REVIEW - FEAR STREET PART ONE: 1994

Tidak ada komentar

Film diawali oleh homage untuk Scream (1996), yang melibatkan kejar-kejaran antara Heather (Maya Hawke, seperti Drew Barrymore di Scream, adalah figur paling tenar di sini) dan pembunuh bertopeng, pertumpahan darah, serta pintu yang macet. Tepat sebelum melancarkan tikaman terakhir, identitas si pembunuh terungkap, menandakan bahwa serupa karya Wes Craven tersebut, Fear Street Part One: 1994 bukan slasher biasa. 

Strategi perilisannya pun mengesankan itu. Diadaptasi dari seri buku Fear Street karya R. L. Stine, film ini merupakan pembuka trilogi, di mana tiap film tayang dalam selang waktu seminggu di Netflix. Pun sebelum pandemi, sewaktu hak distribusi masih dipegang 20th Century Studios, ketiganya bakal dirilis di bioskop dengan selisih satu bulan, dimulai dari Juni 2020. 

Kisahnya berlatar di Shadyside, sebuah kota yang dijuluki "The Killer Capital of USA". Kredit pembukanya menjelaskan asal julukan itu. Pembantaian telah terjadi berkali-kali di sana, termasuk di suatu kamp pada tahun 1978 (akan jadi fokus cerita sekuelnya, Fear Street Part Two: 1978, yang terinspirasi dari slasher era 1970-1980-an). Beberapa pihak yakin bahwa itu akibat kutukan penyihir bernama Sarah Fier (Elizabeth Scopel), yang dieksekusi pada 1666 (Fear Street Part Three: 1666 bakal membahasnya lebih lanjut). 

Di sebelah Shadyside, terdapat Sunnyvale yang makmur, juga dilabeli "kota teraman di Amerika". Kesenjangan itu kerap menyulut friksi antar warga. Bagi Deena (Kiana Madeira), situasinya lebih personal. Dia membenci sang mantan pacar, Sam (Olivia Scott Welch), yang meninggalkannya guna pindah ke Sunnyvale. Ketika mereka kembali bertemu, Deena berniat menyelesaikan segalanya. Tapi alih-alih demikian, keduanya malah jadi target para pembunuh berantai. 

Selain mereka berdua, Kate (Julia Rehwald) dan Simon (Fred Hechinger), dua sahabat Deena, turut terlibat. Begitu pula Josh (Benjamin Flores Jr.), adik Deena, yang terobsesi pada teori-teori mengenai pembantaian di Shadyside. Josh percaya para pembunuh tersebut dikirim oleh Sarah Fier, walau alasan pastinya masih jadi tanda tanya. 

Beberapa pembunuh yang berkeliaran mengingatkan terhadap sosok-sosok ikonik di genre slasher. Pembunuh bertopeng tengkorak dibuat berdasarkan Ghostface, sedangkan Camp Nightwing Killer yang membawa kapak dan mengenakan karung sebagai penutup kepala, jelas terinspirasi dari Jason Voorhees di Friday the 13th Part 2 (1981), saat ia belum memakai topeng hoki. 

Secara tone, Leigh Janiak selaku sutradara sekaligus penulis naskah (bersama Phil Graziadei), membawa nuansa slasher remaja 90-an, sesuai dengan latar waktunya. Termasuk pilihan soundtrack, yang mewakili semangat edgy para remaja di masa tersebut, berkat kehadiran nama-nama seperti Nine Inch Nails, Garbage, Pixies, Radiohead, White Zombie, dll.

Semangat yang juga terpancar dari cara Janiak mengemas pacing-nya. Cepat, tanpa basa-basi. Sayang, meski tidak "pelit darah", film ini gagal mengeksplorasi metode pembunuhan secara kreatif. Kecuali satu momen di klimaks, adegan kematiannya tidak jauh-jauh dari tusuk-menusuk biasa. Pada saat slasher mulai dibangkitkan, di mana seri Happy Death Day menampilkan beragam metode protagonisnya bunuh diri, sementara Victor Crowley dari seri Hatchet mampu membuat Michael Myers minder, apa yang ditawarkan Fear Street Part One: 1994 termasuk jinak. Terlalu jinak.

Kelemahan di atas, ditambah jumlah kematian yang relatif minim, untungnya mampu ditebus lewat penokohan kelima tokoh utama. Biarpun belum tergolong "kompleks", mereka bukan sosok bodoh nan menyebalkan sebagaimana kerap kita temui di slasher, bahkan cukup likeable. Beberapa karena terlibat romansa yang simpatik, ada pula yang memang mudah disukai sebagai individu. Eksistensi mereka bukan sebatas untuk mengisi kantung mayat. 

Alhasil, klimaksnya lebih intens, sedangkan kematian yang akhirnya menjemput, jadi lebih berdampak (bukan spoiler, karena mustahil sebuah slasher membiarkan seluruh karakter melewati malam dengan selamat). Kurangnya creative killings memang lumayan fatal, namun keberhasilan memunculkan kepedulian bagi karakter juga pencapaian hebat dalam sajian slasher. Impas. 

Selepas 45 menit berlalu, barulah naskah tampil menonjol, sewaktu high concept yang diusung mulai menampakkan jati diri. Salah satunya, pemakaian elemen mistis guna bermain-main dengan citra pembunuh berantai di film slasher yang bak tidak bisa mati. Friday the 13th sampai Halloween pernah melakukan itu, dan kali ini Fear Street mempunyai versinya sendiri. Menarik ditunggu, bakal sejauh mana elemen mistis dimanfaatkan dalam dua sekuelnya.


Available on NETFLIX

Tidak ada komentar :

Comment Page: