REVIEW - MIDNIGHT SUN

Tidak ada komentar

Film adalah keajaiban. Proyek Midnight Sun digagas berdasarkan semangat, bahwa film mampu meniadakan kemustahilan. Manusia dibawa mengarungi seisi semesta termasuk dunia-dunia asing di luar angkasa, melakukan perjalanan waktu, memiliki kekuatan super, menghidupkan lagi dinosaurus, dan sebagainya. Jadi mengapa tidak dipakai menghapus sekat ruang dan waktu?

Dibanding film, pertunjukan panggung memiliki lebih banyak batasan. Tentu sulit bagi para pemain dan kru untuk menggelar pementasan di berbagai belahan dunia setiap hari, di berbagai jam. Di sini, film berperan sebagai medium penghapus batasan itu. Midnight Sun merupakan musikal yang ditayangkan di bioskop, dari Kwanglim Arts Center secara langsung. Di era pandemi tatkala sekat-sekat bertambah, teknik ini terasa lebih bermakna. 

Menurut rilis resminya, Midnight Sun diadaptasi dari film romansa Hong Kong rilisan 1993. Konon film itu menginspirasi A Song to the Sun (2006) asal Jepang, sebelum dibuat versi Hollywood yang berjudul Midnight Sun (2018). Saya tidak menemukan film Hong Kong yang dimaksud, tapi biarlah. Lagipula, daya tarik terbesar musikal ini (selain model penayangannya) bukanlah sumber adaptasinya, melainkan keterlibatan deretan idol seperti Onew (SHINee), Wonpil (Day6), Young-jae (GOT7), Baekho (NU'EST), sampai Kei (Lovelyz). Saya kebagian versi yang menduetkan Wonpil dan Lee A-jin (aktris musikal). 

Kisahnya tidak jauh-jauh dari tearjerker bertema penyakit, mengenai Haena (Lee A-jin), yang akibat sebuah penyakit, tidak bisa terkena sinar matahari. Jadilah ia selalu sendirian di malam hari. Kebahagiannya datang dari dua hal: bernyanyi sembari memainkan gitar di stasiun, dan memandangi pujaan hatinya dari jauh. Si pujaan hati itu bernama Haram (Wonpil), yang hampir tiap hari menghabiskan waktu berselancar bersama teman-temannya. Akhirnya mereka tidak sengaja berkenalan, saling jatuh cinta, dan tanpa harus menonton versi-versi sebelumnya, anda pasti bisa menebak bakal bergerak ke mana melodrama ini. 

Mari sejenak kesampingkan cerita. Berhasil atau tidaknya Midnight Sun menciptakan "immersive experience" jauh lebih penting. Saya tidak tahu kualitas suara Kwanglim Arts Center (pastinya superior dibanding gedung pertunjukan di sini), namun tata suara bioskop jelas memadai, minimal agar musik gubahan Han Boram tidak kehilangan kekuatannya. Penonton akan tergelak menyaksikan nomor komedik saat teman-teman Haena dan Haram memata-matai muda-mudi yang tengah jatuh cinta itu, lalu dihantam haru mendengar ayah Haena mengutarakan cintanya pada sang puteri lewat sebuah power ballad. 

Sayang departemen visualnya tidak demikian. Sisi magis khas pertunjukan panggung, baik berupa permainan cahaya maupun pergantian latar digital, kerap gagal ditangkap. Entah karena kurang presisinya timing penyuntingan, atau akibat sudut kamera yang tak mendukung keunggulan elemen-elemen di atas panggung. Contohnya sewaktu Haena "dikejar" oleh cahaya matahari yang baru terbit. Kim Ji-ho selaku sutradara berusaha membangun intensitas melalui eksplorasi lampu dan warna, yang mana hanya akan maksimal bila direkam menggunakan wide shot. 

Tapi satu keunggulan dari menontonnya lewat layar lebar terkait visual adalah, detail-detail kecil, khususnya ekspresi pemain, nampak lebih jelas, yang akhirnya meningkatkan dampak emosi. Kemampuan tarik suara Wonpil tidak usah diragukan lagi, namun di antara jajaran cast, Lee A-jin jadi yang paling sering mengobrak-abrik perasaan. Pengambilan gambar secara close-up memungkinkan penonton melihat kecanggungannya, senyum bahagianya, juga matanya yang berkaca-kaca kala tersentuh oleh berbagai cara Haram menyampaikan cinta. 

Masih ada dua kali pemutaran pada 29 Mei (pukul 11:40 WIB menampilkan Baekho dan Lee A-jin, lalu pukul 16:10 WIB menampilkan Young-jae dan Kei). Apakah tiket seharga 250 ribu rupiah pantas dibeli? Tentu. Baik bagi penggemar nama-nama di atas maupun penonton kasual, Midnight Sun merupakan event yang patut disimak.

Tidak ada komentar :

Comment Page: