THE PLATFORM (2019)
Rasyidharry
Maret 24, 2020
Antonia San Juan
,
Bagus
,
David Desola
,
Galder Gaztelu-Urrutia
,
horror
,
Iván Massagué
,
Jon D. Domínguez
,
Pedro Rivero
,
REVIEW
,
Science-Fiction
,
Thriller
,
Zorion Eguileor
5 komentar
Tempat bertingkat sebagai gambaran
sistem kasta, human nature,
halusinasi protagonis tentang sosok yang telah tiada akibat rasa bersalah. The Platform punya semua elemen familiar
tersebut. Tapi yang menjadikannya lebih dari sebatas repetisi adalah
keseimbangan perspektif, yang bukan sebatas mengkritik golongan atas karena “memakan”
golongan bawah, pula mengobservasi bagaimana golongan bawah juga saling “makan”.
Hanya saja, pada film ini, aktivitas “saling makan” juga terjadi secara
literal.
Kisahnya mengenai penjara berbentuk
menara, dengan jumlah tingkat tidak diketahui, setidaknya sebelum memasuki third act. Seluruh tingkat dipenuhi
amarah dan frustrasi, namun ketika golongan atas tersulut emosinya karena tampilan
panna cotta yang kurang sempurna, golongan bawah tertekan, sebab ada
kemungkinan mereka sama sekali tidak bisa makan. Mendapat makanan sisa 100
orang sudah merupakan keberuntungan.
Protagonis kita, Goreng (Iván
Massagué), terbangun di tingkat 48. Rekan satu selnya adalah pria tua bernama
Trimagasi (Zorion Eguileor). Jangan kaget mendengar nama-nama karakternya yang
terdengar seperti kata dalam Bahasa Indonesia. Selain keduanya, masih ada Imoguiri
(dari “Imogiri”) hingga Brambang (Bahasa Jawa untuk “bawang merah”). Melalui
penjabaran Trimagasi, Goreng (juga penonton) belajar tentang berbagai aturan di
penjara itu.
Soal mimbar berisi makanan yang
disajikan tingkat per tingkat sehingga semakin rendah tingkat seseorang semakin
kecil peluangnya memperoleh jatah, sampai perihal tingkat yang berubah tiap
bulan. Dari tingkat atas yang penuh keuntungan, bisa saja seorang tahanan
dipindah ke tingkat bawah di bulan berikutnya. Pun nyaris mustahil kabur dari
sana, walau jelang akhir, terungkap bahwa sebenarnya ada cara, yang akhirnya
memancing pertanyaan, “Mengapa tidak ada yang terpikir melakukan itu
sebelumnya?”.
Naskah buatan David Desola dan Pedro
Rivero mampu mendetailkan aturan-aturan serta sistem di penjara, yang berfungsi
sebagai pengikat atensi, karena bersama Goreng, kita selalu mempelajari hal
baru yang tak jarang melahirkan kejutan. Ditambah permainan pacing yang mumpuni dari sutradara Galder
Gaztelu-Urrutia, dinamika The Platform sama
sekali tidak terganggu oleh keterbatasan latarnya.
Di luar ambiguitas konklusi yang
sedikit menyimpan alegori keagamaan, tidak ada banyak ruang bagi kesubtilan di
film ini. The Platform bukan Parasite, yang paparan isu sosialnya
dapat menenggelamkan penonton dalam diskusi berkepanjangan. The Platform adalah tamparan, bahkan
pukulan brutal yang bukan untuk memancing perenungan, melainkan kesadaran hasil
dari keterkejutan.
Grotesque. Kesan itu yang langsung terasa, tatkala darah dan isi
perut manusia ditumpahkan, lewat pemandangan yang bakal memuaskan para
penggemar film genre. Terbukti,
filmnya berhasil memenangkan kategori Midnight
Madness pada Toronto International Film Festival tahun lalu. Sinematografi
arahan Jon D. Domínguez menekankan kegilaan, termasuk melalui penggunaan
lampu-lampu merah, yang bahkan membuat sebuah adegan seks imajiner menghadirkan
ketidaknyamanan.
Terkai presentasi isu kelas sosial
maupun human nature, sudut pandang
film ini adil, tanpa pemanis untuk memuaskan para aktivis pembela proletar
(sederhananya, ini bukan “film SJW”), dan itulah mengapa perspektifnya tampil
segar. Benar bahwa golongan atas menolak menghormati mereka yang di bawah,
menganggap dirinya terlalu tinggi untuk sekadar menyapa. Alhasil para petinggi
tak tahu betapa kacau kondisi di bawah. Tapi di waktu bersamaan, golongan bawah
terlanjur bersikap apatis, menyimpan sentimen negatif yang penuh generalisasi
terhadap golongan atas.
Kedua pihak sama-sama cuma
memedulikan cara mengenyangkan diri sendiri dan dikuasi ketidakpedulian.
Golongan atas menolak berbagi makanan, sedangkan yang di bawah menolak mengakui
kesalahan dan melimpahkannya pada mereka yang di atas. “Semua salah orang kaya!
Kalau mereka peduli, kami pasti tidak akan berbuat buruk!”, begitu katanya. Sebuah
lingkaran setan. Akhirnya, sewaktu pertukaran peran dilakukan, sama sekali
tiada perubahan, sebab yang tersisa hanya hasrat balas dendam dan prasangka.
Di tengah pandemi seperti sekarang,
ada sebuah momen yang menarik perhatian saya karena relevansinya yang tinggi.
Imoguiri (Antonia San Juan), mantan pengelola yang secara sukarela mendekam
dalam penjara, berusaha mengajak tahanan lain agar menjatah makanan mereka,
supaya tahanan di tingkat bahwa mendapat bagian. Mereka menolak. Mereka tak
peduli akan soladaritas semacam itu. Tapi begitu Goreng mengancam bakal
mengencingi makanan, mereka menurut. Sama seperti masyarakat kita yang tak
memahami istilah “tinggi” seperti social
distancing dan semacamnya. Mereka perlu dipersuasi menggunakan metode
sederhana dengan kata-kata to the point
yang menekankan pada hukuman, atau dampak buruk mengerikan yang bakal menimpa
jika tidak patuh.
Available on NETFLIX
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
5 komentar :
Comment Page:Santir sosial nya ngenah sekali ya apalagi saat kondisi virus Corona seperti ini dimana orang-orang banyak mementingkan diri sendiri daripada orang lain. Alurnya juga bikin penasaran, tapi ending nya masih gantung atau saya saja yg tak terlalu paham hehehe 😁
Endingnya Kya sebuah penebusan dosa. Bahwasanya pembuatan sistem Nih ada cacatnya... Seseorang yg notabene masih suci turut menjadi korban dan menjadi pesan buat paling atas berlagak seperti Tuhan
apa cuma saya yang lebih jijik adegan makan makanan sisa ketimbang adegan makan daging manusia
Tokoh goreng sendiri semacam alegori Yesus yang turun ke bumi secara sukarela, meskipun disini dengan cela (mana ada tuhan makan org lain) cuma nampaknya dia yg pling punya hati dan kesadaran buat menyelamatkan sperti beberapa tahanan lain yang menyinggungnya seperti tuhan.
Dan anak itu perlambang harapan bahwa manusia punya hati dan kepolosan suci jauh berbeda seperti ‘manusia”di lantai atas”
Komunis
Posting Komentar