REVIEW - ESOK TANPA IBU
Sebagai anak laki-laki, saya punya hubungan kompleks dengan bapak. Bukan kami saling benci, namun ada kesulitan untuk sekadar terlibat dalam obrolan. Rasanya banyak anak punya pengalaman serupa. Ada ketergantungan terlalu besar pada ibu selaku perekat hubungan, dan Esok Tanpa Ibu, atau yang punya judul internasional Mothernet, mengeksplorasi rapuhnya dependensi di atas selepas ketiadaan "sang perekat".
Rama (Ali Fikry) adalah nama si anak laki-laki. Usianya 16 tahun, sehingga tidak mengherankan saat kedua orang tuanya (Dian Sastrowardoyo dan Ringgo Agus Rahman) kesulitan memahami Rama, yang bak tak pernah bahagia di sekitar mereka. Tapi berbeda dengan sang suami yang seolah pasrah pada kondisi, Laras kukuh meluangkan waktu berbicara dengan putranya, memposisikan diri sebagai orang tua yang bisa jadi wadah berkeluh kesah.
Lalu terjadilah tragedi. Sewaktu mendaki gunung bersama, Laras tiba-tiba jatuh pingsan. Setelah koma beberapa hari, ia meninggal. Dian Sastrowardoyo bermain begitu berwarna, ada kalanya menggelitik layaknya generasi lalu yang coba menyesuaikan diri dengan gaya generasi kini. Dian sangat hidup, sampai setelah karakternya mati, saya ikut tertular kehampaan dingin yang menyerang keluarga Laras.
Perlu diingat, Esok Tanpa Ibu bukan mengambil latar waktu kontemporer. Naskah buatan Diva Apresya dan Gina S. Noer menyusun dunia "near future", di mana beberapa teknologi mengalami lonjakan kecanggihan, meski tidak seberapa jauh dibanding sekarang. Terowongan yang dipenuhi videotron, layar sentuh pengganti meja kerja, hingga sederet aplikasi yang mengeliminasi kemustahilan.
Salah satunya i-BU, aplikasi AI yang dikembangkan oleh sahabat Rama yang juga seorang peretas (Aisha Nurra Datau selaku pemeran pendukung yang piawai mencuri sorotan). i-BU membuat Laras seolah-olah hidup kembali di layar, berkat data-data tentang mendiang yang disuplai oleh Rama.
Bisa ditebak, Rama segera mengalami ketergantungan pada i-BU. Dia tak mampu mengambil keputusan sederhana tanpa berkonsultasi. Rama lupa bahwa memori, yang jadi inti penggerak sistem i-BU, biarpun bersifat maya, tetap tercipta dari hal-hal nyata. Rama tenggelam dalam ilusi bahwa ia baik-baik saja sepeninggal Laras. Saran dari orang-orang terdekat, termasuk si sahabat, Robert (yang memberi Bima Sena ruang unjuk gigi mengolah talenta komedi), enggan dia indahkan.
Pekerjaan rumah Rama pun diselesaikan oleh i-BU dengan menyatukan ragam esai dari internet, menciptakan kedekatan dengan fenomena memprihatinkan di dunia nyata, kala generasi sekarang bak kesulitan berfungsi tanpa campur tangan ChatGPT (atau AI dan gawai berbentuk apa pun).
Unik? Mungkin belum. Di tengah makin maraknya tuturan fiksi ilmiah mengenai kecerdasan buatan, terutama yang justru berbalik mengancam eksistensi manusia, eksplorasi Esok Tanpa Ibu cenderung familiar dan masih berkutat di area permukaan. Progresi alurnya pun kadang bergulir kurang mulus, misal penggambaran tentang sikap si bapak terhadap i-BU yang berubah-ubah dengan terlalu cepat.
Keunggulan kisahnya terletak di relevansi dan kedekatan. Saya pernah mengalami segala kecanggungan dan kejengahan yang menghantui Rama di hadapan bapaknya. Bagaimana tiap interaksi sederhana antara berujung keheningan atau bermuara di pertengkaran, serta rasa pilu kala mendapati si bapak, yang di mata anaknya terkesan sukar berkomunikasi, bisa begitu menyenangkan sewaktu terlibat obrolan dengan orang lain.
Wi Ding Ho, sineas Malaysia yang duduk di kursi sutradara, meramu gesekan-gesekannya dengan lembut nan elegan, sembari membiarkan akting jajaran pemainnya yang "berbicara" secara lebih lantang. Entah berapa kali Ali Fikry dan Ringgo Agus Rahman meremukkan perasaan saya sewaktu keduanya mengutarakan remuknya hati karakter masing-masing. Mereka pun belajar saling mengerti, belajar membuka isi hati, dan tentunya, belajar bahwa pasca badai yang menghancurkan segalanya, akan ada bunga elok baru yang menampakkan tunasnya.
(JAFF 2025)

%20(1).png)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar