REVIEW - AUM!
Satriya (Jefri Nichol), aktivis pergerakan reformasi, tengah kabur dari buruan militer. Kakaknya, Adam (Aksara Dena), yang merupakan anggota militer, memutuskan membantu Satriya dan menjadi desertir. Resolusi gambar rendah hasil tangkapan camcorder, ditambah pilihan shot saat adegan kejar-kejaran, membuat sekuen tersebut seperti diambil dari film aksi amatir buatan mahasiswa.
Lalu terungkap bahwa peristiwa tersebut adalah adegan film. Satriya dan Adam merupakan aktor, dengan nama asli Surya dan Bram. Ya, Aum! menampilkan film dalam film. Tepatnya, debut penyutradaraan Bambang Ipoenk KM ini mengambil bentuk mockumentary, berisi proses di balik layar pembuatan sebuah film independen.
Produsernya, Linda (Agnes Natasya Tjie), berambisi membuat karya agar publik memahami pentingnya reformasi. Tapi karena dilakukan di tengah gejolak politik, produksinya penuh keterbatasan. Bujet minim, alat minim, pun pengambilan gambar mesti sangat hati-hati. Beberapa kali Linda meminta krunya agar jangan bersuara, walau sedang membuat adegan "rusuh" seperti kejar-kejaran atau penggerebekan. Sebab bisa jadi, warga yang dengan polos bertanya "Lagi bikin apa ini?", atau penjual bakso yang kebetulan mampir, adalah mata-mata. Bukan cuma Linda, saya sebagai penonton juga dibuat ikut menaruh curiga.
Masalah bukan cuma soal keterbatasan, pula benturan ego antara Linda dengan Panca (Chicco Jerikho) si sutradara idealis. Panca, yang menyebut gayanya sebagai "Sinema Dialektika", kukuh mengulang pengambilan gara-gara persoalan unik (kalau tidak mau disebut aneh), misal gambar yang "terlalu bernyawa", akting yang "terlalu emosional", atau iringan musik yang "terlalu menyayat-nyayat". Jika gagal dituruti, ia tak segan mengamuk, memaki, bahkan melempar barang.
Aum! bakal makin menyenangkan bagi penonton yang pernah terlibat dalam produksi film atau teater (Panca mencetuskan adegan-adegan sureal berlatar panggung pertunjukkan, yang diambil di gedung Societet Militair tempat saya pernah menggelar pentas beberapa kali, sehingga membangkitkan banyak memori), yang serba terbatas dan penuh tekanan. Amukan-amukan Panca memang menciptakan iklim kerja kurang sehat, namun itu jamak terjadi. Mungkin Bambang Ipoenk KM dan Gin Teguh juga sedang melakukan curhat colongan melalui naskah buatan mereka.
Demi menyebar kabar ke publik internasional, Linda melibatkan Paul Whiteberg (Mr. Richard), jurnalis asal Amerika Serikat guna merekam proses (yang footage-nya kita tonton). Ketika tensi antara Linda dan Panca makin memanas, dibuatlah dokumenter, di mana tiap pemain dan kru diwawancarai terkait konfliknya. Di situ kita bisa mempelajari detail tiap tokoh, walau sebenarnya tak sebegitu esensial, sebab rekaman making-of "aslinya" sudah menyediakan cukup informasi.
Jefri Nichol tampil solid menghidupkan dua sosok berbeda, yakni Satriya si karakter aktivis yang meletup-letup, dan Surya si aktor yang cenderung diam sembari menuruti instruksi sutradara. Tapi penampil terbaik Aum! tentu Chicco Jerikho. Segala amarah sekaligus passion miliknya ketika mengarahkan detail, yang terpancar baik dari tuturan verbal maupun gestur, bakal mengingatkan ke sosok-sosok yang sempat anda temui jika pernah terlibat di proses produksi film atau teater.
Aum! jelas bertujuan mengkritisi rezim otoriter pengekang kebebasan berkarya. Menariknya, walau departemen artistiknya, baik sinematografi hingga setting dan properti kental nuansa 90-an, pun iklim politik yang dibangun senada dengan era reformasi 98, film tak pernah secara spesifik menyebut tahun, atau nama presiden. Rasanya bukan (cuma) untuk menghindari potensi konflik, namun guna melempar pesan yang lebih luas, bahwa kondisi serupa pun masih kita alami di masa sekarang.
Menariknya, beberapa sikap karakternya justru mencerminkan target kritik mereka. Linda berteriak menentang korupsi, tapi menyogok karyawan kebun binatang agar diizinkan mengambil gambar. Dia pun memotong adegan-adegan yang menurutnya tidak sesuai dengan tujuan film, tanpa sepengetahuan Panca, layaknya pemerintah yang membredel karya-karya karena dianggap meresahkan. Sementara Panca, tak ubahnya diktator bertangan besi.
Gambaran "kita menjadi apa yang kita benci" ini amat menarik, punya kompleksitas lebih, thought-provoking, dan sejatinya, sudah kerap terjadi di realita. Sayang, twist di tiga menit terakhirnya menghapus kompleksitas tersebut, menggiring filmnya ke pesan yang lebih "aman". Tidak keliru, sebab toh pada dasarnya Aum! memang dibuat untuk melempar pesan tentang betapa licik dan berbahayanya para pemegang kuasa, walau ada potensi menggali lebih dalam lagi. Bukan twist yang buruk pula, karena berbagai petunjuk sudah disebar (termasuk soal pemilihan topeng macan).
(Bioskop Online)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar