REVIEW - NO MAN OF GOD

Tidak ada komentar

Apa masalah utama film yang dibuat berdasarkan sosok pembunuh dalam kehidupan nyata? Karena berbagai alasan, banyak penceritaan berkedok "eksplorasi psikis" justru jatuh ke ranah glorifikasi. Sebagai salah satu nama paling populer, glorifikasi akan aksi Ted Bundy jelas kerap diangkat, dan tak luput dari permasalahan serupa. Dia adalah monster dengan kekejaman yang dipandang menarik, keren, "seksi". 

Kita perlu "suara" berbeda, dan melalui No Man of God, Amber Sealey selaku sutradara memiliki suara itu. Suara sineas wanita, yang melihat kebengisan Bundy memperkosa dan membunuh 30 wanita (jumlah yang dia akui, walau angka pastinya kemungkinan lebih dari itu), murni hal menjijikkan yang tak layak dirayakan.

Naskah karya Kit Lesser (nama pena C. Robert Cargill, penulis Sinister dan Doctor Strange), yang berpijak pada transkrip obrolan Bundy dengan agen FBI, Bill Hagmaier, dari 1984 sampai 1989. Hagmaier (Elijah Wood) merupakan agen muda yang bertugas melakukan profiling terhadap para pembunuh, mengadakan wawancara guna mengetahui isi pikiran mereka. Bundy (Luke Kirby) jadi target terbarunya. 

Sejak ditangkap tahun 1975, Bundy selalu mengelak mengakui segala perbuatannya. Tapi berbeda dengan agen-agen sebelumnya, Hagmaier berusaha memperlakukan Bundy seperti manusia "normal". Bukan iblis, bukan penderita gangguan jiwa. Setelah beberapa waktu, hubungan keduanya makin erat, sampai di titik Bundy menyebut Hagmaier sebagai sahabat. 

Miskonsepsi besar yang sering dilakukan penulis adalah menjadikan Ted Bundy figur monster. Makhluk bigger-than-life penuh kegelapan yang mustahil dipahami. Di situlah terjadi glorifikasi, baik disengaja maupun tidak. No Man of God sebaliknya, memposisikan Bundy sebagai manusia biasa. Tidak spesial. 

Bundy merasa dirinya spesial. Sebagaimana diyakini Hagmaier pasca pertemuan perdana mereka, Bundy enggan mengaku, namun secara tersirat ingin FBI tahu bahwa seluruh pembunuhan tersebut memang ia lakukan. Dia ingin dipandang hebat, luar biasa, besar, dominan. Prestasi No Man of God terletak pada keberhasilan melucuti mitos si pembunuh. Bahwa di balik kepercayaan diri dan aura intimidatifnya, Bundy tak lebih dari pria busuk. Seorang pecundang menyedihkan, yang kalang kabut, kehilangan kontrol diri seiring mendekatnya hari eksekusi pada 24 Januari 1989.

Bundy tidak spesial, dan karena itu aksinya pun bisa dilakukan siapa saja. Termasuk Hagmaier, yang digambarkan relijius. Dia rutin berdoa, pun salib menggantung di mobilnya. Tapi semakin jauh ia menyelami psikis Bundy, semakin jelas bahwa manusia tetaplah manusia. Pelayan Tuhan atau bukan, sewaktu batinnya goyah (atau bisa disebut "iman" jika memakai perspektif agama), hasrat kelam itu dapat bangkit. 

Sayangnya naskah No Man of God tak pernah begitu dalam menggali isi kepala sang protagonis. Kita tahu dia menemukan pemahaman atas Bundy, kita tahu perlahan godaan untuk berjalan di "jalur kegelapan" mulai mengintip, namun seperti apa pastinya dinamika psikis itu terjadi, titik mana saja yang berperan sebagai pemantik, cenderung kabur. Penonton cuma diajak "tahu", bukan benar-benar "paham".

Berlangsung sekitar 100 menit, No Man of God menghabiskan mayoritas durasi menampilkan obrolan dalam ruang interogasi sempit (mungkin beberapa dari anda bakal mengira film ini diangkat dari pertunjukan teater). Sealey jeli mengatur dinamika lewat pengarahannya, mengatur tempo supaya intensitasnya konsisten, tahu pasti harus menyorot "apa" dan "kapan" melalui kameranya. 

Penyutradaraan Sealey ibarat rel. Cenderung subtil, bertujuan menjaga agar film tetap bertahan di jalur, lalu membiarkan dua penampil utama menjadi pusat perhatian. Bundy versi Kirby mengingatkan saya pada orang-orang yang gemar berbicara "tinggi", pandai berakting, bersikap sok keren, demi menyembunyikan sosok aslinya yang begitu kecil. Sementara Wood tampil apik menampilkan pria yang yakin dirinya baik, alim, namun sejatinya amat rapuh. Ya, ada paralel antara kedua belah pihak.

Salah satu momen paling menonjol adalah ketika di tengah proses pengambilan gambar untuk acara bertema keagamaan, di mana Bundy diwawancarai mengenai motivasinya membunuh, Sealey mengalihkan fokus ke wajah asisten acara itu. Seorang wanita. Dia cuma diam, tapi wajahnya memendam amarah. Tangannya mencengkeram kuat clip board, bak menyalurkan emosi-emosi yang tertahan. Mungkin itu reaksi jujur Sealey, kala menyaksikan rekan-rekan sesama sineas melakukan glorifikasi atas aksi Ted Bundy.


Available on KLIK FILM

Tidak ada komentar :

Comment Page: