DARAH DAGING (2019)

Tidak ada komentar
Menonton Darah Daging meninggalkan rasa gatal luar biasa. Bukan karena kualitasnya hancur-hancuran, malah sebaliknya, debut penyutradaraan Sarjono Sutrisno yang sebelumnya lebih banyak menduduki kursi produser eksekutif ini berpotensi jadi salah satu film Indonesia paling menarik tahun ini, andai ditunjang naskah yang sanggup mewujudkan gagasan apiknya. Konon, proses penulisan Beby Hasibuan (Tebus, Valentine) berjalan sekitar sembilan tahun dan menghasilkan 32 draft! Sayangnya kuantitas tak selalu berbanding lurus dengan kualitas.

Sepuluh hari jelang dieksekusi mati, Salim (Donny Alamsyah) dikunjungi oleh Hanna (Estelle Linden) yang berniat melakukan wawancara sebagai bahan novel terbarunya. Materi wawancaranya adalah kasus perampokan 14 tahun lalu yang menjembloskan Salim ke penjara, di mana nyawa puluhan orang melayang. Kemudian alurnya melompat ke peristiwa tersebut, memperlihatkan Salim bersama Arya (Ario Bayu), Rahmat (Rangga Nattra), Fikri (Arnold Leonard), dan Borne (Tanta Ginting), bersiap menjalankan aksi merampok bank.

Berikutnya kita dibawa menyaksikan flashback dalam flashback, yang berfungsi menjelaskan latar belakang tiap tokoh. Salim bersahabat dengan Rahmat—yang merupakan adik Arya serta kakak Fikri—sejak kecil. Mereka sepakat merampok bank akibat kesulitan finansial, dan demi memperoleh senjata, direkrutlah Borne, sepupu Salim yang justru kerap memancing masalah. Tidak seperti keempat rekannya, Borne bukan “orang bermoral yang melakukan hal tak bermoral akibat himpitan ekonomi”.

Bank tempat Fikri bekerja jadi target. Alasannya? Fikri sakit hati akibat permintaan pinjaman uangnya ditolak, sebab ia masih berada di masa percobaan. Tentu saja ditolak. Di luar fakta yang membuat Fikri terkesan sebagai seorang bocah manja tak tahu diri sehingga kurang simpatik itu, Beby Hasibuan mampu menangani dua lapis flashback-nya dengan rapi. Baik kerancuan timeline maupun lompatan kasar antara latar waktu berhasil dihindari. Sayang, penanganan terhadap gaya alur non-liniernya berujung mengurangi dampak emosi di penghujung kisah.

Masalah terletak pada faktor “kapan”. Darah Daging tersusun atas beberapa tragedi, dan seringkali alurnya terbalik, memunculkan dahulu suatu tragedi tanpa lebih dulu memperkenalkan informasi dasar, seperti detail karakterisasi atau penggambaran hubungan antar tokoh. Penonton diharapkan peduli, bahkan menangisi nasib orang-orang yang belum dikenal baik. Andai persoalan struktur itu dibenahi, saya yakin konklusinya, yang turut menyelipkan sebuah twist, bakal efektif mengaduk-aduk perasaan, tatkala alasan mengapa film ini berjudul Darah Daging terungkap.

Padahal, jajaran pemainnya mampu menampilkan penampilan cukup baik, walau belum pantas disebut luar biasa. Ario Bayu dengan wajah tegas dan perawakan kokohnya tampak meyakinkan sebagai pria ditempa kerasnya realita. Begitu pun Donny Alamsyah yang dituntut secara bertahap, memperlihatkan kehancuran batin Salim. Ada satu kekurangan. Entah karena penghantaran pemain atau buruknya sound mixing, beberapa baris kalimat terdengar kurang jelas, apalagi saat beradu dengan suara-suara sekitar.

Bisa ditebak, perampokan tersebut berujung kekacauan, yang nantinya menyulut baku tembak. Jangan harapkan gelaran aksi menegangkan, sebab kebodohan-kebodohan yang dipaksa masuk demi dramatisasi, beberapa kali ditemui. Manusia mana yang nekat mengendarai mobilnya melewati pusat baku tembak? Mustahil kerusuhan yang pastinya bising itu gagal disadari. Dan bukan cuma sekali, tapi dua kali! Atau saat salah satu karakter menggendong karakter lain yang sedang sekarat ke rumah sakit melewati jalan raya ramai, alih-alih mencoba menghentikan kendaraan untuk menumpang.

Penggarapan adegan aksi Sarjono Sutrisno tidak buruk-buruk amat, meskipun layak disebut medioker. Tapi “dosa” terbesar sang sutradara adalah sewaktu (lagi-lagi) demi efek dramatis, gerak lambat dipakai secara berlebihan. Entah berapa lama. Saya tidak lagi sempat menghitung karena sudah tidak sabar menantikan akhir filmnya, yang seharusnya telah tiba beberapa menit sebelumnya.  

Tidak ada komentar :

Comment Page: