REVIEW - THE BEACH HOUSE
Rasyidharry
Juli 28, 2020
horror
,
Jake Weber
,
Jeffrey A. Brown
,
Liana Liberato
,
Lumayan
,
Maryann Nagel
,
Noah Le Gros
,
REVIEW
,
Roly Porter
1 komentar
Lovecraftian nampaknya sedang mencapai popularitas baru. Baik yang
memang merupakan adaptasi karya H. P. Lovecraft seperti Underwater dan Color Out of
Space, atau yang terinspirasi secara gaya seperti Sea Fever . The Beach House masuk
kategori kedua. Melalui debut penyutradaraan sekaligus penulisan naskahnya, Jeffrey
A. Brown menegaskan bahwa keterbatasan biaya bukan alasan meredam ambisi,
selama kreativitas tak dikekang.
Latarnya sederhana. Cuma sebuah
rumah pantai milik keluarga Randall (Noah Le Gros), tempat ia menghabiskan
liburan bersama kekasihnya, Emily (Liana Liberato). Tapi harapan bisa berduaan
kandas. Rupanya ada yang lebih dulu menempati rumah tersebut, yakni pasangan suami-istri,
Mitch (Jake Weber) dan Jane (Maryann Nagel). Mitch adalah teman ayah Randall
yang pernah mengajar bersama sebagai dosen. Alih-alih pergi, Randall menerima
ajakan Mitch menginap. Keempatnya pun bercengkerama, makan malam, bahkan
menyantap ganja bersama.
The Beach House bergerak lambat, sembari Brown menyelipkan deretan red herring, yang sebelum mencuatkan
teka-teki tentang “Apa yang terjadi?”, terlebih dulu memancing penonton
bertanya-tanya, “Apa yang AKAN terjadi?”. Apakah kegilaan akibat ganja? Ataukah
teror pasangan tua yang ternyata berbahaya? Apa pula arti adegan pembukanya
ketika muncul gas dari dasar laut? Serbuan monster? Bencana alam? Atau malah
invasi alien? Mungkinkah justru siratan mengenai pecahnya hubungan Randall dan
Emily bakal jadi penyebab?
Banyak posibilitas yang menjaga
pikiran kita tetap fokus, sehingga lupa kalau teror sesungguhnya baru muncul
sewaktu durasi mendekati satu jam, tepatnya sebelum shot yang dipakai di poster film, dalam sekuen yang menghadirkan
perasaan jijik serta ngilu, yang bisa jadi membuatmu enggan menapakkan kaki di
lantai selama beberapa saat.
Brown bukan ingin menyulut rasa
takut (kalau itu tujuannya, berarti ia gagal), melainkan ketidaknyamanan. Musik
gubahan Roly Porter adalah komposisi synth
atmosferik yang biasa kita temui di judul-judul fiksi-ilmiah atau horor
klaustrofobik. Sedangkan kesan out-of-this-world
khas Lovecraftian dibangun
melalui gaya visual psikedelik, yang terdiri atas distorted vision kental nuansa dreamy.
Kesan serupa turut dimunculkan oleh penampakan makhluk-makhluk misterius— yang
tak pernah kita tahu pasti, apakah alien dari luar angkasa, hewan asing dari
dasar laut, atau hal lain —yang jadi panggung bagi tim artistik memamerkan
kepiawaian efek praktikal kelas wahid.
Satu hal yang masih perlu Brown
asah, baik selaku sutradara maupun penulis naskah, adalah terkait intensitas.
Hasrat tampil misterius membuat naskahnya lalai memberi payoff setimpal, yang sesungguhnya, berkaca dari deretan Lovecraftian terbaik, tidak bersinonim
dengan “menjawab”. Sedangkan The Beach
House ibarat pertandingan sepak bola bertabur bintang, di mana para bintang
itu terlebih dahulu duduk di bangku cadangan, tapi pertandingan sudah keburu
usai sebelum mereka memasuki lapangan. Kita cuma bisa berandai-andai, apa
jadinya kalau mereka beraksi. Pun sebagai sutradara, kapasitas Brown memainkan
intensitas serta atmosfer baru sampai tahap “meraba” ketimbang “mencengkeram”
penontonnya.
Daya tarik terbesar The Beach House justru terletak pada
proses merangkai petunjuk, yang mayoritas tersebar di kalimat karakternya. Penonton bebas menebak, apakah ini soal invasi rahasia
ekstraterestrial dari luar Bumi, ataukah mengenai lingkungan di Bumi. Sebuah
fiksi-ilmiah tentang kolonisasi, atau eco-horror seputar siklus alam
yang berusaha kembali ke awal guna mengembalikan keseimbangannya.
Available on SHUDDER
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
1 komentar :
Comment Page:bangg sorry koreksi kalau salah yaa, kyknya Underwater itu bukan adaptasi murni Lovecraft deh bang, tapi lebih ke perwujduan creaturesnya yang emang mengarah ke Cthulhu
Posting Komentar