REVIEW - MAN IN LOVE

Tidak ada komentar

Stigma remake sebagai wujud minimnya kreativitas adalah pemikiran dangkal. Walau eksistensi "cashgrab remake" tidak bisa dipungkiri, ada beberapa hal bisa dicapai dari membuat ulang karya lama. Sebut saja modernisasi, proses alih budaya (terutama jika dibuat oleh negara lain), eksperimen terhadap visi yang berbeda, atau memperbaiki kekurangan versi aslinya. 

Man in Love, selaku remake film Korea Selatan berjudul sama yang rilis tahun 2014, sekilas cuma cashgrab. Apa yang bisa dieksplorasi dari drama tearjerker formulaik? Ternyata banyak. Chih-Chung Chien dan Lyra Fu selaku penulis naskah, tahu plus-minus film aslinya, lalu mempertahankan (bahkan memperkuat) keunggulannya, sembari memperbaiki deretan kelemahannya. Man in Love bak remedial yang berhasil.

Keseluruhan ceritanya masih sama, yakni tentang cinta Ah Cheng (Roy Chiu) si penagih utang, pada Hao Ting (Ann Hsu), seorang gadis yang "diwarisi" utang ayahnya. Alih-alih menagih, Ah Cheng berjanji bakal menghapus utang ayah Hao Ting, selama ia mau diajak berkencan. Meski awalnya terpaksa, lama-lama hati Hao Ting luluh oleh kebaikan tulus dari si preman.  

Sama persis. Beberapa shot yang digunakan sang sutradara, Yin Chen-hao, pun serupa dengan kepunyaan Han Dong-wook. Di dua pertiga awal, modifikasi memang lebih subtil. Misalnya pertemuan perdana Ah Cheng dan Hao Ting. Sejak kali pertama tatapan mereka terhubung, kita tahu Ah Cheng sudah jatuh cinta. Alhasil insiden saat ia menyuruh anak buahnya membawa paksa ayah Hao Ting yang koma, hanya tampak seperti gertak sambal. 

Bandingkan dengan versi Koreanya. Belum jelasnya perasaan si protagonis pria, pula durasi peristiwa yang lebih panjang, membuat dia terlihat sama kejamnya dengan penagih hutang biasa. Poin ini penting, sebab esensi Man in Love adalah, proses jatuh cinta seorang pria baik, yang terjebak di lingkungan buruk, sehingga menjadi buruk juga, dan tidak tahu cara mengekspresikan cinta. Pemberian latar belakang ekstra terkait alasan Ah Cheng menekuni profesi sebagai penagih utang, turut menguatkan kesan bahwa ia sejatinya orang baik.

Hal-hal ekstra itulah keunggulan utama filmnya. Entah kalimat ekstra, atau tambahan adegan, yang meski pendek, punya dampak besar. Salah satunya ketika Ah Cheng mengutarakan niat untuk menikahi Hao Ting. Bagaimana ia memahami hal apa yang berharga bagi sang pujaan, menegaskan kelembutan hati sekaligus kesungguhan cinta Ah Cheng. 

Penampilan Ann Hsu, yang piawai menangani gradasi perasaan Hao Ting secara bertahap (dari wajah dingin nan ketus, kemudian senyum simpul mulai ia perlihatkan walau masih malu-malu), tidak jauh beda dengan interpretasi Han Hye-jin. Lain cerita bila menyandingkan Roy Chiu dan Hwang Jung-min. Keduanya mampu mencuri hati, melalui akting yang serupa tapi tak sama.

Kita tahu Hwang Jung-min adalah ahlinya dalam memerankan karakter "kacau", yang sekilas kurang bersahabat, namun begitu memamerkan senyum dan mata berbinar, seketika mampu meruntuhkan dinding emosi penonton. Gayanya senada dengan tearjerker khas Korea Selatan yang mengiris di tengah nuansa hangat. Sementara Roy Chiu mendekati figur gangster sinema Taiwan yang menyimpan tragedi di balik machismo mereka. 

Artinya, selain "meremedi", Man in Love juga melakukan alih budaya. Poin ini terasa betul di sebuah adegan pemakaman. Perbedaan tradisi upacara pemakaman Korea Selatan dan Taiwan mengharuskan adanya modifikasi, namun tetap harus mempertahankan substansi serta dampak emosi. Di sini, Yin Chen-hao dan tim bukan cuma berhasil mempertahankan, tapi menguatkan. Momen itu tersaji lebih menyentuh. Lebih sakral. 

Di third act, modifikasi meningkat, dan lagi-lagi, menjadikan remake ini tampil superior di hadapan karya aslinya. Penerapan struktur penceritaan non-linear yang lebih rapi (menghasilkan twist apabila anda belum menonton versi Korea), penghilangan bagian-bagian kurang penting supaya narasi lebih terfokus, sampai perihal motivasi karakter yang lebih berdasar (contoh: alasan Hao Ting marah besar ke Ah Cheng). Man in Love mungkin tetap sebuah tearjerker klise, baik di ranah romansa atau drama keluarga, namun ini pun bukti, mengapa tidak seharusnya semua remake dipukul rata, lalu dipandang sebagai bentuk kemalasan berkreasi. 


Available on NETFLIX

Tidak ada komentar :

Comment Page: