REVIEW - CENSOR

2 komentar

Suatu peristiwa traumatik yang demikian mengguncang psikis, dapat memicu otak manusia untuk menghapus memori tentangnya. Sebuah mekanisme pertahanan diri selaku bentuk perlindungan. Tapi benarkah itu selalu melindungi? Apalagi saat hilangnya memori justru menimbulkan kebingungan, yang bukan tidak mungkin, bermuara pada guncangan mental lain. 

Melalui debut penyutradaraan layar lebarnya, Prano Bailey-Bond, yang juga menulis naskah filmnya bersama Anthony Fletcher, menghadirkan paralel antara kondisi psikologis tersebut, dengan proses penyensoran film, yang konon dilakukan guna melindungi penonton anak serta moral bangsa. Tapi sebagaimana hilangnya ingatan mengacaukan seseorang, pemangkasan adegan pun berpotensi besar merusak film tersebut. 

Protagonis kita bernama Enid (Niamh Algar), si wanita kaku nan tertutup, yang bekerja di lembaga sensor Inggris. Bukan di masa sekarang, melainkan sekitar 1980-an, kala horor-horor eksploitasi yang dikategorikan sebagai "video nasty" tengah menjamur. Enid amat patuh pada peraturan, memotong adegan yang ia rasa tak pantas, sebab ia meyakini, bahwa pekerjaan ini dilakukan demi melindungi orang-orang.

Enid setiap hari menyensor film, namun ada hal lain yang juga terkena sensor: memorinya. Enid tidak ingat apa yang sebenarnya terjadi, kala adiknya, Nina, dahulu hilang di hutan. Apakah Nina tersesat? Diculik? Atau malah tewas di tangan Enid sendiri? Sampai ia ditugasi menyensor film berjudul Don't Go in the Church, yang mengingatkan pada peristiwa hilangnya Nina. Mulailah Enid melakukan penyelidikan, untuk mencari tahu apakah paralel antara fiksi dan realita itu hanya kebetulan, atau memang ada rahasia terselubung di balik film tersebut.

Censor berbagi kemiripan estetika dengan video nasty, khususnya giallo dalam hal pencahayaan ekspresionisme yang didonimasi warna merah dan hijau menyala. Biar begitu, secara atmosfer, Bailey-Bond justru mengambil pendekatan berkebalikan dengan subgenre yang dibicarakan. Tidak murahan, tidak eksploitatif, bahkan cenderung artsy. Mencapai sekitar menit 54, barulah terjadi pertumpahan darah, yang meski agak terlambat, cukup membuktikan kemampuan sang sutradara "mengopi" adegan pembantaian over-the-top khas video nasty. 

Masalah kebanyakan horor artsy selalu soal teror yang kurang menyeramkan, sebagai harga yang harus dibayar untuk menghasilkan tontonan "berkelas" (kritikus cenderung melempar pujian, tapi saya ragu mereka benar-benar "ketakutan" kala menyaksikannya). Censor pun sama, yang sebenarnya agak disayangkan, di saat suatu tribute tampil berlawanan dengan subgenre yang diberi penghormatan.

Setidaknya, berkat penulisan kuat ditambah pacing solid (sutradara sanggup membedakan antara tempo lambat dengan stagnasi), walau minim kengerian khususnya di paruh awal, Censor efektif perihal mengikat atensi penonton. Rasa penasaran berhasil dipancing, kemudian tanpa disadari, separuh durasi sudah berlalu. Akting Niamh Algar turut berjasa di sini. Dia bak magnet yang seolah menarik penonton memasuki, lalu terperangkap dalam labirin memori karakternya. 

Rancunya memori Enid memicu serangkaian perjalanan sureal, yang mencapai puncak di klimaks berdarah (biarpun lagi-lagi belum ada di tingkatan video nasty), sebelum ditutup oleh konklusi berbentuk satir tajam sekaligus menggelitik, yang menyindir pernyataan bahwa "hilangnya eksistensi video nasty bakal berbanding lurus dengan hilangnya kriminalitas". 


Available on iTUNES

2 komentar :

Comment Page:
Mr JUJU mengatakan...

Review A Story of Yonosuke (2013) dong, Bang. Plotnya menarik.

Anonim mengatakan...

Bang Rasyid list Kim Ki Duk worst to best nya gak mau di-update?