GIRL ON THE THIRD FLOOR (2019)
Rasyidharry
Januari 30, 2020
Ben Parker
,
CM Punk
,
Dan Martin
,
horror
,
Lumayan
,
Paul Johnstone
,
REVIEW
,
Sarah Brooks
,
Travis Stevens
,
Trieste Kelly Dunn
3 komentar
Mantan megabintang WWE Phil Brooks
alias CM Punk melakoni debut aktingnya sebagai seorang pria yang mendefinisikan
“toxic masculinity”. Dia membenci
warna merah muda, menganggap pastur selalu berkelamin laki-laki, menjustifikasi
perselingkuhannya dengan berkata “I earned
that” tatkala sang istri yang tengah hamil tua menafkahi dirinya. Girl on the Third Floor merupakan satu
lagi horor generasi #MeToo yang vokal
bersuara tanpa melupakan tugasnya menebar teror, meski paparan pesannya tak
semulus harapan.
Don Koch nama karakter yang
diperankan CM Punk. Dia dan istrinya, Liz Koch (Trieste Kelly Dunn), baru saja
membeli rumah di pinggiran kota Chicago. Don memilih merenovasi rumah itu
sendiri, untuk sementara meninggalkan Liz yang sedang mengandung. Banyak yang
harus diperbaiki, sebutlah tembok berlubang, pipa mampet, sampai langit-langit
yang runtuh. Sementara Don kelabakan menangani renovasi, penonton pun
pelan-pelan memahami jati dirinya, termasuk alasan pasangan suami-istri ini
memutuskan pindah jauh dari kemewahan kota besar.
Dalam menulis naskahnya, sutradara Travis
Stevens bersama Paul Johnstone dan Ben Parker pelan-pelan menyusun
keping-keping soal Don. Praktis sekitar separuh awal dipakai sebagai studi
karakter. Kita diberi kesempatan mengobservasi kepribadiannya, bahkan melalui
hal-hal kecil yang terkesan remeh seperti komentar dengan nada bercanda. Dari
sesosok suami dengan ketidaksempurnaan biasa (curi-curi kesempatan minum
alkohol di belakang istri), semakin banyak informasi yang kita dapat, semakin
terungkap kebobrokan Don, sama seperti rahasia gelap rumahnya yang lama-lama
terungkap.
Sebagai bagian subgenre horor yakni
haunted house, rumah di sini bukan
sebatas latar, melainkan entitas tersendiri. Melalui lendir-lendir yang keluar
dari berbagai perabot atau lubang-lubang hitam misterius, rumahnya seolah
hidup. Hidup dengan cara menelan kegelapan dalam diri para penghuni rumah yang
gagal mereka tahan. Baik Don maupun rumanya, sama-sama mengungkap sisi gelapnya
begitu masing-masing dipugar dan “ditelanjangi”. Khusus bagi Don, sisi itu
makin terpampang nyata sejak kehadiran gadis cantik bernama Sarah (Sarah
Brooks).
Memerankan suami bermasalah, CM
Punk punya poin positif serta negatif dalam performanya. Sewaktu dituntut
membuat gestur dan ekspresi kecil atau malah sekadar berdiam diri, ia punya
kebrengsekan alami yang membuat figurnya meyakinkan. Sebaliknya, kala
diharuskan berakting lebih “besar”, kealamian tersebut hilang, digantikan oleh
penampilan serba berlebihan sebagaimana yang kerap ditampilkannya di atas ring.
Meski demikian, gaya akting itu justru cocok saat diterapkan begitu filmnya
memasuki paruh kedua dan meninggalkan fase studi karakter untuk menggila di
jalur kebrutalan khas b-movie.
Bagi yang mengira Girl on the Third Floor bakal tancap gas
sejak dini mungkin akan merasa terkecoh, sebab dalam debut
penyutradaraannya, Travis Stevens menerapkan teknik slow burn. Terkadang pemandangan berulang seperti lelehan lendir
atau kelereng yang menggelinding terkesan repetitif, tapi Stevens punya bakat
merangkai tuturan bertempo agak lambat supaya tetap dinamis, tak monoton, juga
nyaman diikuti. Stevens tidak menyeret film, melainkan menuntunnya dengan sabar
tapi pasti.
Barulah melewati paruh kedua, Girl on the Third Floor mulai
habis-habisan membuka tirai neraka berwujud rumah mengerikan lewat parade
gambar-gambar disturbing pula menjijikkan,
dan tentunya sadisme berdarah yang beberapa di antaranya terasa menyakitkan. Travis
Stevens punya visi meneror mumpuni, tapi pujian tinggi juga mesti dialamatkan
kepada penata efek spesial Dan Martin (Isle
of Dogs, Nina Forever, Free Fire) yang memalingkan pilihan ke efek
praktikal ketimbang CGI. Dampak terornya jauh lebih tinggi dan nyata, sekaligus
mengingatkan akan masa kejayaan horor-horor klasik era 80-an.
Sebagai horor tidak banyak
kelemahan dimiliki filmnya, namun terkait penghantaran pesan seputar isu
gender, penulisannya cukup bermasalah. Ini adalah kisah tentang manusia yang
ditelan kegelapan dirinya. Tentang bagaimana ia dihadapkan pada dua pilihan
kemudian secara sadar memilih kegelapan itu, dan secara khusus tentang hukuman
terhadap toxic masculinity.
Sehingga,
keputusan mematikan beberapa tokoh patut dipertanyakan. Apakah mereka diuji? Tidak.
Apakah mereka diperlihatkan menghadapi kegelapan diri? Tidak juga. Alhasil,
timbul kesan jika para penulis kehabisan akal guna menambah kuantitas teror
justru menyebabkan inkonsistensi. Ketika sebuah film berusaha melontarkan pesan
tertentu, inkonsistensi macam itu jelas sukar ditoleransi. Tapi kesampingkan itu
dan bersabarlah mengikuti paruh awalnya, maka Girl on the Third Floor adalah horor disturbing yang mengasyikkan.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
3 komentar :
Comment Page:Bakal review temen kondangan gak nih mas?
WWE Superstar skrg udah bnyak yg mulai meranah ke dunia acting, well ga heran, WWE sendiri banyak actingnya disana. Ga heran CM Punk bisa tampil bagus di film, karena di WWE pun dia sangat entertaining.
Kenapa sih selalu ada pertannyaan ga bermutu gini setiap akhir review? Kalau nanti direview ya bakal muncul, tunggu aja. Tak perlu berisik.
Posting Komentar