REVIEW - SYLVIE'S LOVE
Sylvie’s Love adalah throwback ke era Golden Age Hollywood. Bukan cuma karena aspek teknisnya, di mana
sutradara Eugene Ashe (juga menulis naskah) memakai visual grainy, pula melakukan pengambilan gambar di soundstage guna menghasilkan latar artificial namun memikat mata khas romansa-romansa klasik. Jiwa
film ini pun “sangat Golden Age”.
Sebuah romansa berlatar tahun 1950an sampai 1960an, di mana cinta terasa luar
biasa, seolah merupakan segalanya. Di antara romansa modern, kesan serupa dimiliki
oleh A Star is Born (2018), yang mana
film aslinya juga berasal dari era tersebut (1937).
Hanya ada satu
perbedaan. Golden Age takkan memberi
tontonan bertema black love. Bahkan
hingga kini, di mana masih sulit menemukan cerita cinta kulit hitam yang tak
dijejali persoalan rasial maupun trauma-trauma kemanusiaan lain. Seperti
judulnya, Sylvie’s Love semata
bertutur tentang cinta milik Sylvie Parker (Tessa Thompson), yang sembari bekerja
di toko musik ayahnya, terus menggantungkan cita-cita menjadi produser acara
televisi. Di situ ia bertemu Robert Halloway (Nnamdi Asomugha) yang melamar
pekerjaan di toko tersebut.
Ketertarikan
segera timbul di antara mereka. Karisma Robert, yang juga seorang pemain
saksofon di sebuah kuartet jazz, segera memikat Sylvie. Masalahnya Sylvie sudah
bertunangan. Berbeda dengan Robert yang hanya bermusik secara reguler di kelab,
calon suami Sylvie, Lacy (Alano Miller), adalah pengusaha sukses dari keluarga
kelas atas. Adegan pembukanya menunjukkan bahwa Sylvie dan Robert sempat
berpisah sejak pertemuan pertama keduanya itu. Tapi apakah perpisahan juga
menjadi akhir kisah mereka?
Jika akrab dengan sederet
tontonan klasik yang selalu menempatkan cinta protagonisnya dalam ujian besar, anda
takkan terkejut ketika mengetahui Sylvie dan Robert sempat menjalani hidup
sendiri-sendiri selama lima tahun. Robert merintis kesuksesan bersama bandnya,
sedangkan Sylvie memulai karir di industri televisi, sembari menjalani peran
sebagai istri dan ibu. Pada titik itu, naskah buatan Ashe mampu membuat
penonton memahami berbagai masalah serta pencapaian dalam karir dua tokoh utama,
tanpa harus menenggelamkan kisah cinta selaku fokus utama.
Dan seperti telah
disebutkan, Sylvie’s Love menjauh
dari tuntutan memasukkan konflik sosial. Sebagai jendela realita, sedikit
rasisme kasual memang perlu diselipkan, misal saat istri dari partner bisnis
Lacy berkata pada Sylvie, “I couldn’t
tell that your husband is a n**** on the telephone. He has such a good diction”.
Tapi di luar itu, Sylvie’s Love sepenuhnya
memperlihatkan dua manusia tengah memperjuangkan cinta mereka.
Musik gubahan Fabrice
Lecomte memperkuat nuansa jazzy, sambil
sesekali berpindah ke orkestrasi megah setiap terjadi peningkatan intensitas
emosi. Dua aktornya pun demikian. Tessa Thompson bergerak bak irama jazz yang
mengalun penuh rasa, sedangkan Nnamdi Asomugha dengan suara berat dan ekspresi
wajahnya, mendefinisikan ungkapan “feeling
blue”. Keduanya menjalin chemistry kuat,
membuat saya tak peduli soal keklisean yang tetap dipertunjukkan filmnya (contoh:
adegan kesalahpahaman seorang karakter yang menyaksikan kekasihnya bermesraan
dengan orang lain dari jauh). Afterall,
this is a throwback to romance from yesteryear. Clichéness is a must.
Available on PRIME VIDEO
5 komentar :
Comment Page:ya bang film jaman sekarang apalagi temanya/pemainnya kulit hitam pasti ada unsur politiknya.
bang suka nonton film eropa gak minta rekomendasinya dong tapi yang anti mainstream/yang gak terlalu terkenal
underrated gitu bang
sama yang film asianya juga dong bang hehehe.
Eropa, coba aja felem-felem Bela Tarr. Kalo Asia punya Noboru Iguchi & Yoshihiro Nishimura. Jaminan antimainstream itu
Bang Rasyid, pliiissssssssssssss review film paling edan tahun ini dong... "PROMISING YOUNG WOMAN"
Film bertema balas dendam (feminisme-ish) dengan jalan cerita paling unpredictable, apalagi membahas endingnya yang paling kontroversial itu.
7/10 dari aku pribadi. Hihihi
Masih nunggu rilis resmi di ott ini
Posting Komentar