REVIEW - OPERATION VARSITY BLUES
Seorang pria menjalankan bisnis kotor berupa jasa memasukkan anak-anak orang kaya ke universitas-universitas ternama di Amerika Serikat. Caranya (tentunya selain menyuap orang dalam) dengan memalsukan identitas para calon mahasiswa, menjadikan mereka "atlet gadungan", agar dapat diterima lewat jalur olahraga.
Paragraf di atas bukan premis film fiksi, melainkan peristiwa nyata, yaitu skandal yang dikenal sebagai "2019 college admissions bribery scandal". Dokumenter garapan Chris Smith (sineas di balik dokumenter Fyre: The Greatest Party That Never Happened) ini mengupas modus operandi sang pelaku, sekaligus melempar kritik kepada bobroknya sistem pendidikan Amerika (isu yang telah disasar banyak dokumenter).
Pelakunya bernama Rick Singer, dan sejak sekuen pembuka, filmnya langsung memberi gambaran soal bagaimana Singer menjalankan aksinya. Singer terlibat obrolan melalui telepon dengan klien (baca: orang tua calon mahasiswa), membicarakan besaran "sumbangan". Klien akan membayar sejumlah uang ke yayasan milik Singer dengan kedok donasi, lalu ia memberi garansi bahwa putera-puteri mereka bakal diterima di unversitas mana pun. Di sela-sela obrolan, kita melihat foto seorang bocah direkayasa. Wajahnya ditempel ke tubuh atlet polo air, sebagai "bukti" ia atlet sungguhan. Kenyataannya, bocah itu tidak pernah bermain polo air sepanjang hidupnya. Operation Varsity Blues seketika tampil mengikat sedari menit-menit pertama.
Apakah tidak muncul kecurigaan? Satu-dua pihak menaruh curiga, namun tidak ada berkedok konsultan bagi calon mahasiswa, selama dua dekade lebih, Singer amat rapi menjalankan aksinya. Klien tutup mulut, begitu pula para "orang dalam" selaku kaki tangan Singer. Bukan saja karena menerima keuntungan, mereka pun percaya, taktik ini dijamin berhasil dan aman.
Singer, sebagaimana disebutkan beberapa narasumber, memang salesman ulung. Kemampuan persuasinya luar biasa. Bahkan saat resumenya penuh kebohongan (mengaku bagian jajaran direksi Starbucks, menyebut perusahaannya memiliki cabang di seluruh dunia, dll.), ia mampu membuat itu seolah-olah suatu kenyataan.
Padahal perawakannya sama tak mencerminkan figur penipu, yang nampak dari adegan-adegan reka ulang, dengan naskah yang dibuat berdasarkan rekaman panggilan telepon Singer yang disadap FBI. Matthew Modine memerankan Singer di situ, dan melalui akting solid sang aktor, kita dapat mengobservasi sosoknya. Wajahnya keras, jarang tersenyum (bak gabungan Clint Eastwood dan Harrison Ford), namun tidak intimidatif. Ditambah cara bicara tertata, tenang, juga penuh keyakinan, bisa dipahami mengapa begitu banyak orang bersedia mengikutinya.
Operation Varsity Blues sebenarnya tidak menyuguhkan hal baru. Meski tak melulu berisi talking head, penggunaan reka ulang sama sekali bukan terobosan. Pun bermodalkan sedikit usaha, mudah menemukan detail kasusnya di internet, atau dengan kata lain, filmnya tak menawarkan tambahan informasi signifikan. Tapi Chris Smith, selaku pembuat dokumenter berpengalaman, tahu betul kekuatan mediumnya. Dokumenter yang baik tidak hanya berupa "kopian" berita. Melalui visualisasi rekaman telepon Singer, Smith membangun intensitas. Memberi daya tarik, supaya proses belajar penonton terasa dinamis, bahkan menghibur. Ibarat perkuliahan, ini merupakan kelas yang informatif sekaligus mengasyikkan.
Semakin jauh kasus dikupas, fakta-fakta mengejutkan semakin bermunculan. Entah terkait modus operandi Singer (salah satu yang paling keji adalah eksploitasi terhadap akses khusus bagi penderita disabilitas belajar, dalam pengerjaan tes SAT), maupun nama-nama yang terlibat.
Tentu Operation Varsity Blues mengutuk para pelaku kecurangan ini. Tapi filmnya tidak naif. Smith sadar betul kalau pangkal permasalahannya jauh lebih besar. Singer dapat beraksi karena buruknya sistem pendidikan. Kebusukan sistem yang telah begitu mengakar, hingga berkembang menjadi kultur. Kultur di mana kampus "terbaik" jadi primadona, bukan demi mengejar kualitas pendidikan, melainkan prestise (berasal dari bahasa Latin "praestigium", yang berarti "ilusi"). Prestise yang cuma bisa dikejar oleh para pemilik privilege. Prestise yang membentuk perspektif murid, bahwa agar sukses, mereka wajib diterima di universitas ternama. Bila gagal, tekanan hebat pun menimpa, yang berpotensi memicu gangguan mental. Konklusinya menyoroti itu. Operasi FBI ini hanya memangkas satu cabang. Selama sistem tak kunjung diperbaiki, "Singer-Singer lain", dengan metode yang mungkin berbeda, akan terus tumbuh.
Available on NETFLIX
3 komentar :
Comment Page:Next "the ice road" mas hehehe netflix lagi gencar gencarnya ngeluarin film
Gak nyoba review series HITAM yang ramai di perbincangkan bang?
Bg, My Octopus Teacher dong
Posting Komentar