REVIEW - THE MITCHELLS VS. THE MACHINES

4 komentar

Dwilogi Cloudy with a Chance of Meatballs, seri The Lego Movie, dan tentunya Spider-Man: Into the Spider-Verse, membuktikan bahwa keterlibatan Phil Lord dan Christopher Miller dalam kapasitas apa pun (sutradara dan/atau penulis naskah dan/atau produser), merupakan jaminan mutu film animasi. Penceritaan solid ditambah animasi unik sarat warna sekaligus kreativitas jadi ciri khas, termasuk pada The Mitchells vs. The Machines, salah satu produksi terbaik Sony Pictures Animation sejak, well, Spider-Man: Into the Spider-Verse tiga tahun lalu.

Petualangan keluarga disfungsional sama sekali bukan hal baru, begitu pula di ranah animasi. Baru tahun lalu kita disuguhi The Willoughbys (juga tayang di Netflix), sementara The Croods: A New Age termasuk satu dari segelintir judul yang meraup keuntungan finansial semasa pandemi. Pun berbeda dengan visualnya, naskah buatan Mike Rianda (juga bertindak selaku sutradara) dan Jeff Rowe memang tidak berusaha tampil beda, melainkan tampil baik.

Katie (Abbi Jacobson) merupakan puteri sulung keluarga Mitchell. Cita-citanya menjadi sineas, yang ditunjukkan dengan kegemarannya membuat film pendek bersama adiknya, Aaron (Mike Rianda), yang terobsesi kepada dinosaurus. Keduanya sama-sama merasa terasing. Tidak ada teman yang berbagi passion serupa, sedangkan sang ayah, Rick (Danny McBride), tampak tak peduli dan selalu mendorong mereka melakukan hal-hal bernuansa alam. Mesi ibunya, Linda (Maya Rudolph), sudah berusaha menengahi, Katie terlanjur jengah, tidak sabar menanti kepindahannya ke California, guna menuntut ilmu di sekolah film.

Bukannya Rick tidak coba memahami sang puteri, namun seperti banyak orang tua, hal yang dianggapnya wujud bantuan serta kasih sayang, malah makin menjauhkan si buah hati. Mungkin kita semua pernah mengalami itu, tatakala dibuat (tambah) kesal oleh "pertolongan" maupun "ungkapan kasih sayang" orang tua. Tiba-tiba Rick membatalkan penerbangan Katie ke California, demi melakukan perjalanan darat sekeluarga. Tentu perjalanan tersebut takkan berlangsung mulus, tapi tidak ada yang mengira bahwa rintangan terbesar datang dari serbuan robot. 

Di bawah pimpinan PAL (Olivia Colman), asisten virtual yang merasa dibuang oleh penciptanya, pasukan robot itu berencana menghapus populasi manusia, dengan cara menangkap, kemudian melontarkan mereka semua ke luar angkasa. Awalnya rencana itu berjalan lancar, saat semua orang berhasil ditangkap.....kecuali keluarga Mitchell. Ya, lebih dari tujuh miliar manusia di bumi, cuma empat orang aneh yang mampu lolos. Susah dipercaya? Jelas. Dipaksakan? Ya. Tapi jika bersedia memaklumi itu, maka petualangan menyenangkan yang juga luar biasa emosional, telah menanti.

Acap kali, The Mitchells vs. The Machines tampil aneh, terkesan acak dan kacau (in a good way), bagai meme berdurasi 109 menit. "Deregulate Tapioca" jadi contoh terbaik. Semakin aneh, semakin asing, semakin terasa out of place, malah semakin menggelitik. Jiwa "humor internet" itu menunjang pendekatan Rianda dan Rowe, yang menekankan pada penceritaan visual. Khususnya komedi visual, yang penuh pernak-pernik unik khas video YouTube, hingga barisan referensi film (Gremlin, transisi ala Batman versi Adam West, dll.). 

Sangat kreatif, tapi keunggulan utama komedinya adalah soal kejutan. Beberapa muncul dalam bentuk sekaligus timing tidak terduga, yang menambah daya bunuhnya berkali-kali lipat. Sekali lagi, gaya tersebut selaras dengan semangat yang diusung meme, maupun segala jenis humor internet lain, yang pembuatannya kerap berpijak pada "element of surprise". 

Tapi berbeda dibanding meme yang semata bertujuan memancing tawa, film ini juga punya sensitivitas tinggi. Sebagaimana diungkap oleh sekuen kreditnya, The Mitchells vs. The Machines menyimpan coretan-coretan personal para pembuatnya. Rianda dan Rowe tahu betapa menyesakkan saat orang tua gagal memahami, mengapa ungkapan kasih mereka justru menyakiti anak. Sebaliknya, harus diakui bahwa seringkali anak tenggelam terlalu jauh dalam ego. Perasaan bersalah saat menyadari kesalahan serta egoisme sebagai anak pun tidak kalah menyesakkan.

Tidak mudah, baik bagi anak maupun orang tua, mengakui kesalahan masing-masing. Kata "maaf" seperti tertahan di dada. Saya pernah merasakan itu, anda pernah merasakan itu, begitu pula Rianda dan Rowe. Mungkin itulah alasan film ini dibuat, yakni untuk mengutarakan penyesalan sekaligus cinta, dengan cara membawa tokoh-tokohnya melewati petualangan yang menyatukan mereka. 

Presentasi drama The Mitchells vs. The Machines pun sejalan dengan humornya, yang dilandasi dua hal: meme dan ketidakterdugaan. Siapa sangka lagu Maya Hi, Maya Hu milik Crazy Frog yang kerap mengiringi kekonyolan internet, bisa dipakai membungkus puncak pertarungan umat manusia melawan robot? Siapa sangka juga, pertarungan itu bisa sangat emosional? Siapa sangka, di tengah semaraknya kekonyolan ala internet yang nyaris tak pernah diidentikkan dengan "hati", filmnya bisa membuat kita tertawa sambil menangis?


Available on NETFLIX

4 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Agreed, emang sebagus itu. Menurut mas film ini chance menang di Oscar bakal segede Spider-verse ga?

Rasyidharry mengatakan...

Masih harus nunggu Luca. Kalau cerita & visual sebagus Soul, rame ini kategori

CMIIW mengatakan...

Maaf sepertinya Maya-hu maya-hi itu bukan punya Crazy Frog.
Lagu aslinya oleh O-Zone judulnya Dragostea Din Tei, diaransemen / dinyanyikan ulang oleh Rihana.

Chan hadinata mengatakan...

Paling surprise pas adegan "kill bill" sih.. dapet bangetšŸ¤£šŸ¤£