REVIEW - CODA

3 komentar

CODA merupakan singkatan dari "child of deaf adults", atau anak dengan orang tua tuli. Di musik, coda adalah bagian penutup. Mengakhiri, juga melengkapi komposisi. Remake dari film Prancis berjudul La Famille BĂ©lier (2014) ini mengisahkan soal keutuhan keluarga, pula bagaimana akhir sebuah fase justru menandai kesempurnaan keluarga tersebut. 

Ruby Rossi (Emilia Jones) adalah puteri bungsu, sekaligus satu-satunya yang bisa mendengar dalam keluarganya. Karena itulah Ruby mesti selalu hadir ketika ayahnya, Frank (Troy Kotsur), dan kakaknya, Leo (Daniel Durant), berlayar mencari ikan. Kondisi para nelayan sendiri sedang tidak baik. Ikan hasil tangkapan dihargai terlalu murah, biaya-biaya tambahan yang dibebankan dewan setempat pun makin membengkak.

Musik jadi pelarian Ruby. Dia bergabung di tim paduan suara sekolah, dan kesempatan-kesempatan pun mulai terbuka. Mr. V (Eugenio Derbez) selaku pengajar mengakui talenta Ruby, lalu menawarinya mencoba audisi untuk masuk ke Berklee. Ruby juga bakal berduet dengan murid yang menarik perhatiannya, Miles (Ferdia Walsh-Peelo), di resital tim paduan suara. Tapi realitanya jauh dari kata mulus.

Ruby kesulitan membagi waktu antara bermusik dan menjadi penerjemah bagi keluarganya. Andai ia berhasil diterima di Berklee, siapa yang akan mengisi posisi itu? Belum lagi sang ibu, Jackie (diperankan Marlee Matlin, pemenang termuda di kategori "Aktris Terbaik", sekaligus satu-satunya penampil tuli penyabet piala Oscar hingga kini), turut menentang niat Ruby. 

CODA merupakan film tanpa benar/salah. Sebagai anak, tentu saya bisa berempati pada kekesalan Ruby saat pilihan hidupnya ditentang orang tua. Tapi seperti Ruby juga, CODA membuat saya memahami hal yang tidak pernah dirasakan orang-orang dengan pendengaran normal. Wajar Jackie dihantui setumpuk kekhawatiran. Hidupnya dipenuhi ketidakpahaman masyarakat, yang mengecap teman tuli dengan sebutan "aneh". 

Di sisi lain, tekanan Mr. V pun tidak keliru. Agar diterima di Berklee, Ruby memang harus rutin berlatih. Semua pihak punya hak, keinginan, serta kepentingan masing-masing yang tak bisa disalahkan. Termasuk Ruby, yang terhimpit di antaranya. Ruby sudah menghabiskan seluruh hidupnya sebagai penerjemah, tapi adakah yang dapat menerjemahkan isi hatinya?

Sian Heder (Tallulah) selaku sutradara dan penulis naskah, mengangkat kompleksitas permasalahannya, mengajak penonton melihat dari sudut pandang para tokoh, guna menghadirkan pemahaman menyeluruh. Rumit, berliku, namun tetap menyertakan tawa. Menariknya, selain memancing tawa, humor milik CODA bisa membuat penonton berujar, "Benar juga". 

Sebutlah saat Frank menjelaskan, "alasan Tuhan menciptakan bau kentut" maupun larangan mendengarkan musik saat makan bersama, sementara bermain Tinder malah diperbolehkan. Semua itu adalah kelakar, namun bukan kelakar kosong. Ibaratnya, CODA sedang mengedukasi melalui cara yang menyenangkan.

Meski mengetengahkan perihal musik, Heder justru tidak banyak memakai musik pengiring, membiarkan suasana natural, seolah mengesankan, bahwa CODA merupakan presentasi apa adanya. Bahkan agar penonton mengerti kondisi teman tuli, Heder sempat menyelipkan keheningan total, yang berlangsung lebih lama dari kebanyakan film yang coba memberi dampak serupa. 

Ketimbang suara bombastis, CODA menghentak lewat kesunyian. Satu kesunyian yang menyinggung pertanyaan terbesar filmnya. Ruby tidak punya privilege seperti karakter anak lain, yang mampu meruntuhkan keraguan orang tua atas bakatnya, dengan cara memperlihatkan dan/atau memperdengarkan bakat itu secara langsung di hadapan mereka. Bagaimana Ruby meyakinkan orang tua jika ia jago bernyanyi? Pertanyaan lain, "Bagaimana filmnya memberi dampak emosi bila tak menampilkan adegan (formulaik) tersebut?". 

Third act-nya mengupas pertanyaan-pertanyaan di atas, yang dijawab oleh Heder, melalui momen-momen tak terduga, yang sukses mengaduk-aduk rasa. Sensitivitas penyutradaraan Heder luar biasa, terutama soal pemaksimalan reaction shot, selaku teknik filmmaking dasar, yang saking mendasarnya, kerap dipakai hanya untuk memenuhi kewajiban. 

Reaction shot versi Heder tidak (cuma) bertujuan memanipulasi emosi penonton, pula menjabarkan isi hati teman tuli. Seperti apa rasanya berada di antara keriuhan apresiasi terhadap pencapaian orang tercinta, sementara kita tidak dapat memahaminya? 

Penampilan jajaran pemain memperkuat narasinya. Jones jadi protagonis yang memudahkan penonton terhubung secara emosional, tapi bagi saya, tiga penampil lain, Kotsur, Matlin, dan Durant (seluruhnya tuli) merupakan yang terkuat. Matlin menerjemahkan pahitnya sering disalahartikan, Kotsur membombardir hati penonton di satu adegan yang melibatkan nyanyian, sedangkan Durant mencuri perhatian sebagai kakak yang ingin membuktikan kapasitasnya demi sang adik (senyum simpul yang berusaha ia munculkan kala menyaksikan resital meski tak mampu mendengar, betul-betul wujud akting subtil yang menyentuh).

Semua soal saling mengerti. Mengerti bahwa tiap anggota keluarga punya kelebihan sekaligus kekurangan. Mengerti bahwa tidak cuma ada satu cara mengekspresikan kasih sayang. Mengerti bahwa sebuah keluarga mesti saling mengisi, namun tanpa melupakan identitas masing-masing sebagai individu. Pada akhirnya, ego yang dikesampingkan merupakan koda paling indah yang menyempurnakan sebuah keluarga. 


Available on APPLE TV+

3 komentar :

Comment Page:
Aldi mengatakan...

Sungguh Adegan “formulaik” yanv membuat banjir air mata

Anonim mengatakan...

Next kayaknya mas rasyid bakal review gi joe origins snake eyes bang iko uwais neh hehehe estimasi bakal kena 2.5 atau 3 dari 5 bintang hehehehe

susanto mengatakan...

best 2021 so far. ya nggak sih?