak misterius dari kenalan masing-masing, yang ternyata berisi undangan (atau
lebih tepatnya tantangan) menjajal escape
room milik perusahaan Minos yang konon begitu imersif. Pemenang permainan
ini dijanjikan hadiah uang $10 ribu.
Selain mereka bertiga, turut hadir
Amanda (Deborah Ann Woll) si veteran perang, mantan penambang bernama Mike
(Tyler Labine), dan penggila permainan escape
room, Danny (Nick Dodani). Keenamnya bukan karakter yang bisa disebut “three-dimensional”, namun setidaknya,
berkat upaya maksimal jajaran pemain, mereka bukan sekadar daging tak bernyawa
yang menanti giliran kematian. Pun masing-masing menyimpan rahasia, yang kelak berperan (atau minimal terlihat) dalam upaya
menyelesaikan teka-teki di tiap ruangan.
Sekalinya permainan dimulai, tidak
butuh waktu lama bagi mereka menyadari jika escape
room satu ini bukan hanya imersif, melainkan nyata, dapat merenggut nyawa
lewat beragam skenario mengerikan dari dibakar hidup-hidup, mati beku, dihimpit
tembok, dan lain-lain. Bragi F. Schut (Season
of the Witch) dan Maria Melnik sanggup mengkreasi ruang-ruang berkonsep
kreatif lewat naskah tulisan mereka, yang turut memberi kesempatan Robitel
beserta segenap tim artistik memamerkan pendekatan bergaya. Dari oven raksasa,
interior bersalju, hingga ruangan bernuansa psychedelic,
dari segi konsep, tampak mengagumkan.
Tapi kalau anda mengharapkan
penerus Saw atau Final Destination, bersiaplah kecewa, sebab Escape Room merupakan teror tanpa darah. Ketika suatu film
menjadikan tewasnya para tokoh sebagai bahan jualan utama, ketiadaan gore ditambah kerapnya kematian terjadi
secara off-screen jelas melucuti
dampaknya. Di sini, sewaktu karakternya meregang nyawa, itu bukan sebuah gebrakan,
melainkan cuma pertanda bahwa tiba waktunya melangkah ke ruangan berikutnya.
Seperti telah disinggung
sebelumnya, Robitel membawa filmnya bergerak cepat. Begitu cepat, sampai pemaparan
beberapa teka-teki berakhir kurang jelas dan kita urung disertakan dalam proses
memecahkannya. Mencapai beberapa titik, saya pun menyerah, memilih pasrah
hendak dibawa ke mana tanpa berusaha lagi ikut serta mencari jawaban. Total ada
lima ruang (plus satu tambahan di babak akhir) sepanjang 100 menit durasinya,
sehingga Escape Room dipaksa berlari
secepat mungkin guna memberi ruang untuk seluruh ruangan.
Tanpa permainan tempo tersebut, besar
kemungkinan penonton bakal menyadari betapa konflik serta teka-tekinya tak
sekreatif desain ruangannya, sehingga keputusan Robitel membawa Escape Room melaju kencang, sejatinya pantas
disebut cerdik. Setidaknya Escape Room enggan
memberi kesempatan bagi rasa bosan menyeruak masuk sampai paruh akhir, di mana
filmnya memberi tease menarik perihal
sekuel yang lebih besar, gila, sekaligus tidak masuk akal.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
6 komentar :
Comment Page:Saya pribadi lebih suka horror "rated R" ketimbang "PG13", berasa nanggung kalo "PG13."
Kirain ini remake "CUBE" karena film ini katanya akan rilis juga.
OOT! Ada satu yang aneh sih bagi saya, mungkin karena kita beda budaya kalia ya, di Amerika kayaknya mereka justu tampak oke-oke saja memperlihatkan adegan sex untuk film "PG13," sebut saja Truth or Dare, Bye Bye Man dan menurut saya itu cukup frontal dan mengganggu untuk anak usia 13 tahun, tapi sekali lagi Budaya kita berpengaruh, Amerika kayaknya sudah mengajarkan kehidupan sex untuk anak-anak yang sudah menginjak usia 13 tahun.
Menurut gw juga film ini cukup fun sih, walaupun emang gak banyak darah.. Gw kurang suka sama beberapa kematian aktornya yg gw rasa 'bodoh' (yahh, gitu doang matinya?'), tapi emang semakin ke akhir malah semakin menarik.. justru di akhir kayak pengen ngomong, 'lah udah habis? Kok bisa? Kan harusnya...'
Semoga sekuel (-sekuelnya) bisa kasih ruangan yang jauh lebih cerdas dan mematikan!
Filmnya bosenin wkwk. Mending saw :( atau ga target . Btw split kapan tayang di bioskop indo bangb
Glass bukan split 😂
@Abdi Karena orang kita kebanyakan lebih takut sama sex daripada gore & violence. Sampai ciuman aja dipotong.
@Billy Oh pasti lebih gila sekuelnya. Lihat aja endingnya begitu 😁
@Unknown Glass tayang Rabu besok
Br selesai nonton. Wah kalo saya menikmati skali sih filmnya (serasa gabungan FD,saw,maze runner). Berharap bgt sekuelnya bener2 dibuat,soalnya masi penasaran ama muka si kamving di ending.
Cuman saya mau nanya bang (spoiler).
1. Pas di ending polisinya dateng. Kenapa tiba2 bangunannya bisa berubah jd gedung kosong?masa iya yg design ruangan sejago itu bikin replikanya?
2. Tulisan no way out apakah maksudnya,designer gamenya memang merancang ga ada pemenang (tidak seperti jigsaw?). So even u won the game,the game still running (no way out)?
Posting Komentar