REVIEW - ESCAPE FROM MOGADISHU
Setelah lebih dari dua bulan, bioskop akhirnya kembali dibuka. Ada empat judul tayang perdana, plus F9 yang pemutarannya sempat terputus. Mana yang sebaiknya ditonton pertama? Mayoritas bakal menyebut The Suicide Squad, tapi bagi saya, jawabannya adalah Escape from Mogadishu. Karya terbaru Ryoo Seung-wan (The Berlin File, Veteran, The Battleship Island) si master blockbuster Korea Selatan ini, mengingatkan betapa theatrical experience bisa begitu emosional dan thrilling, sehingga tak tergantikan oleh medium apa pun.
Tahun 1991, Mogadishu, Somalia. Korea Selatan, diwakili sang duta besar, Han Sin-seong (Kim Yoon-seok), dan anggota intelijen NIS (dahulu ANSP), Kang Dae-jin (Jo In-sung), tengah melobi status keanggotaan PBB. Begitu pula Korea Utara, yang dipimpin duta besarnya, Rim Yong-su (Heo Joon-ho). Mereka bersaing, saling menjatuhkan, mulai dari mengirim preman setempat guna melancarkan serangan, hingga memainkan berita lewat media.
Sekitar 25 menit pertama dihabiskan untuk menggambarkan intrik kedua negara, yang sama-sama lupa tengah berada di negara rawan konflik. Benar saja, perang sipil memanas tatkala para pemberontak semakin jengah atas kediktatoran Presiden Siad Barre beserta militernya. Baku tembak pecah, suplai makanan menipis, akses komunikasi terputus, listrik mati, dan blokade terjadi di banyak tempat.
Seperti judulnya, fokus Escape from Mogadishu, yang naskahnya ditulis Ryoo Seung-wan dan Lee Gi-chel (The Thieves, Assassination), adalah soal upaya karakternya kabur dari Mogadishu. Tapi ini bukan kisah bertahan hidup biasa, sebab Korea Selatan dan Korea Utara mau tidak mau harus bahu-membahu, mengesampingkan intrik politik agar selamat.
Escape from Mogadishu meluangkan cukup banyak (bahkan agak terlalu banyak) waktu di second act, untuk menggambarkan sulitnya kedua pihak menaruh rasa percaya. Bahkan santap bersama pun harus dibarengi rasa khawatir, andai terdapat racun dalam makanan. Setelah transgender di Jane (2017), penyintas sinting di Peninsula (2020), prajurit bengis di Kingdom: Ashin of the North (2021), juga tentara kocak di serial D.P. (2021), Koo Kyo-hwan, salah satu rising star paling potensial Korea Selatan, kembali membuktikan punya jangkauan akting luas sebagai Tae Joon-ki, anggota MSS Korea Utara yang selalu mencurigai tiap gerak-gerik Korea Selatan.
Ada sebuah peristiwa yang bagi saya sangat bermakna, terjadi setelah dua perwakilan negara sepakat bekerja sama. Karena memiliki rekan politik berbeda, mereka harus berjalan terpisah guna mencari bantuan. Korea Selatan mengunjungi kedutaan Italia, sementara Korea Utara mendatangi kedutaan Mesir. Momen itu bak menyampaikan, biarpun reunifikasi belum terjadi, bukan berarti orang-orangnya tak bisa bersatu. Walau secara fisik terpisah, jiwa mereka disatukan oleh satu asas bernama "kemanusiaan".
Aksinya baru benar-benar memuncak di third act. Diawali taktik kreatif terkait "cara agar mobil mampu melewati terjangan peluru", Ryoo Seung-wan sekali lagi bak mencontohkan pada sutradara-sutradara blockbuster Hollywood, bahwa bujet ratusan juta dollar demi mendanai polesan CGI bukanlah kewajiban. Biaya film ini "cuma" 24 miliar won, atau sekitar 21 juta dollar, yang mana belum cukup untuk memproduksi The Conjuring 3.
Bersama Choi Young-hwan selaku sinematografer langganannya, Ryoo Seung-wan piawai membangun intensitas aksi melalui permainan kamera, yang memadukan pergerakan lincah (termasuk trik sewaktu kamera menembus mobil-mobil yang sedang melaju kencang), dengan shaky cam yang tidak pernah membuat penonton kesulitan mencerna peristiwa di layar, apalagi merasa pusing dan mual. Beberapa set piece berskala besar ada di sini, melibatkan kekacauan yang tertata rapi hingga ke ranah detail. Seolah set piece masih merupakan taman bermain bagi sang sutradara.
Ending-nya memberi konklusi sempurna pasca rangkaian ketegangan klimaksnya. Penutup penuh harapan nan emosional, mengenai iklim politis yang menghalangi ikatan kemanusiaan. Tapi selama ikatan itu terus hidup dalam hati orang-orang, bersama cerita-cerita indah tentang kebaikan antar sesama, konflik politik sekuat apa pun takkan mampu membunuh kemanusiaan.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar