DARAH DAGING (2019)
Rasyidharry
Desember 06, 2019
Action
,
Ario Bayu
,
Arnold Leonard
,
Beby Hasibuan
,
Crime
,
Donny Alamsyah
,
Drama
,
Estelle Linden
,
Indonesian Film
,
Kurang
,
Rangga Nattra
,
REVIEW
,
Sarjono Sutrisno
,
Tanta Ginting
Tidak ada komentar
Menonton Darah
Daging meninggalkan rasa gatal luar biasa. Bukan karena kualitasnya
hancur-hancuran, malah sebaliknya, debut penyutradaraan Sarjono Sutrisno yang
sebelumnya lebih banyak menduduki kursi produser eksekutif ini berpotensi jadi
salah satu film Indonesia paling menarik tahun ini, andai ditunjang naskah yang
sanggup mewujudkan gagasan apiknya. Konon, proses penulisan Beby Hasibuan (Tebus, Valentine) berjalan sekitar
sembilan tahun dan menghasilkan 32 draft!
Sayangnya kuantitas tak selalu berbanding lurus dengan kualitas.
Sepuluh hari jelang dieksekusi mati, Salim (Donny
Alamsyah) dikunjungi oleh Hanna (Estelle Linden) yang berniat melakukan
wawancara sebagai bahan novel terbarunya. Materi wawancaranya adalah kasus
perampokan 14 tahun lalu yang menjembloskan Salim ke penjara, di mana nyawa
puluhan orang melayang. Kemudian alurnya melompat ke peristiwa tersebut, memperlihatkan
Salim bersama Arya (Ario Bayu), Rahmat (Rangga Nattra), Fikri (Arnold Leonard),
dan Borne (Tanta Ginting), bersiap menjalankan aksi merampok bank.
Berikutnya kita dibawa menyaksikan flashback dalam flashback,
yang berfungsi menjelaskan latar belakang tiap tokoh. Salim bersahabat dengan
Rahmat—yang merupakan adik Arya serta kakak Fikri—sejak kecil. Mereka sepakat
merampok bank akibat kesulitan finansial, dan demi memperoleh senjata,
direkrutlah Borne, sepupu Salim yang justru kerap memancing masalah. Tidak
seperti keempat rekannya, Borne bukan “orang bermoral yang melakukan hal tak
bermoral akibat himpitan ekonomi”.
Bank tempat Fikri bekerja jadi target. Alasannya? Fikri
sakit hati akibat permintaan pinjaman uangnya ditolak, sebab ia masih berada di
masa percobaan. Tentu saja ditolak. Di luar fakta yang membuat Fikri terkesan
sebagai seorang bocah manja tak tahu diri sehingga kurang simpatik itu, Beby
Hasibuan mampu menangani dua lapis flashback-nya
dengan rapi. Baik kerancuan timeline maupun
lompatan kasar antara latar waktu berhasil dihindari. Sayang, penanganan
terhadap gaya alur non-liniernya berujung mengurangi dampak emosi di penghujung
kisah.
Masalah terletak pada faktor “kapan”. Darah Daging tersusun atas beberapa
tragedi, dan seringkali alurnya terbalik, memunculkan dahulu suatu tragedi
tanpa lebih dulu memperkenalkan informasi dasar, seperti detail karakterisasi
atau penggambaran hubungan antar tokoh. Penonton diharapkan peduli, bahkan
menangisi nasib orang-orang yang belum dikenal baik. Andai persoalan struktur
itu dibenahi, saya yakin konklusinya, yang turut menyelipkan sebuah twist, bakal efektif mengaduk-aduk
perasaan, tatkala alasan mengapa film ini berjudul Darah Daging terungkap.
Padahal, jajaran pemainnya mampu menampilkan penampilan
cukup baik, walau belum pantas disebut luar biasa. Ario Bayu dengan wajah tegas
dan perawakan kokohnya tampak meyakinkan sebagai pria ditempa kerasnya realita.
Begitu pun Donny Alamsyah yang dituntut secara bertahap, memperlihatkan
kehancuran batin Salim. Ada satu kekurangan. Entah karena penghantaran pemain
atau buruknya sound mixing, beberapa
baris kalimat terdengar kurang jelas, apalagi saat beradu dengan suara-suara
sekitar.
Bisa ditebak, perampokan tersebut berujung kekacauan,
yang nantinya menyulut baku tembak. Jangan harapkan gelaran aksi menegangkan,
sebab kebodohan-kebodohan yang dipaksa masuk demi dramatisasi, beberapa kali
ditemui. Manusia mana yang nekat mengendarai mobilnya melewati pusat baku
tembak? Mustahil kerusuhan yang pastinya bising itu gagal disadari. Dan bukan
cuma sekali, tapi dua kali! Atau saat salah satu karakter menggendong karakter
lain yang sedang sekarat ke rumah sakit melewati jalan raya ramai, alih-alih
mencoba menghentikan kendaraan untuk menumpang.
Penggarapan adegan aksi Sarjono Sutrisno tidak
buruk-buruk amat, meskipun layak disebut medioker. Tapi “dosa” terbesar sang
sutradara adalah sewaktu (lagi-lagi) demi efek dramatis, gerak lambat dipakai
secara berlebihan. Entah berapa lama. Saya tidak lagi sempat menghitung karena
sudah tidak sabar menantikan akhir filmnya, yang seharusnya telah tiba beberapa
menit sebelumnya.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar