REVIEW - THE FALLS
Ketika serangan COVID-19 mencapai puncaknya, semua terkena dampak. Timbul perasaan senasib. Benarkah demikian? Banyak dari kita dihadang cobaan akibat pandemi, namun tidak sedikit yang sudah dilanda masalah jauh sebelumnya. Semua orang punya luka, dan satu-satunya pembeda adalah seberapa besar luka tersebut.
Chung Mong-hong mungkin sineas Taiwan "terpanas" saat ini. Setidaknya di kancah internasional. Selepas A Sun pada 2021, awal tahun ini giliran The Falls jadi perwakilan Taiwan di perhelatan Academy Awards. Berlatar pandemi, kisahnya berpusat pada Lo Pin-wen (Alyssa Chia), yang tinggal berdua bersama puterinya, Xiao Jing (Gingle Wang), pasca bercerai dari sang suami, Qi-wen (Lee Lee-zen) tiga tahun lalu.
Xiao Jing berumur 18 tahun, dan segera lulus dari SMA. Ketika teman sekelasnya positif COVID, ia diharuskan menjalani karantina. Demikian pula Pin-wen, yang oleh kantornya diminta tetap di rumah karena menjemput sang puteri. Xiao Jing berkali-kali menyuruh ibunya menjaga jarak sesuai protokol kesehatan, walau tanpa itu pun, hubungan mereka sudah berjarak.
Xiao Jing senantiasa bersikap ketus kepada Pin-wen, bahkan menulis "bitch" di piringnya. Sekilas The Falls adalah kisah familiar mengenai susah payahnya seorang ibu menghadapi anak bermasalah. Hingga badai di suatu malam menutup first act-nya lewat titik balik, yang mengubah arah filmnya menjadi lebih pelik.
The Falls bukan cerita satu arah tentang "ibu menangani anak", melainkan dua arah. Cerita soal tumpukan luka, soal memudarnya semua warna dalam hidup seseorang, kecuali warna biru (perlambang kesedihan). Biru memegang peranan penting di sini. Lukisan yang dahulu kaya warna kini tinggal menyisakan biru layaknya kebahagiaan hidup yang mulai lenyap, apartemen yang ditutupi terpal biru hingga tak memungkinkan sinar matahari masuk pun mewakili kelamnya hati karakter.
Chung Mong-hong memang mengedepankan visual storytelling, di antara penuturan bertempo lambat yang mengalir seperti air. Salah satu elemen visual paling cerdik melibatkan sebuah baju. Sekilas tak spesial, namun selain karena muncul beberapa kali, satu sentuhan subtil tapi spesifik, memberi pembeda dibanding baju-baju lain, yang membuat otak kita otomatis merekamnya.
Baju tersebut, yang punya kontribusi penting di ending, jadi salah satu metode sang sutradara mengolah emosi, yang mengutamakan pendekatan lembut. Kelembutan itu turut diperkuat oleh musik buatan Lu Lu-ming. Akting kedua aktris utama pun berada di area serupa. Kadang ada letupan tak terduga, tapi secara keseluruhan sarat ketersiratan. Gingle Wang lewat kemampuannya mencuri hati sebagai figur puteri mengagumkan, Alyssa Chia dengan tatapan kosong nan perih miliknya.
Saya takkan mengungkap detail titik balik yang terjadi pada akhir first act, tapi intinya, The Falls turut memantik kesadaran penting perihal kesehatan mental, terutama dalam urusan menentang stigma. Semisal, tidak semua hal yang dilihat dan/atau didengar penderita skizofrenia merupakan bentuk halusinasi. Adanya gangguan bukan berarti mereka boleh dianggap remeh. Sama halnya dengan bagaimana kita memandang seorang bocah, jika membicarakan hal di luar konteks kesehatan mental. Beberapa hal mungkin tak mampu dilakukan bocah, entah disebabkan alasan legalitas terkait usia atau minimnya pengalaman, namun ia bukannya selalu tak berdaya.
The Falls punya judul Cina Pùbù, yang bisa dimaknai sebagai "air terjun" dan "jatuh". Kalau tadi saya menyebut penceritannya mengalir bak air, sebab itulah kondisi kehidupan yang film ini gambarkan. Hidup ibarat air. Terkadang riuh, berisik, apalagi tatkala jatuh bersama derasnya aliran air terjun. Manusia mungkin terhanyut olehnya. Tetapi setelah perjalanan menyakitkan itu, kita akan sampai di aliran sungai yang tenang, tempat segala keindahan menanti.
(Netflix)
REVIEW - INCANTATION
Saya menonton Incantation dua kali. Pertama di siang hari, lalu sekali lagi di malam hari. Tujuannya adalah uji coba terkait ada/tidaknya perbedaan tingkat kengerian. Ternyata ada. Sangat jauh malah. Saya pun yakin hasilnya bakal kembali berubah bila disaksikan di bioskop (membuat komparasi "mentah" dengan The Medium yang banyak muncul di media sosial menjadi kurang valid).
Semua soal experience dan persepsi. Di luar kegelapan serta kesunyian malam hari yang mendukung sensasi menonton film horor, mayoritas teror yang dialami protagonis Incantation pun terjadi pada kegelapan dan kesunyian malam yang sama, sehingga lebih mudah bagi penonton mengasosiasikan aktivitas menontonnya dengan pengalaman si karakter. For me, that's the beauty of movie, especially horror movie.
Perihal persepsi sendiri berperan penting dalam horor berpendapatan tertinggi sepanjang sejarah Taiwan ini. Trailernya yang mengundang kehebohan itu (terutama di Indonesia) bermain-main dengan persepsi visual melalui ilusi optik, saat kita diajak mengubah arah pergerakan kincir dan kereta. Di konteks filmnya, hal tersebut, ditambah arahan untuk ikut merapal mantra "hou-ho-xiu-yi, si-sei-wu-ma", disampaikan oleh Li Ronan (Tsai Hsuan-yen) kepada penonton vlognya.
Ronan mengunggah video berisi pengakuan, bahwa enam tahun lalu, akibat tindakan sembrononya, ia terkena sebuah kutukan yang merenggut nyawa orang-orang di dekatnya. Kini kutukan itu menyebar ke puterinya, Dodo (Huang Sin-ting). Melalui partisipasi penonton videonya, Ronan berharap dapat menyelamatkan sang puteri.
Elemen di atas adalah modal memadai guna memberi sentuhan segar bagi narasi Incantation sebagai mockumentary, di tengah formula "skeptis ignorant kena batunya", yang walau klise, belakangan menemukan relevansinya lagi pada masa di mana pola pikir logis justru kerap mengerdilkan mistisisme dan adat alih-alih memperluas perspektif.
Masalahnya, naskah buatan Chang Che-wei bersama sang sutradara, Kevin Ko, kurang rapi menangani penceritaan. Tiada batasan jelas terkait mana saja video yang Ronan bagikan ke publik, sehingga pengalaman menonton immersive yang konsepnya bawa gagal dimaksimalkan. Lompatan alur antara flashback dan masa kini pun tak berlangsung mulus, sebab naskah lalai menjembatani perpindahan latar waktunya.
Padahal kekuatan bercerita memegang peranan besar menentukan tingkat keberhasilan konklusinya, tatkala sebuah twist secara cerdik mengubah cara kita memandang keseluruhan alur. Lagi-lagi soal persepsi. Lalu timbul pertanyaan, "Bagaimana suatu persepsi terbentuk?". Kembali ke gambar kincir, arah gerakannya dapat diubah, tapi tanpa instruksi Ronan, apakah kita otomatis melakukannya? Apakah itu bukti kuatnya pikiran, atau malah kelemahan karena begitu gampangnya persepsi kita digiring ke arah tertentu? Perihal "menggiring persepsi" ini juga membuat medium internet yang karakternya pakai jadi tepat guna.
Demi mendukung gagasan terkait "memutarbalikkan persepsi", Kevin Ko banyak bermain-main dengan visual sarat simbol. Entah estetika properti (misal desain patung Buddha), gestur tangan, hingga salah satu yang paling menarik, penggunaan satu lagi ilusi optik di paruh akhir, ketika layar hanya diisi simbol dan teks terjemahan mantra.
Ko mungkin terlampau banyak menambahkan efek suara dan scoring dalam mempresentasikan teror yang berujung mengurangi kesan organik khas mockumentary, pun "video terowongan" yang hype-nya dibangun sepanjang durasi tak sepenuhnya berhasil jadi puncak, namun secara keseluruhan, ia tetap piawai menciptakan tontonan atmosferik. Jump scare tampil cukup efektif, deretan imageries-nya pun memancing rasa tidak nyaman (pengidap tripofobia mesti berhati-hati), khususnya tiap lantunan mantra mengiringi jalannya adegan.
(Netflix)
REVIEW - THE SADNESS
Diawali permintaan sang produser, Jeffrey Huang, untuk membuat film berlatar pandemi, Rob Jabbaz bak melakukan adaptasi lepas bagi komik Crossed (inspirasi yang sudah ia akui), lalu menambahkan referensi gila sebanyak mungkin. Kepala meledak (Scanners), ciuman mematikan (Braindead), seks zombie (Chillerama), penis yang menusuk mata (A Serbian Film), dan lain-lain. 'The Sadness' is one of the craziest zombie movies I've seen in recent years.
Setelah memperkenalkan pasangan Jim (Berant Zhu) dan Katie (Regina Lei) selaku protagonis, naskah buatan Jabbaz langsung membawa kita ke tengah kekacauan. Seisi Taiwan berubah jadi ladang pembantaian ketika orang-orang bermutasi. Mata mereka menghitam, tingkah mereka buas layaknya zombie.
Tapi mereka bukan zombie. Setidaknya bukan zombie biasa. Mereka bisa bicara, bahkan berkomunikasi seperti manusia. Jika zombie umumnya kehilangan otak, makhluk di The Sadness kehilangan nurani. Menyiksa, membunuh, bahkan memerkosa korban, tanpa peduli jenis kelamin dan usia. Mereka manusia tanpa rasa kemanusiaan.
Di tengah kondisi darurat tersebut, Jim dan Katie terpisah. Alurnya pun terbagi dua, yakni Katie yang berjuang bertahan hidup, dan perjalanan Jim menaiki motor, menembus kerumunan zombie guna menyusul Katie. Sederhana. The Sadness memang lebih didominasi kumpulan peristiwa daripada menampilkan upaya bercerita.
Kritik sosialnya tidaklah subtil. Ditengarai, mutasi terjadi akibat virus bernama "Alvin" yang penyebarannya sudah diprediksi ilmuwan, namun pemerintah menolak melakukan tindakan preventif karena pemilu akan segera tiba. Tidak butuh kemampuan membaca subteks mumpuni untuk dapat memahami sasaran kritik filmnya.
Sepertinya yang terakhir, sebab sekali lagi, The Sadness tak pernah benar-benar tertarik untuk bercerita. Dan memang tidak wajib. Bukan cerita yang menjadikan film ini salah satu horor zombie paling sakit dalam beberapa waktu terakhir, melainkan cara Jabbaz, selaku sutradara, membungkus gorefest.
Dibarengi efek spesial memukau, hampir seluruh detail diperlihatkan, termasuk dalam contoh-contoh adegan yang saya sebut di paragraf awal. Ketika darah memuncrat, kulit mengelupas, atau usus terburai, semua terpampang jelas. Bahkan tumpukan mayat pun seolah wajib didesain semengerikan dan semenjijikkan mungkin. Jabbaz tahu cara melahirkan imageries yang berdampak.
The Sadness adalah tontonan yang tidak menahan diri urusan kekerasan dan kebejatan, sampai deretan sekuen di 30 menit pertamanya saja bisa dipakai sebagai klimaks oleh film-film kebanyakan. Cerita tipis ditambah penokohan ala kadarnya, membuat titik-titik kala kekerasan absen terasa hambar. Untungnya penurunan intensitas itu jarang terjadi.
Para zombie mewakili sisi liar manusia. Virus bukan mengubah manusia, namun meniadakan moralitas yang selama ini mengunci keliaran tersebut. Terbukti, di sini kita sempat melihat pertikaian, juga kekejaman, yang berlangsung tanpa campur tangan virus. Itulah mengapa selain brutal, The Sadness juga mengerikan. Sesuatu yang makin jarang dimiliki zombie flick.
Kebanyakan film zombie tampil seru, pun acap kali menyenangkan, karena penonton berpikir ada peluang untuk selamat. Pertanyaan "Apa yang harus dilakukan?" berkeliaran di otak, sembari kita mengimajinasikan best-case scenario andai kiamat zombie sungguh terjadi. The Sadness berbeda. Tidak ada best-scenario. Tidak ada manusia waras yang mau terjebak di dunia buatan Rob Jabbaz. Ancaman bukan berasal dari monster tak berotak. Ancamannya adalah manusia dalam wajah terburuk mereka. Didukung tata rias yang efektif meski sederhana, tiap melihat mata para zombie, rasanya bagai menatap iblis yang bersemayam dalam hati umat manusia.
(Shudder)
REVIEW - TILL WE MEET AGAIN
Jika anda memercayai cinta sejati, bahwa sedemikian kuatnya rasa cinta sampai mampu meruntuhkan sekat pemisah apa pun, maka adaptasi novel Yue Lao buatan Nine Knives ini adalah tontonan sempurna. Meraih 11 nominasi di Golden Horse Awards 2021 (memenangkan Best Makeup & Costume Design dan Best Sound Effects), Till We Meet Again bicara soal cinta yang membuat konsep hidup-mati jadi tak relevan di hadapannya.
Dibuka saat Aaron (Kai Ko) tewas tersambar petir, kita langsung dibawa menyusuri kreativitas konsep filmnya. Aaron diberi dua buah pilihan oleh petugas akhirat yang bekerja bak pegawai administrasi kantor pemerintah, lengkap dengan komputer dan setumpuk berkas. Dia bisa bereinkarnasi, meski tak sebagai manusia karena catatan kehidupannya kurang baik, atau memilih salah satu profesi, yang dapat dipakai untuk menabung kebaikan. Aaron mengambil opsi kedua.
Profesi yang ia pilih adalah dewa cinta. Bersama si partner, Pinky (Gingle Wang), bersenjatakan benang merah ajaib, Aaron bertugas menyatukan sepasang manusia (apa pun gendernya bukan masalah). Kalau mau, bisa saja mereka memasangkan manusia dengan makhluk, atau bahkan benda apa pun, sebagaimana diperlihatkan salah satu momen komedi paling lucu sekaligus ekstrim film ini.
Berlatar dunia fantasi penuh visual cantik serta ragam desain karakter menarik, babak pertamanya jadi fase perkenalan yang menyenangkan. Aaron dan Pinky awalnya saling membenci, selalu saling ejek, bahkan di tengah tes-tes unik selaku ujian bagi para calon dewa cinta. Playful!
Bukan berarti penuturannya tanpa masalah. Naskah karya sang sutradara, Giddens Ko (You Are the Apple of My Eye), kesulitan menyatukan berbagai subplot. Ada tentang arwah jahat misterius (Umin Boya) yang menebar kematian di dunia manusia, juga wanita bernama Xiao Mi (Vivian Sung) yang selalu tampak gamang. Perpindahan antar kisah berlangsung amat cepat, membuat penuturannya mengalir kurang mulus.
Barulah memasuki babak kedua, tatkala misteri tiap subplot mulai tersibak dan saling terhubung, penceritaan Giddens Ko menemukan pijakannya, termasuk dalam memadukan aneka genre, dari fantasi, komedi romantis, hingga horor berdarah. Terutama romansa, selaku penyumbang rasa terbesar Till We Meet Again.
Romansa penuh rahasia, di mana setiap rahasia bukan cuma berfungsi sebagai pemberi efek kejut, pula menegaskan betapa besar cinta dalam hati karakter-karakternya. Di sini, cinta adalah sumber kekuatan, dan kekuatan cinta tak bisa dilawan. Tapi cinta juga terkadang menuntut pengorbanan, pun dapat meninggalkan rasa sakit.
Biarpun sentralnya romansa, bentuk lain cinta turut film ini munculkan, yaitu cinta yang berasaskan kepedulian antar makhluk hidup. Familiar dengan kisah pelacur yang masuk surga berkat memberi minum seekor anjing? Till We Meet Again punya cerita serupa. Bagaimana satu kebaikan kecil nyatanya berdampak luar biasa besar, baik bagi si penolong maupun yang ditolong.
Memasuki third act, presentasinya sesekali terganjal penceritaan kurang rapi, ketika Giddens Ko (lagi-lagi) kelabakan saat menangani banyak peristiwa yang terjadi bersamaan sehingga tidak jarang membingungkan, namun kelemahan tersebut sanggup dibayar lunas oleh kemampuan sang sutradara mengolah rasa. Entah di paparan cinta monyet lugu nan manis beriringkan lagu legendaris Qing Fei De Yi, atau klimaks epiknya, yang jadi salah satu sekuen romansa terdahsyat dalam beberapa waktu terakhir.
Kai Ko adalah aktor yang mampu menguras air mata penonton lewat air matanya sendiri, Gingle Wang tampil menggelitik sekaligus simpatik, sedangkan Vivian Sung mendefinisikan ketulusan mencintai. Di tangan ketiganya, cinta tak hanya kata-kata manis, tetapi pertemuan dua (atau beberapa) hati yang menanti untuk dipertemukan, dipersatukan, meskipun harus melalui perpisahan, bahkan kematian.
REVIEW - MAN IN LOVE
Stigma remake sebagai wujud minimnya kreativitas adalah pemikiran dangkal. Walau eksistensi "cashgrab remake" tidak bisa dipungkiri, ada beberapa hal bisa dicapai dari membuat ulang karya lama. Sebut saja modernisasi, proses alih budaya (terutama jika dibuat oleh negara lain), eksperimen terhadap visi yang berbeda, atau memperbaiki kekurangan versi aslinya.
Man in Love, selaku remake film Korea Selatan berjudul sama yang rilis tahun 2014, sekilas cuma cashgrab. Apa yang bisa dieksplorasi dari drama tearjerker formulaik? Ternyata banyak. Chih-Chung Chien dan Lyra Fu selaku penulis naskah, tahu plus-minus film aslinya, lalu mempertahankan (bahkan memperkuat) keunggulannya, sembari memperbaiki deretan kelemahannya. Man in Love bak remedial yang berhasil.
Keseluruhan ceritanya masih sama, yakni tentang cinta Ah Cheng (Roy Chiu) si penagih utang, pada Hao Ting (Ann Hsu), seorang gadis yang "diwarisi" utang ayahnya. Alih-alih menagih, Ah Cheng berjanji bakal menghapus utang ayah Hao Ting, selama ia mau diajak berkencan. Meski awalnya terpaksa, lama-lama hati Hao Ting luluh oleh kebaikan tulus dari si preman.
Sama persis. Beberapa shot yang digunakan sang sutradara, Yin Chen-hao, pun serupa dengan kepunyaan Han Dong-wook. Di dua pertiga awal, modifikasi memang lebih subtil. Misalnya pertemuan perdana Ah Cheng dan Hao Ting. Sejak kali pertama tatapan mereka terhubung, kita tahu Ah Cheng sudah jatuh cinta. Alhasil insiden saat ia menyuruh anak buahnya membawa paksa ayah Hao Ting yang koma, hanya tampak seperti gertak sambal.
Bandingkan dengan versi Koreanya. Belum jelasnya perasaan si protagonis pria, pula durasi peristiwa yang lebih panjang, membuat dia terlihat sama kejamnya dengan penagih hutang biasa. Poin ini penting, sebab esensi Man in Love adalah, proses jatuh cinta seorang pria baik, yang terjebak di lingkungan buruk, sehingga menjadi buruk juga, dan tidak tahu cara mengekspresikan cinta. Pemberian latar belakang ekstra terkait alasan Ah Cheng menekuni profesi sebagai penagih utang, turut menguatkan kesan bahwa ia sejatinya orang baik.
Hal-hal ekstra itulah keunggulan utama filmnya. Entah kalimat ekstra, atau tambahan adegan, yang meski pendek, punya dampak besar. Salah satunya ketika Ah Cheng mengutarakan niat untuk menikahi Hao Ting. Bagaimana ia memahami hal apa yang berharga bagi sang pujaan, menegaskan kelembutan hati sekaligus kesungguhan cinta Ah Cheng.
Penampilan Ann Hsu, yang piawai menangani gradasi perasaan Hao Ting secara bertahap (dari wajah dingin nan ketus, kemudian senyum simpul mulai ia perlihatkan walau masih malu-malu), tidak jauh beda dengan interpretasi Han Hye-jin. Lain cerita bila menyandingkan Roy Chiu dan Hwang Jung-min. Keduanya mampu mencuri hati, melalui akting yang serupa tapi tak sama.
Kita tahu Hwang Jung-min adalah ahlinya dalam memerankan karakter "kacau", yang sekilas kurang bersahabat, namun begitu memamerkan senyum dan mata berbinar, seketika mampu meruntuhkan dinding emosi penonton. Gayanya senada dengan tearjerker khas Korea Selatan yang mengiris di tengah nuansa hangat. Sementara Roy Chiu mendekati figur gangster sinema Taiwan yang menyimpan tragedi di balik machismo mereka.
Artinya, selain "meremedi", Man in Love juga melakukan alih budaya. Poin ini terasa betul di sebuah adegan pemakaman. Perbedaan tradisi upacara pemakaman Korea Selatan dan Taiwan mengharuskan adanya modifikasi, namun tetap harus mempertahankan substansi serta dampak emosi. Di sini, Yin Chen-hao dan tim bukan cuma berhasil mempertahankan, tapi menguatkan. Momen itu tersaji lebih menyentuh. Lebih sakral.
Di third act, modifikasi meningkat, dan lagi-lagi, menjadikan remake ini tampil superior di hadapan karya aslinya. Penerapan struktur penceritaan non-linear yang lebih rapi (menghasilkan twist apabila anda belum menonton versi Korea), penghilangan bagian-bagian kurang penting supaya narasi lebih terfokus, sampai perihal motivasi karakter yang lebih berdasar (contoh: alasan Hao Ting marah besar ke Ah Cheng). Man in Love mungkin tetap sebuah tearjerker klise, baik di ranah romansa atau drama keluarga, namun ini pun bukti, mengapa tidak seharusnya semua remake dipukul rata, lalu dipandang sebagai bentuk kemalasan berkreasi.
Available on NETFLIX
REVIEW - LITTLE BIG WOMEN
Istilah "budaya ketimuran" kerap dibawa-bawa sebagai kedok mengekang kebebasan individu. Konon "orang Timur" harus bersikap sopan, lembut, berpakaian tertutup, dan sebagainya. Padahal, jika tidak dijadikan dalih pengekangan para konservatif kolot, istilah tersebut bisa dimaknai secara positif. Melalui karya-karya sineas Asia, dapat kita lihat perwujudan "budaya ketimuran" sesungguhnya, yang kaya akan nilai-nilai kultural, sensitivitas, kebesaran hati, dan tak ketinggalan, sebenar-benarnya spiritualitas.
Terkait persoalan di atas, film-film Taiwan belakangan makin menunjukkan taji. Sebagaimana A Sun tahun lalu, Little Big Women (sama-sama tayang di Netflix), yang diadaptasi dari film pendek berjudul Guo Mie (2017), juga mengetengahkan dinamika keluarga yang dibungkus penuh kehangatan. Di kedua versi, tokoh utamanya dimainkan oleh Chen Shu-fang, yang memenangkan Best Leading Actress pada Golden Horse Awards berkat perannya di film ini (juga Best Supporting Actress untuk perannya di Dear Tenant).
Lin Shoying (Chen Shu-fang) sedang menyambut ulang tahun ke-70, ketika sang suami yang telah menghilang selama 20 tahun, tiba-tiba meninggal di hari yang sama. Pesta perayaan pun berubah jadi pemakaman. Tiga puteri Lin berkumpul. Ching (Hsieh Ying-xuan) si sulung dengan kepribadian free-spirited yang tengah mengurus perceraian, Yu (Vivian Hsu) si dokter operasi plastik sukses yang datang membawa puteri remajanya, Clementine (Buffy Chen), dan Jiajia (Sun Ke-fang) yang tinggal sekaligus mengurus restoran bersama sang ibu.
Deretan rahasia masa lalu terungkap (beberapa kali muncul flashback guna memperlihatkan peristiwa-peristiwa penting), luka-luka lama yang belum sepenuhnya sembuh pun ikut terbuka. Apalagi saat Lin mengetahui keberadaan Tsai Meilin (Ding Ning), wanita yang selama ini merupakan kekasih mendiang suaminya. Sesosok ayah/suami yang doyan selingkuh, kemudian pergi tanpa pamit selama puluhan tahun, hanya untuk kembali pulang dalam kondisi tidak bernyawa. Mudah bagi penonton mengutuk dan membenci, namun apa yang dirasakan keluarganya tentu tidak sesederhana itu.
Sutradara Joseph Hsu menulis naskahnya bersama Maya Huang, berdasarkan kisah hidup neneknya, sebagai media menyampaikan bahwa membenci itu mudah, namun takkan menyembuhkan. Little Big Women membawa keempat tokoh wanitanya dalam proses memaafkan dan merelakan. Bukan demi yang meninggalkan dunia, tapi agar mereka yang masih harus melanjutkan hidup, memperoleh kedamaian serta kebahagiaan. Karena sejatinya, proses tersebut jauh lebih berat, lebih membutuhkan kekuatan dibanding melempar kebencian.
Fokusnya adalah kehangatan. Kehangatan itu timbul dari interaksi anggota keluarga, yang tentunya tidak melulu diisi pergunjingan, perdebatan, atau tetes air mata. Pastinya ada tawa. Di luar dugaan, Little Big Women punya selera humor yang cukup gila (dalam artian positif). Momen "adu doa" dan "kecoa" jadi beberapa highlight.
Naskahnya membagi ruang keempat tokoh wanitanya sama rata. Bahkan lima, sebab Clementine pun diberi jatah eksplorasi sesuai porsi, tanpa memaksa karakternya bertingkah terlalu dewasa. Lin tetaplah inti dari Little Big Women, dan Chen mampu menghidupkan figur ibu yang kerap keras kepala tanpa harus kehilangan simpati. Tidak kalah kuat adalah Hsieh, yang menambah dinamika, sebagai satu-satunya figur wanita dalam keluarga yang gemar mendobrak sekat-sekat atas nama kebebasan.
Selaku pembungkus performa gemilang jajaran pemain adalah sensitivitas Joseph Hsu, baik sebagai penulis maupun sutradara, seperti telah saya singgung di awal tulisan. Sensitivitas yang "sangat ketimuran", karena lekat dengan pemaknaan nilai kekeluargaan, pula spiritualitas. Contohnya ketika Lin mengikat benang merah di perut seorang wanita hamil (ada konteks lain dalam momen ini yang saya tidak bisa sebutkan). Sebuah kepercayaan yang dimaknai betul esensinya, yaitu sebagai ungkapan kasih sayang, alih-alih sebatas ritual yang dilakukan karena kebiasaan atau kewajiban.
Sedangkan sensitivitas lebih general dapat dilihat di berbagai adegan karaoke. Pertama, sewaktu di pesta ulang tahunnya, Lin menyanyikan lagu soal kehilangan sosok pasangan. Menjelang adegan usai, musik latar memudar, menyisakan suara Lin, memancarkan isi hatinya yang campur aduk. Dan rasanya tidak perlu membahas adegan penutupnya. Silahkan tonton sendiri dan selamat berurai air mata.
Available on NETFLIX
REVIEW - A SUN
Mendengar kesenduan musik buatan Lin
Sheng-xiang, rasanya tidak ada yang menyangka opening-nya bakal berujung pada peristiwa brutal penuh darah. Bahkan
karakternya pun takkan menyangka bahwa di situlah titik balik hidup mereka,
baik sebagai individu, maupun sebuah keluarga. Perwakilan Taiwan untuk gelaran
Academy Awards 2021 sekaligus penyabet enam piala di Golden Horse Awards 2019
(termasuk film terbaik) ini memang penuh kejutan, dalam paparannya soal
naik-turun kehidupan.
Peristiwa brutal di atas adalah ketika A-Ho
(Wu Chien-ho) bersama temannya, Radish (Liu Kuan-ting), memotong tangan seorang
pria di restoran. Walau sudah menimpakan mayoritas kesalahan pada Radish, A-Ho
masih harus mendekam di penjara remaja selama tiga tahun. Di luar, ibu A-Ho,
Qin (Samantha Ko), setia menguatkan sang putera. Sebaliknya, sang ayah, A-wen (Chen
Yi-wen), yang berprofesi sebagai instruktur di tempat kursus menyetir, begitu
marah hingga menolak mengakui A-Ho sebagai anak. A-wen memilih mencurahkan
perhatian kepada si sulung, A-Hao (Greg Hsu), yang sejak dulu dikenal
berprestasi.
Durasinya 156 menit. Cakupan kisahnya cukup
luas, dengan rentang waktu kurang lebih lima tahun dan jumlah karakter tidak
sedikit. Tapi berkat penulisan Chung Mong-hong (juga selaku sutradara) dan Chang
Yao-sheng, alurnya bergulir sangat rapi. Lompatan kisah antar tiap karakter
berlangsung mulus. Temponya jauh dari cepat, namun tidak stagnan dan terus
mengalir pasti. Pun penyutradaraan Chung Mong-hong yang disertai sensitivitas
tinggi bakal membuatmu terhisap dalam tiap momen, apalagi saat ia menaruh
kamera begitu dekat dengan wajah aktor guna memperkuat keintiman.
Sekilas A
Sun tampil bak air yang tenang bila dipandang dari permukaan. Tapi siapa
sangka, di dalamnya ada pusaran yang selalu siap kapan saja menarik kita hingga
ke palung terdalam. Berkali-kali kisahnya melempar twist, yang keberadaannya bukan gaya-gayaan semata, melainkan
menegaskan, betapa kita belum sepenuhnya mengenal karakternya. Betapa seseorang
belum tentu sepenuhnya mengenal segala sisi keluarganya.
Masalah bertubi-tubi mendera karakternya.
Bukan masalah sepele, karena beberapa di antaranya berkaitan dengan hidup dan
mati. Biar demikian A Sun bukan
suguhan yang mengeksploitasi kemalangan karakter. Bukan pula tontonan depresif yang
cuma tertarik menggiring kisahnya sekelam mungkin. A Sun memang menyampaikan bahwa tidak peduli sekeras apa pun usaha
kita bersembunyi, cobaan bakal terus menghampiri layaknya matahari yang pada
akhirnya menyinari semua tempat gelap. Tapi serupa matahari yang timbul dan
tenggelam, kesulitan (malam) akan berganti harapan (siang). A Sun tidak pernah menghilangkan cahaya
harapan.
Pendekatan itu menghasilkan dampak menarik
terhadap musiknya. Kuantitas gubahan Lin Sheng-xiang tidak banyak, namun satu
musik dapat memberi kesan beragam. Sekilas, semuanya terdengar melankolis. Tapi
di suatu kesempatan, melankoli itu sarat kedamaian, sementara di kesempatan
lain terasa pilu, bahkan tragis.
Performa jajaran pemainnya jadi keping
pelengkap. Hampir semua tokoh menyimpan rahasia. Memiliki dualitas. Dan
kompleksitas dinamika psikis tersebut mampu dihidupkan dengan kuat nan alami
oleh para cast. Pujian khsus patut
diberikan kepada Chen Yi-wen (memenangkan kategori Best Leading Actor di Golden Horse Awards). Nyaris sepanjang
durasi, A-wen digambarkan keras, kaku, dan cenderung egois. Tapi begitu tabir-tabir
mengenai dirinya mulai tersingkap, saya bisa merasakan tipikal figur ayah dari
akting sang aktor. Ayah yang tidak peduli sekeras apa pun, sesungguhnya selalu
siap membantu anaknya, meski itu dilakukan dari balik bayang-bayang.
Available
on NETFLIX