REVIEW - CONCRETE COWBOY

Tidak ada komentar

Ada kemiripan antara debut penyutradaraan Ricky Staub ini, dengan Nomadland. Sama-sama mengangkat komunitas yang terpinggirkan oleh zaman (serta ketidakadilan sosial), keduanya turut menampilkan figur nyata dari tiap komunitas, sebagai pemeran pendukung guna memperkuat kesan organik. Pertanyaan "Kenapa tidak sekalian membuat dokumenter saja?" pun muncul. Bedanya, di karya ChloĆ© Zhao, keberadaan protagonis fiktif berfungsi menambah keintiman, sedangkan di Concrete Cowboy, justru memunculkan distraksi, pula menghalangi penelusuran lebih dalam.

Di awal, kita diperkenalkan pada Cole (Caleb McLaughlin), remaja 15 tahun yang amat sering bikin onar di sekolah, sampai sang ibu (Liz Priestley) menyerah, dan memaksanya tinggal bersama sang ayah, Harp (Idris Elba), yang telah bertahun-tahun tak dia temui. Harp yang tinggal di Philadelphia Utara, merupakan bagian Fletcher Street Urban Riding Club, sebuah komunitas yang mengemban misi melestarikan budaya koboi kulit hitam.

Ya, Concrete Cowboy yang dibuat berdasarkan novel Ghetto Cowboy karya Greg Neri, memotret kultur yang bukan cuma terlupakan, namun bak dihapus dari catatan sejarah akibat rasisme sistemik. Ditemani api unggun, kita mendengar penjelasan para anggota asli letcher Street Urban Riding Club. Tidak lupa tindak whitewashing Hollywood dibahas, yang berujung mengidentikkan "film koboi" dengan maskulinitas kulit putih, mengesampingkan person of color, baik Indian yang kerap digambarkan sebagai antagonis primitif nan brutal, maupun penghapusan eksistensi koboi kulit hitam. Padahal seperti disebutkan salah satu karakter film ini, realitanya, sebagai korban penindasan, koboi kulit hitam malah lebih tahu cara merawat kuda menggunakan kasih sayang.

Obrolan menarik sekaligus informatif tersebut sayangnya cuma berlangsung sejenak. Padahal ada segunung mater yang dapat memfasilitasi lahirnya tuturan panjang, baik berupa narasi fiksi maupun dokumenter. Naskah yang ditulis Staub bersama Dan Walser sebatas berhenti pada tataran permukaan, enggan mengajak penonton memahami lebih lanjut perihal sederet persoalan kompleks, termasuk soal gentrifikasi dan kelayakan habitat bagi hewan. 

Sebagai gantinya, kisah coming-of-age klise lebih dominan. Kita tahu bahwa kelak hubungan Cole dan Harp tak lagi renggang. Kita juga tahu bagaimana pertemanan Cole dengan Smush (Jharrel Jerome), mantan koboi yang banting setir jadi pengedar narkoba, berakhir. Masalah bukan terletak pada keklisean, melainkan betapa keklisean itu menghalangi ruang pengembangan bagi kisah yang jauh lebih menarik dan mengandung relevansi tinggi. 

Bahkan penuturan formulaik itu tidak tersaji maksimal. Proses Cole menemukan kedewasaan sama sekali tidak meyakinkan, terutama karena adanya unsur "child prodigy". Cole bak anak ajaib. Tidak pernah sekalipun menjalani hidup sebagai koboi, tiba-tiba ia jadi satu-satunya orang yang mampu menjinakkan kuda terliar di kota. Sementara hubungannya dengan sang ayah gagal menghadirkan dampak emosional sesuai harapan, tatkala Cole dan Harp amat jarang terlibat interaksi. Tidak peduli sehebat apa pun Idris Elba (yang seperti biasa tampil karismatik), memberinya satu-dua momen saja tidaklah cukup.

Straub membuktikan bahwa sebagai sutradara, ia menyimpan banyak potensi. Warna-warna senja dalam sinematografi Minka Farthing-Kohl yang menemani aktivitas menunggang kuda, pengadeganan serta pergerakan alur yang ditangani penuh kelembutan, adalah beberapa contoh sensitivitas Straub dalam membungkus filmnya. Sayang, ia mencurahkan sensitivitas bagi materi yang pada dasarnya memang sudah kehilangan arah.


Available on NETFLIX

Tidak ada komentar :

Comment Page: