REVIEW - IN THE SAME BREATH

Tidak ada komentar
Sesuai namanya, dokumenter bertujuan "mendokumentasikan". Salah satu yang paling sering didokumentasikan adalah sejarah. Peristiwa masa lalu dikupas, sebagai bahan edukasi dan retrospeksi, agar generasi zaman sekarang bisa belajar, kemudian memperbaiki diri. In the Same Breath pun mereka peristiwa bersejarah. Bedanya, saat film dibuat bahkan dirilis, sejarah tersebut masih belum usai ditulis.

Apalagi kalau bukan soal pandemi COVID-19. Nanfu Wang (One Child Nation) menginvestigasi apa penyebab virus corona menyebar sedemikian tak terkendali, dengan memadukan teknik dokumenter tradisional dan citizen journalism. Jawaban yang diutarakan mungkin sudah kita ketahui bersama, tapi itu tidak mengurangi dampak In the Same Breath. 

1 Januari 2020, kemeriahan menghiasi perayaan tahun baru di Wuhan. Masyarakat bersuka cita, sementara pemerintah Cina menjanjikan tahun yang makmur bagi rakyatnya. Siang harinya, muncul berita soal delapan orang yang ditangkap akibat menyebarkan hoax tentang pneumonia misterius. Berbagai stasiun televisi mewartakan kabar tersebut, dengan sama persis, kata demi kata. Bahwa pemerintah Cina tidak menoleransi kebohongan. 

Tak ada yang menaruh perhatian. Termasuk Wang, yang menetap di Amerika, dan hendak mengunjungi sang ibu bersama suami dan anaknya. Keluputan Wang mengembalikan ingatan tentang masa itu. Berita soal virus baru di Wuhan tidak digubris oleh saya, yang sibuk merencanakan setumpuk target. "Proyek baru apa yang bakal dijalankan? Konser mana yang akan ditonton?", begitu isi pikiran saat itu. 

Melalui dokumenter ini, Wang berandai-andai, curhat, sesekali mengucap sedikit penyesalan. Terasa personal, baik untuknya, saya, dan hampir seluruh orang di dunia. Tapi sebagai dokumentaria, Wang menolak diam. Sekembalinya ke Amerika, ia meminta beberapa juru kamera di Wuhan merekam realita kala lockdown berlangsung. Hasilnya memancing amarah pula kegetiran. 

Rekaman-rekaman awal bermula di rumah sakit. Mayoritas pasien enggan diwawancarai. Ada yang langsung menolak, ada yang bersedia selama suster kepala turut hadir, ada yang mau bercerita selama tanpa kamera. Dari situ filmnya berkembang, dari seputar wabah mematikan, menjadi kisah penelantaran rakyat oleh pemerintah, dan bagaimana pemerintah membuat rakyat (atau banyak dari mereka) tak merasa ditelantarkan, akibat efek dari cuci otak berkepanjangan. Salah satu juru kamera Wang bahkan menyetujui protokol yang cuma membolehkan merekam hal bernuansa positif, agar "imperialisme barat tidak memanfaatkan situasi untuk menyebar kabar negatif mengenai Cina".

Iklan layanan masyarakat hingga acara televisi bernuansa propaganda membanjiri televisi Cina. Semua mengarah ke satu kesimpulan, bahwa pemerintah berhasil menangani pandemi dengan luar biasa. Berita negatif disaring, aktivis penyebar fakta ditangkap. Seorang kreator konten hilang, selepas mengungkapkan ketidaktakutannya atas Partai Komunis dalam sebuah video. Penonton Indonesia bakal segera menangkap kemiripan mengerikan dengan situasi terkini.

In the Same Breath memang kadang tampil bak film horor mengerikan. Salah satunya kala menampilkan rekaman CCTV suatu klinik, yang berada di dekat pasar ikan tempat penemuan kasus COVID-19 pertama. Selama empat hari sejak 19 Desember 2019, orang berbondong-bondong datang meminta obat. Semua punya keluhan serupa: batuk dan/atau flu. Ketika suami si pemilik klinik menunjukkan gejala yang sama, seluruh rumah sakit menolak merawatnya. Sejak jauh hari, pemerintah telah mengetahui eksistensi corona, namun menutupinya demi menghindari berita negatif.

Kemudian, secara mulus kisahnya mengalami transisi. Giliran pandemi di Amerika Serikat yang disorot. Kondisinya tidak jauh beda. Pemerintah menampik bahaya COVID-19, berujung menewaskan ratusan ribu manusia di sana. Bedanya, jika sebagian rakyat Cina jengah karena pemerintah menutupi jumlah angka kematian, masyarakat Amerika, selaku penganut demokrasi, berkata sebaliknya. Bahwa pemerintah melebih-lebihkan statistik, dan semuanya konspirasi belaka.

Wang berusaha tidak menghakimi begitu saja. Kemarahan para skeptis dikaitkannya pada dampak dari ketiadaan transparansi pemerintah. Tidak salah, namun demi menguatkan poinnya soal kebobrokan pemerintahan, Wang terkesan menutup mata akan ketidakpedulian kelompok skeptis, yang banyak di antaranya bukan didasari pemikiran kritis, tapi murni kebodohan. 

Bagian mengenai Amerika, meskipun terkoneksi baik, juga menawarkan beberapa momen emosional kala mewawancarai tenaga medis, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, inferior di hadapan investigasi di Cina. Bisa jadi karena Wang lebih menaruh perhatian dan kekhawatiran di sana, yang mana sudah sewajarnya.

Benar bahwa mayoritas permasalahan di In the Same Breath sudah kerap kita temui. Rekaman menyakitkan berisi kekacauan rumah sakit, kabar-kabar tragis, hingga wajah-wajah lelah nake, sudah dikupas di beragam media, termasuk media sosial. Tapi itu tidak melemahkan dampaknya. Sebaliknya, familiaritas itulah alasan dokumenter ini penting, sebagai sebuah kapsul waktu. Sebuah pengingat, bahwa buruknya pemerintahan dapat lebih mematikan ketimbang virus mana pun. 



Available on HBO MAX

Tidak ada komentar :

Comment Page: