REVIEW - DOUBLE WORLD
Rasyidharry
Juli 26, 2020
Action
,
Chinese Movie
,
Fantasy
,
Fendou Liu
,
Hery Lau
,
Hu Ming
,
Kurang
,
Lin Chenhan
,
Luxia Jiang
,
Ning Wen
,
Peter Ho
,
REVIEW
,
Teddy Chan
1 komentar
Belum sempat mengecek materi-materi
promosi maupun ulasannya, saya pikir, Double
World— selaku adaptasi permainan MMORPG berjudul sama —merupakan film perang
berlatarkan kerajaan Cina masa lampau biasa. Sampai sekuen aksi pembukanya
menampilkan gore, monster, juga
desain set yang nampak sedikit lebih modern. Menarik! Daya tarik yang sayangnya
perlahan memudar seiring eksekusi yang gagal memenuhi potensi.
Kisahnya mengambil latar negeri
fiktif bernama Zhao Selatan, yang sejak lama bersitegang dengan Yu Utara. Selepas
upaya pembunuhan terhadap Raja Zhao Selatan oleh mata-mata Yu Utara, Grand
Tutor Guan (Hu Ming) berencana menyelenggarakan turnamen beladiri guna
mengumpulkan para petarung-petarung terhebat dari seantero negeri. Tujuannya?
Mempersiapkan Zhao Selatan menghadapi perang. Tapi Guan diam-diam punya niatan
lain.
Tiap klan di Zhao Selatan
diperintahkan mengirim tiga wakil. Protagonis kita, Dong Yilong (Henry Lau), yang
terkenal sering bikin onar dan dipanggil “Berandal” oleh warga, secara
mengejutkan menyatakan keinginan ikut serta. Yilong berharap dapat mengetahui
asal-usulnya (sang ibu meninggal setelah melahirkannya, sang ayah tak diketahui
identitasnya). Walau kerap memancing keributan, sejatinya Yilong anak baik.
Lebih tepatnya naif. Kelak di turnamen, dia menolak membunuh lawan, bahkan bersedia
menolong The Beast King, sesosok ular
raksasa buas yang kepalanya terus mengalirkan darah akibat helm perang yang
ditancapkan paksa oleh prajurit Zhao Selatan, guna membuatnya terlihat makin
mengerikan di tengah medan perang.
Bergabung bersama Yilong adalah Chu
Hun (Peter Ho), desertir yang menyimpan hasrat balas dendam pada Guan, juga
gadis bernama Jingang (Lin Chenhan), yang punya kemampuan beladiri tinggi meski
masih remaja. Double World menjanjikan
turnamen mematikan yang diikuti puluhan jagoan. Turnamen itu sendiri, yang
dibagi menjadi tiga babak, baru dimulai setelah 40 menit. Pada babak pertama,
tiap anggota tim diikat satu sama lain, kemudian adu kecepatan meniti di atas
rantai, sembari menghindari batu-batu besar. Jatuh berarti mati, karena di
bawah, paku-paku besi telah menanti.
Set piece menarik, namun bukan penebusan yang setara untuk
penantian 40 menit karena bergulir terlalu singkat, pula dibungkus koreografi
medioker. Keluhan serupa layak disematkan bagi babak-babak berikutnya.
Sementara begitu terjun ke pertempuran, para jagoan yang tampak memiliki
kemampuan beragam itu hanya hadir untuk mati. Jeda antara aksi yang lumayan
lama, dijembatani oleh cerita setengah matang dari naskah garapan Fendou Liu
dan Ning Wen. Subplot balas dendamnya miskin emosi akibat penokohan tipis,
sementara pembangunan mitologi dunianya, yang menyertakan elemen fantasi, konsep
“double world”, serta rahasia terkait
jati diri Dong Yilong, rupanya sebatas tempelan belaka? Disimpan untuk sekuel
mungkin?
Ada pula subplot balas dendam lain,
kali ini melibatkan budak asal Yu Utara (Luxia Jiang) yang berhasrat membunuh
Chu Hun. Apa esensi cabang cerita ini? Alat
menyadarkan Chu Hun agar tak hidup dipenuhi dendam? Tidak juga, sebab akhirnya
sang desertir tetap menuntaskan misi tersebut. Si budak (saya lupa namanya)
sempat menghilang, sebelum mendadak muncul di klimaks, sebelum kemudian tewas.
Coba jawab pertanyaan saya: Bisakah kalian menemukan karakter wanita yang tak
berujung meregang nyawa atau bernasib tragis di film ini?
Setidaknya departemen akting cukup
membantu. Henry makin matang sebagai aktor lewat
penampilan solid sebagai pemuda naif yang dipaksa menatap kekejaman dunia. Lin
Chenhan tak kalah apik. Berkatnya, Double
World terasa lebih playful. Sedangkan
cast lain sekadar menjalankan
pekerjaan mereka, sama halnya dengan sang sutradara, Teddy Chan.
Teddy begitu menggantungkan nasib
pada CGI, yang mayoritas berfungsi menghidupkan unsur fantasi, yang walau (sedikit)
menambah warna melalui monster-monster seperti kalajengking raksasa, ular
raksasa, dan lain-lain, tampil kurang maksimal akibat inkonsistensi kualitas
CGI. Tatkala sesaat beralih dari efek komputer, aksi baku hantamnya juga jauh
dari kesan impresif. Beberapa gore yang
menambah tingkat kebrutalan pertarungan nyatanya tak sanggup menolong, sebab
sekali lagi, Teddy cuma menjalankan pekerjaan. Sulit dipercaya kalau film ini
ditangani oleh sineas di balik Bodyguards
and Assassins (2009) dan Kung Fu
Jungle (2014).
Available on NETFLIX
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
1 komentar :
Comment Page:Tapi saya fun-fun ajah nonton nya, memang beberapa karakter nya agak tipis tapi setidaknya bisa buat kita peduli. Yg menarik laga nya yg menghibur sekali.
Posting Komentar