REVIEW - SLAY THE DRAGON
Penonton di luar Amerika Serikat mungkin akan bertanya mengenai bisa atau tidaknya kita menikmati Slay the Dragon, yang bahkan dibandingkan beberapa dokumenter bertema politik lain, punya pokok bahasan jauh lebih asing. Knock Down the House (2019) contohnya, yang meski diisi tetek bengek pemilu, cenderung mengedepankan soal women’s empowerment. Sedangkan film garapan Barak Goodman dan Chris Durrance, walau mengusung tema universal terkait demoktrasi, secara khusus menelusuri praktek gerrymandering.
Sejak film dibuka, musik gubahan Gary Lionelli langsung menyerbu telinga penonton dengan orkestra bak dari film suspense, yang seolah menegaskan tingginya urgensi isunya. Tapi sekali lagi, bisakah penonton di luar Amerika memahami urgensi tersebut? Sebab, jangankan definisi gerrymandering, pemahaman akan sistem pemilu dan atmosfer politiknya saja belum tentu dimiliki. Bahkan filmnya sendiri memperlihatkan bahwa masih banyak warga lokal tak mengerti soal itu.
Di sinilah kualitas penceritaan filmnya teruji. Layaknya pengajar yang tak hanya pintar untuk diri sendiri, namun piawai membagikan ilmunya dengan orang lain, Slay the Dragon mampu menjabarkan gerrymandering secara ringkas dan jelas, berkat narasumber yang jago menyusun kalimat ditambah visualisasi tepat guna. Bukan cuma tentang “apa”, alasan praktek itu merupakan kecurangan yang melukai demokrasi pun tersampaikan dengan baik.
Penjelasan lengkapnya dapat anda simak langsung dari filmnya, tapi secara singkat, gerrymandering adalah praktek membagi batas-batas daerah pemilihan dengan tujuan mencari keuntungan bagi partai politik tertentu, yang terjadi 10 tahun sekali, sewaktu tiap negara bagian di Amerika Serikat melakukan redistricting. Melalui gerrymandering, pihak pemegang kuasa bisa memastikan, bahwa di pemilu berikutnya, kemenangan tetap jadi milik mereka.
Istilah “gerrymandering” dipakai setelah pada 1812, gubernur Massachusetts, menetapkan peta baru yang berbentuk seperti seekor salamander. Selepas kemenangan Barrack Obama di pemilu 2008, praktek itu menggila, setelah pihak Partai Republik yang tersudut, menjalankan proyek REDMAP. Pembagian daerah pemilihan pun semakin absurd. Ada yang berbentuk seperti naga (asal judul film ini), hingga salah satu yang paling aneh, Goofy menendang Donal Bebek. Rupanya itu hanya awal.
Selain gerrymandering, Republik menerapkan metode-metode lain guna memperkecil peluang Demokrat, termasuk menerbitkan aturan yang mengharuskan pemilih memiliki Voter Id. Hasilnya adalah kemenangan Trump di pemilu 2016. Sebanyak 45.000 orang di Wisconsin tak diperbolehkan memilih, yang memberikan kemenangan bagi Trump di negara bagian tersebut, di mana ia mengantongi 22.000 suara.
Masih banyak setumpuk fakta lain disediakan oleh Slay the Dragon, menjadikannya dokumenter informatif, yang bakal membuat penonton awam, khususnya dari luar Amerika Serikat tercengang. Kita tahu kalau politik, termasuk pemilu, dipenuhi intrik kotor, tapi membawa penonton mengetahui sejauh dan sesistematis apa intrik tersebut jadi keunggulan Slay the Dragon. Walau harus diakui, kemungkinan besar tak semua bakal tertampung mengingat begitu banyaknya data hadir dalam waktu singkat, ditambah sekat kultural (baca: budaya politik) yang membatasi proses pengolahan informasi.
Selain informatif, Slay the Dragon juga ingin menjadi dokumenter inspiratif dengan memaparkan perjuangan Katie Fahey, aktivis asal Michigan yang getol menjalankan kampanye akar rumput untuk mengakhiri gerrymandering, bersama organisasi Voters Not Politicians (VNP) yang ia dirikan. Harapannya, perjalanan VNP dari riak kecil yang diragukan mampu mengumpulkan 350.000 tanda tangan di petisi menjadi aksi berskala nasional yang mengguncang sistem korup, dapat menggerakkan hati penonton melalui pesan “Suara rakyat akan menang”.
Tapi ada satu poin penting yang filmnya lupakan. Disebutkan jika VNP sukses membalikkan prediksi pengamat, di mana mayoritas meragukan kapasitas mereka. Pertanyaannya: Bagaimana? Saat bahkan banyak masyarakat belum mengetahui arti gerrymandering, bagaimana kesuksesan itu berhasil digapai? Slay the Dragon memaksa penonton menerima “keajaiban” itu sebagai suatu pencapaian inspiratif, di saat hal itu bukanlah keajaiban. Ada banyak detail yang memerlukan pemahaman. Tapi selaku tontonan penambah pengetahuan, film ini jelas layak disimak.
Available on HULU
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar