REVIEW - SOUND OF METAL
REVIEW INI MENGANDUNG SPOILER
Apa yang anda
bayangkan tiap mendengar sebutan “musisi metal”? Rasanya tidak jauh dari rambut
gondrong, tato, gaya hidup rock ‘n roll,
hingga sosok gahar, bahkan menyeramkan. Kesan yang muncul karena persona macam
itu kerap dipilih oleh para musisi cadas. Sehingga menarik saat melalui Sound of Metal yang ia tulis naskahnya
bersama adiknya, Abraham Marder, sutradara Darius Marder justru menampilkan hal
sebaliknya, yakni sewaktu musisi metal berada dalam fase paling rapuh nan penuh
ketidakberdayaan. Sewaktu sang musisi tak lagi mampu mendengar kebisingan yang identik
dengan hidupnya.
Ruben (Riz Ahmed)
merupakan penabuh drum duo metal Blackgammon, di mana kekasihnya, Lou (Olivia
Cooke), menjadi vokalis. Ruben selalu bangun pagi, membuat jus sehat untuk
sarapan sembari memutar musik delta
blues. Kemudian setelah Lou membuka mata, keduanya berdansa diiringi lagu
romantis. Marder Bersaudara nampaknya memang ingin mendobrak
stereotip-setereotip di atas.
Hingga telinga Ruben berdenging keras, dan sejak itu pendengarannya menurun
dengan cepat. Dokter menyebut bahwa kini Ruben hanya bisa mendengar 20-30%
suara, dan itu bakal segera memburuk. Terdapat opsi memasang implan koklea,
namun biayanya begitu tinggi, pun tidak ditanggung asuransi. Momen kali pertama
Lou mengetahui kondisi kekasihnya, dikemas mengharukan oleh Darius, tanpa perlu
pernak-pernik dramatisasi, membuktikan kapasitasnya membangun emosi lewat
visual (selain tentunya suara, yang nanti akan saya bahas).
Berkat bantuan
seorang kawan, Ruben dan Lou menemukan sebuah komunitas khusus orang tuli di
area pedesaan, yang dijalankan oleh Joe (Paul Raci), yang kehilangan
pendengarannya akibat ledakan bom kala Perang Vietnam. Joe menyarankan agar
Ruben menetap sementara waktu di sana. Bukan untuk penyembuhan, melainkan
belajar hidup tanpa indera pendengaran. Ruben meragu, karena di sana, ia harus
mengisolasi diri dari dunia luar, yang artinya, berpisah dengan Lou, yang mesti
melanjutkan tur seorang diri.
Di komunitas
tersebut, tanpa disadari, Ruben melakukan perjalanan mencari kedamaian, ketika
dituntut menghabiskan waktu dengan berdiam diri, atau melakukan hal-hal “remeh”
seperti belajar bahasa isyarat, atau bermain bersama anak-anak sesama tuna
rungu. Indahnya ketenangan adalah apa yang bakal ia dapat, tapi tentu saja
proses itu begitu sulit bagi Ruben, yang terbiasa akan kebisingan dan keriuhan
musik.
Kondisi
protagonisnya diwakili oleh tata suara luar biasa, yang berpeluang besar mendaratkan
nominasi Oscar bagi Sound of Metal. Acap
kali suara diredupkan, guna menempatkan kita di posisi Ruben. Bahkan nantinya saat
Ruben telah dipasangi implan, seperti apa suara yang dihasilkan implan tersebut
juga direka ulang oleh film ini. Walau saya yakin ketepatannya tidak 100%,
elemen itu membantu agar penonton tidak dihadapkan pada kondisi abstrak,
sehingga dapat ikut merasakan dan memahami kekecewaan, amarah, dan frustrasi
dalam benak sang protagonis.
Dari situ saya
dibuat mendukung penuh perjalanan Ruben, alhasil kala akhirnya ia mulai bisa
beradaptasi, dan memperlihatkan senyum bahagia yang tulus, ada keharuan yang
muncul. Sudah pasti performa Riz Ahmed turut berperan. Akting non-verbalnya
memaparkan rasa-rasa yang dapat penonton resapi serta pahami. Tatkala Ruben
akhirnya menguasai “seni” menerima dan merelakan, di situlah Sound of Metal mencapai puncak emosinya.
Saya pun bersyukur Marder Bersaudara menyelipkan konflik romansa secara tepat
guna, tanpa kompleksitas berlebih, yang berujung menguatkan kesan bittersweet filmnya. Tidak ada perselingkuhan,
tidak ada kekasih jahat, hanya dua manusia yang berusaha menerima, bahwa
setelah terpisah beberapa lama, mereka telah menjadi orang yang berbeda.
Available on PRIME VIDEO
4 komentar :
Comment Page:bro buat daftar pendek film terbaik se-2020 dong. buat nonton nih
Riz Ahmed oscar worthy nih, Bang?
Soon 👍
Besar banget peluang dapet nominasi. Tapi piala mungkin Chadwick yang dapet
Posting Komentar