FFD 2020 - BANYAK AYAM BANYAK REJEKI
Awalnya Banyak Ayam Banyak Rejeki bak
hendak menjadi mockumentary Borat-esque mengenai fenomena
poligami di Indonesia. Lucu, menghibur, kreatif, pula groundbreaking, sebab
sejauh pengetahuan saya, belum ada film panjang lokal yang menerapkan
pendekatan serupa. Hingga seperti banyak suguhan alternatif dalam negeri lain,
hasrat tampil beda (baca: edgy) membawa filmnya kehilangan arah serta
substansi.
Konon, duo sutradara Riboet Akbar dan Önar
Önarsson berniat mewawancarai figur pelaku poligami asli dari Yogyakarta, yang
dikenal sebagai pebisnis ayam goreng sukses dan mempunyai tiga istri. Tapi
wacana tersebut urung dilakukan, akibat mengalami penolakan dari sang subjek.
Jadilah Banyak Ayam Banyak Rejeki mengambil bentuk lain, meski premis
kisahnya tetap sama.
Setelah menerima saran dari sang guru
spiritual, Arjun memutuskan berhenti menjadi guru untuk membuka warung ayam
goreng bernama Kaliurang Fried Chicken (KFC). Saat itu ia telah memiliki
seorang istri. Tapi setelah beberapa waktu, bisnisnya stagnan. Kembalilah Arjun
menemui si guru, dan mendapat saran berikutnya, yakni untuk menikah lagi. Arjun
pun menikah untuk kali kedua…..kemudian kali ketiga…..kemudian kali keempat. Benar
saja, usahanya sukses besar. Tapi benarkah itu merupakan bentuk rejeki berkat
menikahi lebih dari satu wanita?
Mengamati deretan wawancaranya, mudah
menyimpulkan bahwa semua ini bukan realita. Aktingnya dibuat konyol, pun
kalimat-kalimat dari mulut “narasumbernya”. Nampaknya itu suatu kesengajaan
demi memperkuat kelucuan, yang mana berhasil. Apalagi saat dibarengi humor-humor
“gojek kere” khas Yogyakarta. Mulai dari lagu bernuansa Arab dengan
lirik “Muhammad Ali, si jago tinju”, berbagai desain grafis yang sengaja
dibuat murahan, hingga fakta bahwa di fotonya, istri pertama Arjun mengenakan
pakaian terbuka walau berjilbab.
Sejatinya di fase ini, ambisi untuk menjadi senyeleneh
mungkin sudah tercium, dan itu memunculkan distraksi. Ambil contoh lelucon
tak perlu ketika wawancara sedang dilakukan, sementara di belakang karakternya
terdapat televisi yang menampilkan adegan ayam sedang kawin. Kekonyolannya tak
perlu sejauh itu. Tapi paruh awalnya tidak pernah kehilangan ketajaman
sentilannya, yang bakal membuat penonton mengutuk Arjun sembari menertawakannya.
Sang pelaku poligami digambarkan sebagai figur karikatur yang memakai agama
sebagai tameng. Tidak ada cara lebih baik untuk menggambarkan sosok-sosok macam
itu selain sebagai badut.
Apa sebenarnya rahasia kesuksesan Arjun?
Saya setuju. Kesuksesan itu didasari poligami. Tapi bukan berkat “rejeki Tuhan”,
melainkan karena Arjun memperlakukan istri-istrinya bak pembantu, mengharuskan
mereka pulang-pergi mendorong gerobak, sementara ia duduk nyaman di mobil
mewah. Pun istri kedua Arjun adalah yang berjasa menyebarkan informasi tentang usahanya, sewaktu memanggil salah
satu teman wartawannya, yang berujung menulis ulasan positif di koran bagi KFC.
Saya sudah siap menumpahkan puja-puji
setinggi mungkin kepada Banyak Ayam Banyak Rejeki meski tersimpan
beberapa kekurangan. Sampai absurditas yang didorong ambisi “tampil edgy”
mengambil alih, berujung melemahkan suara film ini. Narasi menjadi stagnan
tatkala keanehan tak perlu terus bertambah, termasuk subplot kental humor meta
seputar dua sineas (Riboet Akbar dan Önar Önarsson) yang direkrut untuk
membuatkan film bagi Arjun. Mungkin kedua sineas ingin bermain-main dengan
konsep realisme, hanya saja dilakukan secara berlebihan sampai membuat filmnya
sendiri seolah lupa memijak realita.
Banyak Ayam Banyak Rejeki adalah quasi
dokumenter, sehingga (seperti Borat) cara terbaik untuk mempertahankan
realisme adalah dengan menabrakkan elemen fiksi ke latar dunia nyata. Film ini
melakukannya, tapi dengan kuantitas amat minimum yang tak menghasilkan dampak
berarti bagi keseluruhan narasi. Ditambah lagi, beberapa “adegan rekayasa”
miliknya tampil canggung. Ketimbang membenturkan kepalsuan dan realita, Banyak
Ayam Banyak Rejeki memilih memalsukan realita.
Memasuki babak akhir, penceritaannya makin
berantakan setelah kisahnya melompat 11 tahun, sewaktu fokusnya berpindah
mengkritisi isu lain, yang sebenarnya dapat dikaitkan dengan poligami (khususnya
perihal gender), tapi penyusunan narasinya tak memfasilitasi itu. Sayang
sekali, padahal saya ingin merayakan film yang berani bereksperimen sambil
mengangkat isu penting ini.
Available on ffd.or.id (November
25 - December 14)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar