REVIEW - THE BEACH HOUSE

1 komentar
Lovecraftian nampaknya sedang mencapai popularitas baru. Baik yang memang merupakan adaptasi karya H. P. Lovecraft seperti Underwater dan Color Out of Space, atau yang terinspirasi secara gaya seperti Sea Fever . The Beach House masuk kategori kedua. Melalui debut penyutradaraan sekaligus penulisan naskahnya, Jeffrey A. Brown menegaskan bahwa keterbatasan biaya bukan alasan meredam ambisi, selama kreativitas tak dikekang.

Latarnya sederhana. Cuma sebuah rumah pantai milik keluarga Randall (Noah Le Gros), tempat ia menghabiskan liburan bersama kekasihnya, Emily (Liana Liberato). Tapi harapan bisa berduaan kandas. Rupanya ada yang lebih dulu menempati rumah tersebut, yakni pasangan suami-istri, Mitch (Jake Weber) dan Jane (Maryann Nagel). Mitch adalah teman ayah Randall yang pernah mengajar bersama sebagai dosen. Alih-alih pergi, Randall menerima ajakan Mitch menginap. Keempatnya pun bercengkerama, makan malam, bahkan menyantap ganja bersama.

The Beach House bergerak lambat, sembari Brown menyelipkan deretan red herring, yang sebelum mencuatkan teka-teki tentang “Apa yang terjadi?”, terlebih dulu memancing penonton bertanya-tanya, “Apa yang AKAN terjadi?”. Apakah kegilaan akibat ganja? Ataukah teror pasangan tua yang ternyata berbahaya? Apa pula arti adegan pembukanya ketika muncul gas dari dasar laut? Serbuan monster? Bencana alam? Atau malah invasi alien? Mungkinkah justru siratan mengenai pecahnya hubungan Randall dan Emily bakal jadi penyebab?

Banyak posibilitas yang menjaga pikiran kita tetap fokus, sehingga lupa kalau teror sesungguhnya baru muncul sewaktu durasi mendekati satu jam, tepatnya sebelum shot yang dipakai di poster film, dalam sekuen yang menghadirkan perasaan jijik serta ngilu, yang bisa jadi membuatmu enggan menapakkan kaki di lantai selama beberapa saat.

Brown bukan ingin menyulut rasa takut (kalau itu tujuannya, berarti ia gagal), melainkan ketidaknyamanan. Musik gubahan Roly Porter adalah komposisi synth atmosferik yang biasa kita temui di judul-judul fiksi-ilmiah atau horor klaustrofobik. Sedangkan kesan out-of-this-world khas Lovecraftian dibangun melalui gaya visual psikedelik, yang terdiri atas distorted vision kental nuansa dreamy. Kesan serupa turut dimunculkan oleh penampakan makhluk-makhluk misterius— yang tak pernah kita tahu pasti, apakah alien dari luar angkasa, hewan asing dari dasar laut, atau hal lain —yang jadi panggung bagi tim artistik memamerkan kepiawaian efek praktikal kelas wahid.

Satu hal yang masih perlu Brown asah, baik selaku sutradara maupun penulis naskah, adalah terkait intensitas. Hasrat tampil misterius membuat naskahnya lalai memberi payoff setimpal, yang sesungguhnya, berkaca dari deretan Lovecraftian terbaik, tidak bersinonim dengan “menjawab”. Sedangkan The Beach House ibarat pertandingan sepak bola bertabur bintang, di mana para bintang itu terlebih dahulu duduk di bangku cadangan, tapi pertandingan sudah keburu usai sebelum mereka memasuki lapangan. Kita cuma bisa berandai-andai, apa jadinya kalau mereka beraksi. Pun sebagai sutradara, kapasitas Brown memainkan intensitas serta atmosfer baru sampai tahap “meraba” ketimbang “mencengkeram” penontonnya.

Daya tarik terbesar The Beach House justru terletak pada proses merangkai petunjuk, yang mayoritas tersebar di kalimat karakternya. Penonton bebas menebak, apakah ini soal invasi rahasia ekstraterestrial dari luar Bumi, ataukah mengenai lingkungan di Bumi. Sebuah fiksi-ilmiah tentang kolonisasi, atau  eco-horror seputar siklus alam yang berusaha kembali ke awal guna mengembalikan keseimbangannya.


Available on SHUDDER

1 komentar :

Comment Page:
Reza Deni mengatakan...

bangg sorry koreksi kalau salah yaa, kyknya Underwater itu bukan adaptasi murni Lovecraft deh bang, tapi lebih ke perwujduan creaturesnya yang emang mengarah ke Cthulhu