SONIC THE HEDGEHOG (2020)
Rasyidharry
Februari 23, 2020
Action
,
Ben Schwartz
,
Comedy
,
Cukup
,
Donna Jay Fulks
,
James Marsden
,
Jeff Fowler
,
Jim Carrey
,
Josh Miller
,
Melody Niemann
,
Patrick Casey
,
REVIEW
,
Tika Sumpter
3 komentar
Masih segar di ingatan saat April
tahun lalu, pesimisme terhadap proyek live
action ini mencapai puncak, setelah trailer
perdana Sonic the Hedgehog
menerima respon luar biasa negatif akibat desain “realistis” si landak biru.
Entah bagaimana jadinya bila pihak studio menutup mata atas protes tersebut,
tapi proses desain ulang dengan penambahan biaya $5 juta serta penundaan
tanggal tayang selama tiga bulan sepertinya membuahkan hasil positif.
Dari sisi komersil, raupan $86,7
juta menempatkan filmnya di posisi puncak daftar film adaptasi permainan video
berpendapatan terbesar pada opening
weekend di Amerika Serikat dan Kanada. Sedangkan soal kualitas, Sonic the Hedgehog memang tidak memberi
warna baru, tapi sebagai tontonan semua umur, hasilnya cukup menghibur, bahkan
di luar dugaan, tidak melupakan hati dalam penuturannya.
Sonic (Ben Schwartz) terpaksa
meninggalkan planetnya setelah kecepatan supersonik miliknya diketahui suku
echidnas (jangan berharap ada Knuckles di sini). Memakai cincin ajaib pemberian
penjaganya, Longclaw si burung hantu (Donna Jay Fulks), Sonic kabur ke Bumi.
Satu dekade berselang, ia menetap di gua persembunyiannya, yang terletak dekat
kota kecil yang damai, Green Hills. Tinggal sendirian, Sonic semakin akrab
dengan kesepian dan mulai mengharapkan adanya sesosok teman.
Tapi nyawanya justru terancam,
setelah suatu malam Sonic tidak sengaja melepaskan kekuatannya, yang
menyebabkan padamnya seluruh listrik di area Pacific Northwest. Pemerintah
mengirim Dr. Robotnik (Jim Carrey) si ilmuwan jenius gila pemilik IQ 300, untuk
melakukan investigasi. Sonic kembali harus terus berlari dan berlari, namun
kali ini dia tidak sendiri. Tom Wachowski (James Marsden), Sheriff setempat
yang bosan dengan minimnya aksi kriminal serius di Green Hills, (terpaksa)
turut serta.
Tidak sulit menebak ke mana duo
penulis naskah, Jeff Fowler dan Patrick Casey bakal mengarahkan kisahnya. Sonic
akan menemukan teman dalam diri Tom, sementara berkat Sonic, Tom akan menyadari
betapa berharganya rumah beserta orang-orang tercinta yang ada di sana. Tapi
paling penting bukanlah destinasi, melainkan perjalanannya. Pertemanan keduanya
terjalin dinamis berkat performa masing-masing pemeran, meski banter berbasis selorohan komedik mereka
tidak ditulis secara solid, sehingga kelucuan kerap gagal tercipta.
James Marsden tidak canggung berinteraksi
dengan karakter CGI, sedangkan Ben Schwartz memberi kepribadian serta nyawa
bagi Sonic melalui suaranya, yang diperkuat oleh desain karakter yang setia
pada materi asalnya. Tidak semua makhluk atau benda perlu tampil realistis, apalagi
di dunia berisi alian berwujud landak biru berkekuatan supersonik yang bisa
bicara. Belum lagi membahas elemen fantasi lain. Pada dunia semacam itu, figur cartoonish Sonic sebagaimana dalam gim
jauh lebih sesuai.
Walau bukan fokus utama, saya mengapresiasi
penggambaran hubungan Tom dan sang istri, Maddie (Tika Sumpter). Akibat
menolong Sonic, Tom dituduh sebagai teroris (masalah yang nantinya selesai terlalu
mudah). Di banyak film, mungkin Tom bakal terus menyembunyikan keberadaan
Sonic, memantik kesalahpahaman Maddie, sehingga berujung memperpanjang konflik
di antara mereka. Tidak di Sonic the
Hedgehog. Hubungan saling dukung keduanya yang sudah dibangun sejak awal,
terus dipertahankan, bahkan kemudian bekerja sama. Cukup hangat, biarpun tidak
sehangat momen sewaktu Jojo (Melody Niemann), keponakan Maddie, memberikan
sepatu merah kepada Sonic.
Presentasi aksi sutradara Josh
Miller tak sepenuhnya berhasil memaksimalkan potensi eksplosif dari kekuatan
Sonic. Penggarapannya masih kekurangan tenaga. Setidaknya ada satu sekuen aksi
menarik ketika Dr. Robotnik memamerkan robot unik dengan konsep ala russian doll (robot dalam robot). Beruntung,
asupan tenaga itu bisa disuplai oleh penampilan Jim Carrey yang akhirnya
kembali memerankan sosok manik. Belum setingkat masa kejayaannya sebagai Si
Muka Karet, tapi keeksentrikan Carrey lewat absurditas gerak dan ekspresi serta
reaksi-reaksi yang sukar diprediksi, lumayan mengobati kerinduan.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
3 komentar :
Comment Page:Sebagai seorang gamer saat memainkannya di konsol Sega dari stage awal sampai akhir kekecawaannya ada di Dr.Ivo kenapa Jim Carrey tidak dibuat buncit seperti bola...
Soal tampilan Carrey, yang lebih akurat kayaknya disimpen buat sekuel. Kelihatan dari kumis & kepala botaknya di ending
Mimik mukanya jim carrey disini kayak joker india di tik tok , LAY LAY LAY LAY LAY LAY~ ^-*
Posting Komentar