COLOR OUT OF SPACE (2019)
Rasyidharry
Maret 22, 2020
Bagus
,
Brendan Meyer
,
Elliot Knight
,
horror
,
Joely Richardson
,
Julian Hilliard
,
Madeleine Arthur
,
Nicolas Cage
,
Q'orianka Kilcher
,
REVIEW
,
Richard Stanley
,
Scarlett Amaris
,
Science-Fiction
,
Steve Annis
,
Tommy Chong
4 komentar
Color out of Space dibuka dengan memperlihatkan gadis bernama Lavinia
(Madeleine Arthur) sedang melakukan ritual Wicca,
sebuah kepercayaan paganisme modern. Terlihat aneh, tapi beberapa menit
kemudian keanehan itu bisa dimaklumi, setelah kita tahu bahwa Lavinia adalah
puteri Nathan Gardner, yang diperankan oleh Nicolas Cage. Kata “aneh” dan
Nicolas Cage sudah seperti gula dan semut. Ditambah lagi, film ini merupakan
adaptasi cerita pendek karya H. P. Lovecraft (The Colour out of Space), di mana kenormalan bersifat langka.
Selepas istrinya, Theresa (Joely
Richardson), menjalani mastektomi, Nathan membawa keluarganya pindah ke
peternakan milik ayahnya di pinggiran kota kecil fiktif bernama Arkham. Di sana
Nathan hidup sebagai petani tomat dan memerah susu alpaka (karena Nicolas Cage
bebas melakukan apa saja). Selain Lavinia, Nathan dan Theresa punya dua putera:
Benny (Brendan Meyer) yang gemar mengisap ganja bersama Ezra (Tommy Chong),
seorang hippie yang tinggal di tengah hutan; dan si bungsu Jack (Julian Hilliard).
Mereka berlima ditambah Ward (Elliot
Knight ), seorang hidrolog yang seketika menarik perhatian Lavinia, tidak
menyadari kalau kedamaian di area pedesaan itu takkan bertahan lama. Suatu
malam, cahaya ungu yang menyilaukan menerangi sekitaran rumah Keluarga Gardner,
bersamaan dengan jatuhnya sebuah meteorit. Itulah awal peristiwa-peristiwa di
luar nalar, yang akan membuat Nicolas Cage melakukan rutinitasnya: berteriak
sambil memukul-mukul mobil dan melempar tomat ke tempat sampah bak pebasket
tengah unjuk gigi memamerkan slam dunk.
Sebuah hiburan tersendiri bagi yang familiar dengan gaya aktingnya.
Mencapai pertengahan—dari durasi
111 menit yang sejatinya terlalu panjang untuk adaptasi cerita pendek Lovecraft
yang tak bertele-tele—Color out of Space hanya
paparan anomali demi anomali, yang sekadar melempar tanda tanya tanpa
mengikutsertakan penonton dalam investigasi misteri. Bukan berarti tiada
petunjuk ditebar, hanya saja, proses memecahkan misteri tak dijadikan pilar
cerita.
Sejatinya itu selaras dengan
kekhasan karya Lovecraft, di mana tokoh-tokohnya terjebak dalam situasi di luar
kontrol yang tak memberi peluang bagi mereka untuk sebatas memahaminya. Tapi
durasi yang terlalu lama memunculkan kesan monoton tatkala penonton hanya bisa
pasrah terbawa arus, walau sutradara Richard Stanley—yang kembali setelah
pemecatan kontroversialnya dari proyek The
Island of Dr. Moreau (1996)—bersama Steve Annis (I Am Mother) selaku sinematografer mampu melahirkan deretan visual flashy menghipnotis yang terkesan “otherwordly”, sebagaimana seharusnya
adaptasi karya Lovecraft dilakukan. Pancaran cahaya dan aura ungu, mata serta
mulut manusia yang bersinar, Color out of
Space bagai komik cosmic yang
aneh.
Kemudian pesona (baca: kesintingan)
filmnya mulai meningkat kala Stanley mulai merambah ranah body horror, menghadirkan parade efek praktikal disturbing memikat yang memberi makna
lain terhadap pernyataan “family stick
together”. Anda akan terkejut, terperangah, merasa jijik, dan mengeluarkan
respon-respon lain yang menggambarkan ketidakpercayaan mengenai peristiwa tak
masuk akal, yang semakin mendekati akhir, semakin terasa sureal.
Tapi apa yang sesungguhnya terjadi?
Meski tidak secara langsung melakukan investigasi misteri, naskah buatan
Richard Stanley dan Scarlett Amaris menawarkan beberapa subteks. Pertama soal
pemimpin inkompeten sekaligus tak bertanggungjawab, yang di film ini diwakili
oleh dua sosok, yaitu Walikota Tooma (Q'orianka Kilcher) yang cuma peduli pada
pembangunan infrastruktur serta elektabilitas ketimbang menangani kontaminasi
air, dan Nathan selaku kepala keluarga.
Nathan memaksakan otoritas,
membentak anak-anaknya jika dirasa tidak becus menjalankan perintah, tetapi
ketika salah satu dari mereka terluka, yang ia lakukan cuma duduk diam,
menenggelamkan diri dalam alkohol sambil mengamuk sendiri meluapkan frustrasi.
Seiring waktu, ucapan“semua bakal baik-baik saja” atau “segalanya terkendali”
dari Nathan semakin terdengar hampa.
Perihal kontaminasi air, Color out of Space juga sebuah tuturan enviromentalist terselubung tentang
usaha alam mengembalikan kondisinya seperti sedia kala sebelum dicemari
manusia, dengan sosok “color” sebagai
perpanjangan tangan. Karya-karya Lovecraft memang mengenal figur yang disebut “Great Old Ones”, yakni dewa-dewa yang
dahulu menguasai Bumi. Jadi siapa sebenarnya kanker yang menggerogoti? Apakah
mereka atau kita (manusia)?
Available on KLIK FILM
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
4 komentar :
Comment Page:Terima kasih masih rutin menonton dan menulis di masa pandemi ini, Mas Rasyid! dari pembaca setia blog Anda!
Nic cage belakangan udh masuk b movie terus.malah konon sampe 3 film per tahun.masih lumayan sih drpd steven seagal yg monoton peran2nya gitu2 aja...
Keterusan. Awalnya buat bayar utang karena bangkrut tapi keterusan
Dulu Cage ini aktor favorit saya, mulai dari Con Air sampe National Treasure masi suka dinonton berkali kali. Tapi semua berubah ketika Ghost Rider menyerang.. makin lama makin aneh aja ambil perannya hehe buat bayar utang kali ya
Posting Komentar