REVIEW - NIGHT OF THE KINGS
Bersamaan dengan terbukanya gerbang penjara MACA, protagonis dari perwakilan Pantai Gading di Academy Awards 2021 ini (menembus 15 besar) melangkahkan kakinya di dunia baru. Demikian pula penonton, yang segera mendapati bahwa Night of the Kings menawarkan salah satu metode bertutur paling unik tahun ini. Sebuah heightened realism yang mengangkat soal kekuatan dari proses bercerita.
Ditulis sendiri naskahnya oleh sang sutradara, Philippe Lacôte, Night of the Kings mendesain MACA sebagai tempat, yang meski tampak luarnya tidak berbeda dibanding penjara kebanyakan, beroperasi bagai negeri dongeng. Tahanan memegang kendali, di mana satu sosok bergelar Dangôro, menjadi mimpinan layaknya raja. Blackbeard (Steve Tientcheu) adalah Dangôro yang tengah menjabat. Terdapat peraturan, jika Dangôro jatuh sakit sehingga dianggap terlalu lemah untuk memimpin, ia harus bunuh diri, sehingga tahta dapat diberikan kepada si penerus.
Walau sekilas tampak intimidatif, kondisi kesehatan Blackbeard makin menurun, termasuk harus membawa tabung oksigen ke mana pun ia pergi. Tapi ia menolak pasrah. Dalam upaya terakhir mempertahankan kekuasaan, Blackbeard menunjuk protagonis kita, seorang tahanan baru (Bakary Koné) untuk menjadi Roman, yang bertugas menyampaikan kisah di depan seluruh tahanan, ketika red moon menyinari malam. Belum genap satu hari di penjara, momen itu datang, memaksa Roman merangkai cerita secara mendadak.
Tentu Roman tidak boleh asal bicara, apalagi setelah Silence, satu-satunya penghuni kulit putih yang selalu menggendong seekor ayam (Denis Lavant berperan sebagai.....Denis Lavant), mengungkap rahasia, yang menjadikan aktivitas bercerita ini bak pertarungan menantang maut. Sederhananya, Lacôte menyampaikan betapa kuatnya "bercerita" (atau "ketajaman lidah") sampai bisa menentukan hidup dan mati seseorang.
Walau awalnya terbata-bata, akhirnya Roman menemukan pondasi ceritanya, yaitu tentang Zama King, seorang penjahat tersohor sekaligus ketua geng Microbes tempat Roman bergabung. Dia baru saja tewas akibat kemarahan massa, namun kisah Roman bukan saja soal kematian Zama, pula merambah masa kecilnya, sejak ia tumbuh di era kerajaan.
Dipenuhi elemen fantasi, dongeng Roman justru terdengar paling menarik sewaktu keajaibannya diserahkan pada imajinasi penonton, ketimbang benar-benar memperlihatkan aksi pertarungan ilmu sihir sebagaimana third act-nya, yang tampil agak konyol, termasuk akibat CGI ala kadarnya. Sebaliknya, saat kita menyaksikan pemandangan serupa realita namun dinarasikan secara hiperbolis bak dongeng mahadahsyat, di situlah filmnya mampu menghipnotis.
Apalagi tatkala sesekali cerita diinterupsi oleh tahanan yang bernyanyi, bicara layaknya aktor yang memainkan drama Shakespeare di atas panggung, atau tarian-tarian teatrikal yang memvisualisasikan narasi Roman. Melalui elemen-elemen tersebut, penyutradaraan Lacôte berhasil membangun nuansa magis, yang sekali lagi, menghipnotis. Seolah, malam itu para tahanan bukan semata berkumpul mendengar cerita, melainkan menjalankan ritual. Saking unik sekaligus menariknya dunia Night of the Kings, penonton mungkin bakal mengeluhkan kurangnya eksplorasi mitologi latarnya. Mengapa Roman harus bercerita saat red moon? Mengapa itu dianggap penting guna menjaga kekuasaan sang Dangôro?
Waktu berlalu, dan Roman dituntut terus melanjutkan cerita, sehingga ia pun kebingungan mesti menutupnya dengan cara apa. Ironisnya, kondisi serupa dialami Lacôte. Mencapai titik akhir, seolah Lacôte kehabisan ide, kemudian memilih konklusi generik yang terkesan menggampangkan. Tapi bahkan ending lemah itu tidak kuasa melemahkan kekuatan di balik keunikan Night of the Kings. Salah satu bentuk penuturan paling segar dalam beberapa waktu belakangan.
Available on KLIK FILM
1 komentar :
Comment Page:Army of the dead langsung sedot mas hehehe udah tayang di netflix soalnya, tinggal nunggu review mantul nya mas rasyid nih hahaha
Posting Komentar