REVIEW - TRIBHANGA

1 komentar

Selama menonton Tribhanga, berkali-kali saya bertanya dalam hati, "Apa yang mau disampaikan film ini?". Terkadang, Renuka Shahane selaku sutradara sekaligus penulis naskah, seperti ingin menampik segala macam paham konservatif tanpa ampun, namun di kesempatan lain, cenderung bersikap toleran. Baru setelah beberapa lama, saya sudah telah salah kaprah membaca narasinya.

Judulnya merujuk pada posisi berdiri dalam tari tradisional India, yang diambil dari Bahasa Sansekerta. "Tri" berarti "tiga", "bhanga" berarti "posisi" atau "sikap". Tribhanga menceritakan tiga generasi wanita, yang mengambil posisi dan sikap berbeda dalam hidup masing-masing. Seperti apa pun sikap serta posisi yang diambil wanita (yang selalu berhadapan dengan stigma-stigma dari masyarakat konservatif), bukan masalah selama merupakan pilihan sendiri. Itulah mengapa filmnya tak berpihak. Satu-satunya yang keliru adalah ketika pilihan diambil karena paksaan. 

Anuradha "Anu" Apte (Kajol) adalah bintang besar Bollywood yang kerap memancing kontroversi. Kata-katanya kesar, dikenal doyan berganti-ganti pasangan, juga seorang ibu tunggal. Puterinya, Masha (Mithila Palkar), menikahi pria dari keluarga kolot, dan kini tengah hamil. Lalu tiba, sebuah kabar mengejutkan. Ibu Anu, Nayantara (Tanvi Azmi), koma akibat serangan strok. 

Hubungan Anu dengan sang ibu, yang dikenal sebagai penulis ternama, tidaklah baik. Saking tidak akurnya, Anu tidak memanggil ibunya "ibu", melainkan "Nayan". Sebelum koma, Nayan sedang membuat otobiografi miliknya, dengan bantuan Milan (Kunaal Roy Kapur). Bersama proses penulisan itu, kita diajak mengunjungi masa lalu melalui flashback, yang secara spesifik menjelaskan alasan ketidaksukaan Anu kepada Nayan.

Secara lebih general, flashback tersebut menyoroti generational trauma sembari memaknai empowerment. Shahane, yang seperti memadukan otobiografi (dia juga seorang aktris dengan ibu penulis) dan fiksi, tidak menawarkan jawaban mudah. Ada kalanya saya berdiri di samping Nayan, mengagumi keteguhannya mengejar kemandirian. Tapi sakit hati Anu jelas bisa dimengerti. Anak takkan peduli betapa sang ibu dipandang hebat lewat karya maupun aktivismenya. Apakah si anak merasa disayang, itu yang utama.

Membuat penonton memahami, bahwa penolakan Anu memahami Nayan, pula sebaliknya, kegagalan Nayan memahami Anu, jadi tujuan Tribhanga, dan itu berhasil dilakukan. Memahami berbeda dengan membenarkan. Memahami berarti tidak menutup mata, akan kemungkinan adanya alasan di balik suatu kesalahan. 

Lalu bagaimana dengan Masha si generasi termuda? Dia melambangkan harapan atas era baru, di mana generational trauma berakhir. Ketika psikis anak terbebas dari "dosa" orang tua, sedangkan orang tua, yang akhirnya memerdekakan diri dari trauma masa lalu mereka, bisa total melimpahkan kasih sayang, supaya si anak mendapatkan kemerdekaan sejak dini.

Akting ketiga aktrisnya pun mencerminkan dinamika tersebut. Mithila Palkar lebih cerah, ramah, terbuka akan segala kemungkinan. Kajol berada di pusat konflik, dengan kemarahan yang belum terselesaikan, sehingga sarkasme serta sumpah serapah mengalir deras dari mulutnya. Sementara Tanvi Azmi lebih tenang, bijak, karena sudah berdamai dengan dirinya, mengakui tiap kesalahan yang pernah diperbuat.

Kedekatan personal dengan materinya membuat Renuka Shahane paham titik-titik emosi yang mesti ditampilkan. Satu pertengkaran besar antara Anu dan Nayan tampil sangat heartbreaking, mewakili momen tatkala semua rasa tak lagi dapat dibendung. Demikian pula adegan penutupnya, yang menggambarkan sebuah keutuhan, saat ketiga protagonis wanita melakukan hal yang paling dicintai, dalam satu ruang bersama orang-orang tercinta. Di situlah diri mereka utuh, baik sebagai individu atau bagian keluarga.


Available on NETFLIX

1 komentar :

Comment Page:
HerStory mengatakan...

Terimakasih penjelasannya, akhirnya saya paham kenapa sikap sikap mereka bertolak belakang, tulisan anda sangat bagus dan mudah dipahami, jangan berhenti menulis :)