REVIEW - SUMMER OF SOUL
Pada 15-18 Agustus 1969, festival musik Woodstock digelar. Lebih dari 400 ribu orang tumpah ruah. Hanya berjarak kira-kira 160 kilometer, digelar Harlem Cultural Festival, yang antara 29 Juni hingga 24 Agustus menyuguhkan enam konser gratis. Sekitar 300 ribu penonton hadir, menandakan skala kedua pertunjukkan sejatinya tidak jauh beda.
Tapi saat Woodstock menjadi peristiwa bersejarah yang terus dirayakan hingga sekarang, Harlem Cultural Festival malah terlupakan. Ketika Woodstock melahirkan banyak tribute, termasuk dokumenter berjudul sama yang rilis setahun selepas konser, video rekaman Harlem Cultural Festival teronggok di basemen selama 50 tahun, tanpa satu pihak pun bersedia mempublikasikannya, meski telah dilabeli "Black Woodstock".
Apakah karena deretan musisinya kurang terkenal? Sama sekali tidak. Stevie Wonder, B.B. King, Nina Simone, The 5th Dimension, Sly and the Family Stones, dan masih banyak nama legendaris lain, tampil di Harlem. Bahkan Sly masuk dalam line-up Woodstock hari kedua.
Summer of Soul (...Or, When the Revolution Could Not Be Televised) selaku debut penyutradaraan Ahmir "Questlove" Thompson berusaha menjawab anomali di atas. Mengangkat rekaman video, yang jika ditotal berdurasi 45 jam, ke permukaan, dengan harapan, peristiwa bersejarah bagi orang kulit hitam ini juga terangkat ke permukaan, dan mendapat pengakuan semestinya.
Dilihat sekilas, narasi Summer of Soul terkesan biasa, tak ubahnya film konser kebanyakan, yang menampilkan pertunjukan di atas panggung, diselingi wawancara dengan deretan artis pengisi, pula para penonton yang tumbuh bersamanya. Tapi Questlove mampu menarik cerita kaya nan mendalam, menjadikan dokumenter ini lebih dari sekadar "film jukebox".
"Music can change the world because it can change people", demikian kata Bono U2. Kebenarannya pantas dipertanyakan, tapi menyaksikan Harlem Cultural Festival, saya berani menyebut, "music can unite people". Filmnya memberitahu kita terkait konteks di balik latar waktunya. Tahun 1969 merupakan tahun yang begitu berat bagi black community, khususnya mereka yang berada di Harlem. Rasisme merajalela, efek kematian Martin Luther King Jr. masih terasa, narkoba menggerogoti generasi muda, orang-orang terpecah belah.
Kemudian Tony Lawrence menginisiasi pelaksanaan festival, dan sejarah yang sayangnya dilupakan itu akhirnya tercipta. Mencari alasan di balik terlupakannya Harlem Cultural Festival bukan perkara sulit. Sebagaimana black history yang juga kerap dihapus, rasisme adalah penyebab. Itulah mengapa Questlove bukan berusaha menginvestigasi alasan hilangnya sejarah, melainkan menyerap cerita-cerita di baliknya.
Begitu banyak musisi beraksi di atas panggung, dan masing-masing menyimpan cerita. The 5th Dimension misalnya, yang memadukan black music dengan pop. Pilihan artistik itu membuat mereka disebut "white act", dipandang sebelah mata oleh komunitasnya sendiri. Melalui Harlem Cultural Festival, mereka ingin membuktikan diri, berharap dapat diterima. Ada juga barisan musisi gospel yang berkarya demi menyebarkan cinta dan Tuhan, pada era di mana banyak individu kehilangan arah.
Sly and the Family Stones mendobrak stereotip dengan tak mengenakan setelan jas rapi, punya pemain trompet wanita, sementara si penggebuk drum adalah seorang kulit putih. Semangat kesamarataan yang terpancar sempurna lewat lagu mereka, Everyday People.
Soul, blues, pop, gospel, berbagai genre melebur di festival ini. Di film ini. Menandakan bagaimana Harlem Cultural Festival meniadakan perbedaan latar belakang, gaya, dan ideologi. Bagaimana black community (dan Harlem), yang akibat propaganda kulit putih kerap dicap pelaku kekerasan pemecah persatuan bangsa, justru sanggup menyulut persatuan, hanya lewat konser musik yang tak memungut biaya. Sementara pihak negara dengan segala kekayaannya, gagal melakukan itu, lebih mementingkan perjalanan ke bulan ketimbang masyarakatnya.
Sedangkan beragam cerita para musisi, dari usaha menyebarkan cinta, agama selaku metode katarsis, peleburan genre musik tanpa mengenal sekat, dan lain-lain, bermuara di perihal persatuan tadi. Questlove tidak mengangkat kisah secara acak, namun memposisikannya sebagai sila-sila persatuan, memberikan gagasan besar bagi narasi Summer of Soul.
Selain aksi di atas panggung, di bawah panggung, ratusan ribu penonton yang datang pun mencuri perhatian. Perhatikan demografinya. Wanita, pria, remaja, orang dewasa, orang tua, bahkan anak kecil. Penonton Woodstock nampak homogen di hadapan Harlem Cultural Festival, yang juga bak jadi tempat transisi kultural, tatkala black pride makin tumbuh, yang turut terlihat dari dandanan serta pilihan busana.
Salah satu momen paling emosional tiba saat Nina Simone membawakan To Be Young, Gifted, and Black, sementara filmnya menuturkan cerita tentang Charlayne Hunter dan Hamilton Holmes, dua orang kulit hitama pertama yang diterima di University of Georgia. "There's a world waiting for you. Yours is a quest that's just begun".
Available on DISNEY+ HOTSTAR
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar