REVIEW - NO SUDDEN MOVE

1 komentar

Selama eksistensinya, film noir, yang kemudian bangkit dalam wujud neo-noir, selalu mewakili ketakutan publik. Ketakutan nyata yang dikhawatirkan, atau bahkan sudah mempengaruhi keseharian. Bukan hantu, wabah zombie, atau invasi aien, melainkan Perang Dunia, Perang Dingin, konspirasi pemerintah, teknologi, dan lain-lain. Tidak terkecuali No Sudden Move, selaku karya terbaru Steven Soderbergh, yang meski berlatar Detroit tahun 1950-an,  mencerminkan kecemasan masyarakat sekarang. 

Tapi sebagaimana ketakutan terdalam, isu yang diangkat oleh Ed Solomon (seri Bill & Ted, Men in Black, Now You See Me) melalui naskahnya, tidak langsung nampak. Pertama, kita lebih dulu bagaimana protagonisnya, gangster bernama Curt Goynes (Don Cheadle), kala menjalankan misi ringan dengan bayaran tinggi. Setidaknya itu yang ia kira, namun penonton yang familiar akan karakteristik film noir tentu tahu, bahwa itu hanya gerbang pembuka menuju masalah-masalah rumit nan berbahaya, yang ada di luar kapasitas si tokoh utama. 

Curt tidak sendiri. Ronald Russo (Benicio del Toro) dan Charley (Kieran Culkin) pun ikut serta. Bukan perkara mudah untuk mereka bekerja sama, khususnya Ronald dan Curt. Ronald, adalah seorang rasis yang bahkan menolak duduk bersama Curt di mobil. Mengesalkan bagi Curt, tapi berkah bagi kita, sebab banter menarik berisi celetukan-celetukan menggelitik dari naskahnya, jadi terfasilitasi. 

Tentu Don Cheadle dan Benicio del Toro berperan besar. Saya betah berlama-lama menyaksikan keduanya saling melempar kalimat. Cheadle, dengan suara serak dan berat, sempurna mewakili tone film. No Sudden Move tidak memakai voice over ala film noir klasik, tapi saya bisa membayangkan Cheadle cocok melakukan itu, mendeskripsikan tiap sudut gelap Detroit yang dapat kapan saja menghilangkan nyawa manusia, mengutarakan perspektif sinis atas kehidupan, menyiratkan kesulitan yang telah dan akan dia alami.

Misi mereka sederhana saja. Menyambangi rumah akuntan bernama Matt (David Harbour), lalu memaksanya mengambil dokumen dalam brankas milik bosnya. Charley pergi bersama Matt, sedangkan Curt dan Ronald menyandera keluarga si akuntan. Sekuen di rumah Matt menunjukkan kemampuan Soderbergh membangun dinamika, melalui penyutradaraan yang tidak flashy. Temponya lambat, tapi bersama iringan musik jazz gubahan David Holmes, Soderbergh bak memproduksi magnet yang teramat kuat menyeret penontonnya memasuki tiap peristiwa. 

Kekacauan bermula kala brankas tersebut rupanya kosong. Kekacauan yang meski cukup rumit dan berlapis-lapis, sayangnya terlalu familiar untuk bisa memancing rasa penasaran. Selepas first act memukai, second act milik No Sudden Move seperti perjalanan menelusuri labirin yang sudah ratusan kali kita kunjungi. 

Memasuki babak akhir, twist demi twist mulai bermunculan. Twist yang awalanya tampak seperti usaha berlebihan untuk mengejutkan penonton, sebelum intensi sesungguhnya diungkap di penghujung durasi. Seperti saya bahas di paragraf pertama, film noir kerap dipakai mewakili ketakutan pada suatu masa, dan twist milik No Sudden Move, yang melibatkan berbagai pengkhianatan, pun sama.

Ketakutan akan keserakahan, akan ketidakpuasan manusia sewaktu menatap pundi-pundi uang. Tentu "kalangan bawah" seperti Curt dan Ronald juga terjangkit penyakit tersebut, namun akhirnya, mereka (dan kita) hanya korban keserakahan orang-orang kaya di puncak rantai makanan. Bukankah itu yang publik takutkan sekarang? Takut terhadap ketidakberdayaan, saat menjadi santapan para pemilik modal, yang menguasai segalanya (termasuk aparat dan pemerintah) dari balik tirai. Sedangkan rakyat jelata sudah lebih dulu kehilangan semuanya (harta bahkan nyawa), sebelum sempat menyibak tirai ketidakadilan itu.


Available on HBO GO & HBO MAX

1 komentar :

Comment Page:
wins mengatakan...

Mike Lowen (Matt Damon) gak ada di kredit tittle ya..??