REVIEW - MONOS
Rasyidharry
Juli 20, 2020
Alejandro Landes
,
Alexis Dos Santos
,
Drama
,
Julián Giraldo
,
Julianne Nicholson
,
Karen Quintero
,
Lumayan
,
Paul Cubides
,
REVIEW
,
War
,
Wilson Salazar
Tidak ada komentar
Dalam Monos, yang
merupakan perwakilan Kolombia di ajang Oscar awal tahun ini, semuanya
misterius. Di mana pastinya cerita berlatar? Siapa para remaja kemarin sore
yang menjadi anggota kelompok militer Monos? Apa tujuan pembentukan mereka?
Sedang terlibat di perang apakah Monos? Pertanyaan-pertanyaan itu sengaja
dibiarkan tanpa jawaban oleh sutradara Alejandro Landes, yang turut menulis
naskahnya bersama Alexis Dos Santos, guna menciptakan surealisme. Sebuah
tontonan dreamy yang mengedepankan experience ketimbang penceritaan sesuai
pola, meski pilihan tersebut tak selalu memperkuat.
Monos bermarkas di area pegunungan dengan dataran yang
membentang bak tanpa ujung. Sebuah “negeri di atas awan” yang seperti kampung
halaman kisah-kisah mitologi Nordik. Di sanalah para remaja itu mendapat
pelatihan militer ketat dari atasan mereka yang dipanggil “The Messenger”
(diperankan Wilson Salazar, yang juga mantan gerilyawan), ditugasi menjaga
tahanan perang asal Amerika Serikat, yang lagi-lagi tak bernama dan hanya dipanggil
“Doctora” (Julianne Nicholson). Kelak tugas tambahan menyusul, yakni merawat
sapi sumbangan simpatisan. Sapi itu diberi nama Shakira.
Pun semua anggota Monos cuma kita kenal dengan noms de guerre, alias nama perang
masing-masing. Ada Wolf, Bigfoot, Rambo, Lady, Swede, Smurf, sampai Dog. Seolah
mereka bukan individu. Hanya bidak yang diglorifikasi lewat status “prajurit”.
Bahkan, saat Wolf (Julián Giraldo) dan Lady (Karen Quintero) hendak menjalin
romansa, keduanya perlu meminta izin The Messenger. Mereka tidak keberatan,
membuktikan betapa patuh bocah-bocah ini.
Kata “keras” mungkin paling tepat menggambarkan kehidupan
Monos. Tapi toh mereka menikmatinya. Mereka menikmati memukuli tiap anggota
yang berulang tahun sesuai dengan usianya, juga deretan “ritual” gila lain yang
bakal membuat pesta terliar sekalipun nampak jinak. Sebagai prajurit, tentu
tiap anggota Monos dibekali senapan. Bisa dibayangkan bukan, apa yang akan
dilakukan remaja-remaja awal tersebut? Ya, mereka gemar membuang-buang peluru.
Hanya tinggal menunggu waktu sampai terjadi bencana.
Benar saja. Dog (Paul Cubides) tidak sengaja menembak mati
Shakira, dan itulah awal dari segala rintangan yang semakin lama semakin ekstrim.
Rintangan yang memicu terguncangnya psikis. Dan begitu psikis runtuh, ikatan
antar personal pun menyusul tak lama kemudian. Teriakan-teriakan penuh nada
frustrasi, tatapan yang makin lama makin hampa, pengkhianatan, pemberontakan, aksi
saling serang, bahkan saling bunuh, mendominasi paruh kedua Monos.
Disokong sinematografi Jasper Wolf yang melalui perspektif
kameranya membuat alam layaknya purgatory,
serta musik synth-based garapan Mica
Levi (Under the Skin, Jackie), Landes
menciptakan suasana atmosferik, yang tak jarang menyentuh ranah psikedelik,
termasuk di suatu sekuen sureal kala beberapa karakter memakan jamur yang
tumbuh di kotoran sapi. Sementara visual malam harinya, dengan pencahayaan
temaram dari api unggun ditambah tubuh manusia-manusia berbalut lumpur, kentara
mengambil referensi dari Apocalypse Now (1979),
selaku kiblat banyak sineas dalam membuat tuturan mengenai keruntuhan mental
manusia berlatar peperangan.
Seperti telah disebut, Landes mengedepankan experience. Saat secara bertahap anggota
Manos mulai tenggelam dalam “kegilaan”, fokus Landes adalah membuat penonton
turut merasakan, tanpa memberi pemahaman menyeluruh terkait bagaimana
karakternya bisa sampai ke titik itu. Sebuah pilihan yang sah, tapi meninggalkan
tanda tanya yang mengganggu proses menikmati jalannya film. Alasannya bisa
dipahami, namun tidak menutup fakta bahwa Landes melakukan simplifikasi terhadap
kompleksitas dinamika psikis, semata demi shock
value. Kesan mendadak demi shock
value pula yang rasanya melatari pilihan konklusi yang diambil.
Biarpun memiliki lubang, pencapaian Landes, khususnya terkait
keberhasilan merangkai barisan momen nightmarish
sebagai sutradara, tetap patut diacungi jempol. Secara keseluruhan, Monos adalah pengalaman yang— walaupun jauh
dari kesan nyaman dan ringan— takkan mudah dilupakan.
Available on HULU
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar