REVIEW - SHIRLEY
Rasyidharry
Juli 24, 2020
Biography
,
Drama
,
Elisabeth Moss
,
Josephine Decker
,
Logan Lerman
,
Lumayan
,
Michael Stuhlbarg
,
Odessa Young
,
REVIEW
,
Sarah Gubbins
,
Tamar-kali
,
Thriller
Tidak ada komentar
SPOILER ALERT!!!
Datang dari sutradara Josephine
Decker yang melahirkan drama bernarasi unik lewat Madeline’s Madeline (2018), Shirley
merupakan film biografi yang menghindari keklisean film biografi. Karena
meski karakternya adalah figur dunia nyata, serta diisi beberapa fakta, film
ini merupakan adaptasi novel berjudul sama karya Susan Scarf Merrell, yang
meski dilandasi kisah hidup novelis Shirley Jackson, tuturannya digiring ke
ranah fiksi.
Filmnya dibuka melalui perkenalan
kepada pasangan suami-istri baru, Fred (Logan Lerman) dan Rose (Odessa Young),
yang hendak tinggal sementara di rumah Shirley Jackson (Elisabeth Moss) dan sang
suami, Stanley Edgar Hyman (Michael Stuhlbarg). Fred sedang berusaha menggapai
mimpinya menjadi dosen di bawah bimbingan Stanley. Awalnya semua nampak
baik-baik saja, tatkala Fred dan Rose mendapat sambutan hangat. Hingga mereka bertemu
Shirley.
Shirley bukan sosok ramah. Dia
lebih banyak menghabiskan waktu di kamar dalam kondisi mabuk, belum memiliki
ide untuk karya terbaru, dan saat ada seseorang bertanya, “Apa buku terbarumu?”,
ia menjawab, “A little novella called
NONE OF YOUR GODDAMN BUSINESS”. Setelahnya, kita pu tahu jika Stanley, di
balik status cendekiawan serta senyumnya, adalah pria tukang selingkuh yang
selalu berusaha menancapkan kuasanya atas sang istri.
Ketika Shirley berkata ingin
menulis novel alih-alih novella, Stanley merespon, “Kamu belum siap”. Pun setiap
karya Shirley wajib melewati review-nya.
Sosok Stanley mewakili superioritas “suami intelektual” terhadap istri yang jamak
terjadi pada era 1950-an (bahkan sampai sekarang) selaku latar filmnya.
Superioritas tersebut ditanamkan lewat manipulasi pikiran, di mana para pria, melalui
kontrol-kontrolnya berusaha menegaskan kalau wanita tak lebih pintar, sehingga
harus melewati persetujuan mereka jika ingin melakukan apa saja.
Rose akhirnya ikut jadi korban ketidakadilan.
Stanley memintanya berhenti berkuliah guna melakukan pekerjaan rumah, yang mana
tak sanggup dilakukan Shirley. Walau sempat keberatan, sebagai bentuk dukungan
atas ambisi Fred, ia akhirnya menurut. Dari situlah Rose mulai banyak
berinteraksi dengan Shirley di rumah, khususnya setelah si novelis menciptakan
karakter berdasarkan dirinya.
Selain sosok Rose selaku pondasi
karakter, novel terbaru Shirley (berjudul Hangsaman,
terbit tahun 1951) juga terinspirasi kasus hilangnya mahasiswi bernama
Paula. Shirley adalah antisosial, sehingga dia butuh bantuan Rose mengumpulkan
data-data mengenai kasus Paula, entah dari arsip di kampus, maupun kesaksian
warga. Aktivitas itu membawa Rose mendengar pergunjingan erkait Shirley. Ada
yang menyebutnya gila. Ada yang percaya ia menulis cerita tentang kanibal. Masalahnya,
semua informasi itu selalu dibumbui “Katanya”. Naskah buatan Sarah Gubbins
menyelipkan ironi, bagaimana publik menjauhi Shirley berdasarkan kabar burung
yang dipercaya sebagai realita, sementara sang novelis, yang dipandang amat
buruk, justru mau repot-repot mencari fakta “hanya” untuk melahirkan fiksi.
Decker dan Gubbins menggarap Shirley layaknya penghormatan,
mengemasnya sesuai gaya sang novelis. Meski berupa drama beraroma quasi-biografi,
Shirley kental nuansa horor berkat
musik eerie buatan Tamar-kali (Mudbound, The Assistant), pula visual-visual
atmosferik termasuk beberapa sekuen nightmarish,
yang sesekali menyertakan darah dan sedikit jump
scare. Nuansa yang bukan cuma mencerminkan kekhasan karya Shirley, pula psikisnya.
Moss menghidupkan sosok Shirley yang penuh kecemasan, seolah dapat meledak
kapan saja. Di sisi lain, Young membawa Rose terombang-ambing di garis batas keluguan
dan kesadaran terhadap kenyataan.
Penyutradaraan Decker turut
bersinar sewaktu menangani romantisme, yang secara alamiah bergerak ke
sensualitas. Satu adegan paling berkesan adalah saat Rose menghampiri Shirley yang
sedang duduk di kursi ayun. Kamera berfokus pada bagian bawah tubuh keduanya
yang pelan-pelan mendekat. Decker membangun sensualitas intens tanpa
mengeksploitasi seksualitas murahan, membuktikan bahwa female gaze cenderung lebih elegan dalam membungkus situasi semacam
ini.
Punya karakter penulis novel, menjadi
wajar ketika Shirley tak luput
membahas perihal penciptaan karya. Paparan seputar kreativitas dalam proses
menulis yang melelahkan otak dan hati, jadi puncak dinamika. Sehingga saat
cerita sejenak berhenti mengeksplorasi persoalan tersebut, ditambah time jump dadakan sekitar satu tahun, Shirley sempat kehilangan daya cengkeram
sekaligus elemen pembeda dari kebanyakan drama.
Sampai kita tiba di babak akhir. Diawali
oleh kesadaran Rose atas rahasia yang sudah Shirley ketahui (dan penonton
curigai), kita digiring menuju adegan menegangkan berlatar sebuah tebing.
Kemudian konklusi yang bakal menyulut diskusi dan kebingungan pun menyusul.
(SPOILER STARTS) Ada beberapa poin yang mungkin filmnya ingin sampaikan
melalui ambiguitas konklusinya: 1) Bagaimana penulis memproyeksikan imajinasi
ke dalam realita; 2) Proses seorang penulis memikirkan opsi ending, yang mengharuskannya memilih
antara gambaran ideal penuh harap atau realita kelam; 3) Metafora proses
individu “membunuh” dirinya yang lama sebelum bertransformasi menjadi sosok
yang baru.
Tapi yang bagi saya lebih ambigu
justru adegan penutupnya. Setelah menghabiskan sepanjang durasi
mempresentasikan cerita empowering,
kenapa Shirley bahagia mendengar pengakuan sang suami yang menyebutnya jenius? Apakah
suatu inkonsistensi? Atau justru paparan pahitnya realita? Bahwa akhirnya,
tidak peduli seberapa ingin wanita merdeka, dunia masih memaksa mereka menerima
ketidakadilan. Berbeda dengan twist tentang
Rose, ambiguitas poin ini justru mengurangi ketegasan pesannya. (SPOILER ENDS).
Available on HULU
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar