REVIEW - FEAR STREET PART TWO: 1978

7 komentar

Pada reviu untuk Fear Street Part One: 1994, saya menyebut adegan pembunuhan yang kurang kreatif dan brutal sebagai kekurangan. 1978 berhasil mengatasi itu, membawa penonton kembali menyambangi formula khas slasher di era emasnya: Kamp musim panas, remaja horny, pembunuh bersenjatakan kapak. Sayang, pencapaian perihal bunuh harus dibayar dengan hilangnya kepedulian kala melihat satu demi satu karakternya kehilangan nyawa. 

Melanjutkan peristiwa film pertama, Deena (Kiana Madeira) dan Josh (Benjamin Flores Jr.) akhirnya berhasil menemui C. Berman (Gillian Jacobs), sang penyintas tragedi tahun 1978, guna mencari cara menghapus kutukan Sarah Fier (Elizabeth Scopel). Berman yang kukuh bahwa tidak ada jalan selain kabur pun menceritakan detail peristiwa 16 tahun lalu. 

Sepasang kakak beradik, Cindy Berman (Emily Rudd) dan Ziggy Berman (Sadie Sink), tengah berada di kamp musim panas. Jika Cindy dikenal sebagai gadis baik-baik, sebaliknya, Ziggy adalah "si gadis aneh dari Shadyside", yang selalu jadi korban perundungan remaja lain. Pertikaian antar remaja, konflik dua saudara, semua hal biasa. Tapi tak ada yang mengira, malam itu mereka harus bertaruh nyawa. 

Suster Mary Lane (Jordana Spiro) yang dikenal baik mendadak menyerang Cindy dan pacarnya, Tommy (McCabe Slye). Keduanya selamat, namun itu hanya awal pertumpahan darah, yang membawa Cindy dan Ziggy mengungkap satu lagi rahasia mengenai Sarah Fier. 

1978 dan 1994 (juga 1666) diproduksi secara back-to-back, jadi saya tidak bisa menyebut Leigh Janiak, selaku sutradara, belajar dari kekurangan film pertama. Lebih tepatnya, ia tahu bahwa slasher dari era 1970-1980 identik dengan kekerasan yang jauh lebih brutal, lebih over-the-top dibanding "juniornya" yang muncul jelang pergantian milenium. Dibantu efek praktikal mumpuni, kepala yang terbelah, leher yang putus, semua tampak meyakinkan. 

Banyak korban merupakan anak kecil, sehingga beberapa kematian terjadi secara off-screen, tapi Janiak, yang kembali menulis naskahnya (kali ini bersama Zak Olkewicz), cukup cerdik dalam mengakali agar kebrutalan tetap terasa. Misalnya, ketika aksi pembantaian tak dipertontonkan, namun kita melihat TKP pasca itu terjadi, di mana potongan tubuh telah berserakan. 

Film ini hanya kekurangan iconic imageries bila dibanding judul-judul yang memberi inspirasi. Imageries mengerikan, yang cukup sekali dilihat, sudah mengingatkan penonton akan filmnya. The Burning (1981) identik dengan siluet pria yang mengangkat gunting, sementara wajah penuh teror Felissa Rose membuat Sleepaway Camp (1983) hidup abadi dalam ingatan. Pun si pembunuh bertopeng karung bukan figur memorable layaknya Jason Voorhees. 

Keunggulan film pertamanya adalah karakter yang memancing kepedulian. Di sini, baik Sadie Sink maupun Emily Rudd sejatinya tampil baik, menghidupkan dua individu yang punya penokohan lebih kompleks dibanding mayoritas remaja di film slasher. Cindy adalah gadis yang mendambakan kehidupan lebih baik, namun dalam upaya meraih itu, ia justru kehilangan identitas. Sedangkan Ziggy, mewakili sisi meledak-ledak remaja yang kerap disalahartikan dan tak dipahami penderitaannya.

1978 mampu menjadikan deretan remaja bermasalah khas slasher, guna bertutur soal penderitaan mereka. Tendensi suicidal, seks, narkoba, semua bagian dari usaha remaja lari dari buruknya hidup. Fokus ke arah itu, membuat karakter memiliki bobot, namun tidak jarang, menjadikan filmnya tampil terlampau serius. Fear Street Part Two: 1978 take itself too seriously. Apalagi ketika kuantitas pembunuhannya (meski dieksekusi dengan baik) tergolong minim untuk tontonan berdurasi 110 menit.

Karakternya memang terhindar dari penokohan dangkal, tapi apakah itu cukup untuk memancing kepedulian? Sayangnya tidak. Di 1994, hampir semua protagonis berjuang agar selamat bukan hanya demi diri sendiri, pula orang lain yang mereka cintai. Saya peduli, karena diberi kesempatan melihat bagaimana cinta itu tumbuh. Tidak demikian dalam 1978, yang terkesan buru-buru mengembangkan hubungan Cindy dan Ziggy. 


Available on NETFLIX

7 komentar :

Comment Page:
Syaeful Basri mengatakan...

ditunggu review black widow nya bang

wins mengatakan...

Nunggu Black widow, walau ane dah nonton...

Aksa mengatakan...

Wooow, anda orang dalam yaa

Anon mengatakan...

Black widow 3.5/5 kalo mas rasyid netral. Kalo MCU fans yaa 4/5 lah yaa maybe wkwkwkwk

Anonim mengatakan...

Review our ladies donk min...

Taufik Adnan Harahap (Opik) mengatakan...

kalau liat dri reviewnya part two lebih baik dari part one nya. Nah mas Rasyid, kalau nonton part two nya langsung apa bakal nyambung langsung? atau harus nonton part one nya dulu?

Rasyidharry mengatakan...

Part one penulisan & karakter lebih oke, tapi part two emang lebih seru.

Harus urutan. Soalnya ini nyambung terus