REVIEW - VIVO

1 komentar

Selepas Spider-Man: Into the Spider-Verse (2018) dan The Mitchells vs. the Machines (2021), Sony Pictures Animation resmi jadi kekuatan baru dunia animasi (kualitas sebelumnya cenderung naik-turun). Sedangkan dalam dua tahun terakhir, kita belajar bahwa keberadaan Lin-Manuel Miranda selaku komposer ibarat jaminan mutu. Vivo menyatukan kedua pihak dalam kisah mengenai cinta yang tak lekang oleh waktu. Cinta yang terabadikan dalam nada-nada.

Berlatar Havana, Cuba, musisi tua bernama Andrés Hernández (Juan de Marcos González) selalu memainkan musik bersama seekor kinkajou miliknya, Vivo (Lin-Manuel Miranda). Kecintaan Andrés terhadap musik mungkin cuma bisa ditandingi oleh cintanya pada Marta (Gloria Estefan). Dahulu, Andrés dan Marta adalah duo. Andrés mencintai Marta, namun memilih memendam perasaan, kala si pujaan hati mendapat tawaran berkarir di Amerika. Puluhan tahun berselang, Marta telah menjadi musisi legendaris, tapi isi hati Andrés tidaklah berubah. 

Andrés membuat lagu untuk Marta, yang tak pernah sempat ia berikan. Peluang itu datang saat Marta mengundang kawan lamanya itu untuk berduet di konser terakhirnya di Miami. Malang, sebuah tragedi merenggut peluang tersebut. Kini semua tergantung Vivo, yang harus mengantarkan lagu terakhir Andrés sebelum konser Martha usai.

First act-nya tampil dengan sensitivitas tinggi, di mana Kirk DeMicco (The Croods) selaku sutradara, menekankan spiritualitas. Baik lagu, maupun alam beserta segala isinya, seolah merupakan entitas bernyawa, yang berbicara kepada manusia melalui caranya masing-masing. Sederhananya, sebuah keajaiban. 

Demi mencapai Miami, Vivo menyelundup ke tas Gabi (Ynairaly Simo), puteri Rosa (Zoe Saldana), keponakan Andrés yang tinggal di Key West. Bagaimana seekor kinkajou dalam tas tak terdeteksi oleh pemeriksaan bandara, biarlah jadi suspension of disbelief. Gabi sepakat menolong Vivo, walau akibat kurangnya perencanaan, perjalanan singkat ke Miami menjadi petualangan berbahaya, yang mempertemukan mereka dengan hewan buas di hutan dan.....girl scout. 

Vivo membawa second act-nya ke arah petualangan ringan semua umur (walaupun piton raksasa yang disuarakan Michael Rooker rasanya terlalu mengerikan bagi penonton anak), yang belakangan bak jadi kekhasan Sony Pictures Animation (terletak di antara gaya Pixar dan Dreamworks). Cukup berjarak dibanding sensitivitas dramatik paruh pertama, namun bukan di situ masalahnya. Masalah muncul ketika naskah buatan DeMicco dan Quiara Alegría Hudes (In the Heights), terlalu bergantung pada kemunculan tokoh-tokoh baru, guna menggerakkan alur dan menyelesaikan konflik, alih-alih mematangkan dua protagonis. 

Gabi membantu Vivo bukan cuma karena ingin bertualang, pun didorong empati terhadap Andrés. Serupa Andrés, Gabi tak sempat mengucap "I love you" sebelum ayahnya meninggal. Motivasi kuat tersebut gagal dimaksimalkan. Pada akhirnya, semua dampak emosional timbul dari hubungan Andrés-Marta semata.

Tapi terkait tujuan melahirkan petualangan menghibur, paruh kedua Vivo jelas berhasil. Perpaduan komponen audiovisual memegang kunci. Lagu-lagu ciptaan Lin-Manuel Miranda selalu bisa membuat penonton tergerak mengikuti irama. My Own Drum yang makin bertenaga berkat vokal Ynairaly Simo, sementara nomor elektronik catchy Running Out of Time (bagian "M-I-A-M-I running out of time" bakal terus terngiang) dikemas kreatif lewat sinkronisasi lagu dengan dialog, di bawah cahaya neon yang mewarnai kemeriahan malam Miami.


Available on NETFLIX

1 komentar :

Comment Page:
Eveningpress mengatakan...

That's why aku pun nggak merasa ada keterkaitan emosi dgn 2 protagonis utama sepanjang aksi keren mereka di film. Lebih cenderung engage akibat simpati dengan hubungan andres-marta