THE INVISIBLE MAN (2020)
Rasyidharry
Februari 28, 2020
Aldis Hodge
,
Elisabeth Moss
,
Harriet Dyer
,
horror
,
Leigh Whannell
,
Lumayan
,
Oliver Jackson-Cohen
,
REVIEW
,
Science-Fiction
5 komentar
Leigh Whannell (Saw, Insidious, Upgrade) membuka filmnya
lewat sekuen menegangkan yang nyaris seluruhnya diisi kesunyian ditambah
pemakaian tata suara dan hentakan dengan presisi sempurna. Pemandangan serupa
takkan kita temukan pada versi 1933-nya, yang menegaskan status modernisasi
milik adaptasi teranyar dari novel The
Invisible Man karya H. G. Wells ini. Dan sungguh modernisasi yang tepat
guna dan memuaskan.
Sekuen pembuka di atas
memperlihatkan usaha protagonis kita, Cecilia Kass (Elisabeth Moss), kabur dari
kediaman kekasihnya, Adrian Griffin (Oliver Jackson-Cohen). Bukan cuma ilmuwan
jenius sekaligus pebisnis sukses di bidang optik, Adrian juga kekasih abusive dan manipulatif. Dibantu sang
adik, Emily (Harriet Dyer), Cecilia berhasil melarikan diri, lalu menetap
sementara di kediaman kawan lamanya yang juga seorang polisi, James (Aldis
Hodge).
Tapi rasa aman tidak serta merta
didapat. Kecemasan terus menghinggapi Cecilia. Dia takut melangkah keluar
rumah, bahkan khawatir Adrian bakal meretas webcam
di laptopnya untuk memata-matai. Respon tersebut wajar dialami Cecilia.
Adrian mengatur segalanya, dari cara berpakaian, perkataan, bahkan pikirannya.
Sebelum elemen horornya menerjang masuk, naskah Leigh Whannell sudah terlebih
dahulu memulai tuturannya mengenai perjuangan seorang perempuan merebut
kebebasan dari kontrol figur patriarki.
Dan tidak segampang itu kebebasan
diraih. Whannell menunjukkan, bahwa setelah fisiknya terbebas pun, dampaknya
masih menguasai psikis si wanita. Bukan cuma di paruh awal saja, sebab
keseluruhan The Invisible Man pun
secara tersirat juga menyinggung soal kontrol lelaki, bahkan tatkala sosoknya
tak kasat mata. Penonton diajak mengutuk Adrian dan mendukung Cecilia, yang
mana berhasil. Sampai di satu titik, ketika Adrian dikabarkan mati bunuh diri
dan ketenangan mulai didapatkan, saya ingin ketenangan itu berlanjut, dan tidak
mempermasalahkan andai filmnya bertransformasi jadi dokumenter tanpa konflik
tentang kedamaian hidup Cecilia.
Tentu kedamaian tersebut tak
berlangsung lama. Peristiwa-peristiwa aneh mulai menimpa Cecilia, dan ia
percaya, Adrian adalah pelakunya. Menurut Cecilia, sang mantan memalsukan
kematiannya, lalu memanfaatkan kejeniusannya di bidang optik, menemukan cara
guna membuat tubuhnya tembus pandang. Bisa ditebak, semua orang kesulitan
mempercayai Cecilia dan mengira mentalnya terganggu. Demikian pula penonton,
yang turut dibuat bertanya-tanya, apakah memang sudah kehilangan kewarasannya.
Kemampuan menghadirkan pertanyaan tersebut, salah satunya hadir berkat penampilan Elisabeth Moss, yang dari kegamangan
matanya saja, mencerminkan individu dengan masalah psikis. Hanya dari raut
mukanya, keraguan akan kebenaran pernyataan Cecilia langsung timbul. Selain
itu, bukti-bukti kuat mengenai kematian Adrian juga jadi pembantah keyakinan
bahwa ia masih hidup. Bukti-bukti yang berperan membangun misteri alurnya.
Sayang, Whannell tidak pernah
menggali misteri tersebut lebih lanjut. Selain berujung meninggalkan setumpuk
pertanyaan tanpa jawaban begitu film usai, alurnya sempat mengalami stagnansi,
sebatas mengetengahkan teror yang protagonisnya alami. Tapi setidaknya, urusan
membangun teror, Whannell yang mengawali karir penyutradaraannya secara solid
(walau tak spesial) lewat Insidious:
Chapter 3 (2015), mampu membuktikan kapasitasnya tak tertinggal jauh dari
sang rekan, James Wan.
Whannell mementahkan anggapan jika
teror mustahil dibangun di horor arus utama apabila di mayoritas durasi
antagonis tak menampakkan wujudnya. Justru faktor itu jadi kunci utama penyusun
ketegangan The Invisible Man, saat
kita secara otomatis dibuat memperhatikan gerakan-gerakan kecil di sekitar
Cecilia, yang mungkin saja merupakan ulah si pria tak kasat mata. Hasilnya
adalah penantian sarat kecemasan.
Intensitas itu agak menurun kala
terornya semakin frontal dan melibatkan serangan fisik secara langsung. Meski
dibungkus efek spesial mumpuni, ditambah totalitas akting Moss yang membuat
pergulatan Cecilia dengan sosok tak terlihat berlangsung meyakinkan, ketegangan
atmosferik yang menyelimuti separuh pertama durasi tak pernah kembali. Setidaknya,
di paruh kedua, kita sempat menyaksikan lagi kemampuan Whannell mengekskusi
aksi beroktan tinggi di lorong rumah sakit, yang sebelumnya ia pamerkan kala
menggarap Upgrade (2018).
Selain metode teror, modernisasi
juga diterapkan pada satu unsur substansial seputar si pria tak terlihat, yang
tak bisa saya jabarkan demi menghindari spoiler.
Modernisasi yang sesuai, tidak dipaksakan, juga secara subtil, menyimpan
relevansi dengan isu surveillance. Memang
beginilah seharusnya. Ketimbang mencanangkan shared cinematic universe sebagaimana rencana Universal dulu,
ketepatan modernisasi memang lebih substansial diterapkan kepada
monster-monster klasik ini.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
5 komentar :
Comment Page:jadi yang sebenernya jahat siapa ya?
Bisa beri kesimpulah cerita nya bang rasyid, tapi tunggu 2 minggu ajh, takut spoiler, hee
Teori saya (spoiler):
pelaku sebagai invisible man sedari awal sampai akhir memang Adrian. Buktinya
1. Saat cecil mau menyayat tangan dan mau membunuh bayinya,hanya Adrian yang peduli akan hal itu.
2. Adrian memang mempunyai kemampuan memanipulasi dan mempengaruhi orang lain untuk melakukan seperti yang dia inginkan (Tom dipengaruhi untuk menjadi fake invisible man),sehingga Adrian bisa play victim bahwa dia bukan pelakunya.
3.suara intonasi "suprise" sangat mirip ketika kejadian penembakan di markas polisi. Hal ini juga yang akhirnya meyakinkan Cecil bahwa the real invisible man adalah Adrian,dan dia harus dibunuh.
Cukup perhatiin perbedaan cara beraksi si invisible man sebelum & selama di kantor polisi sebenernya udah ketahuan kok ada berapa orang
Udah nonton,lumayan bikin tegang sepanjang film,harus nya ending nya di bikin gantung,biar ada yg mikir itu bunuh diri beneran 😀
Posting Komentar