REVIEW - STILLWATER

2 komentar

Mengenakan topi, berjanggut lebat, mengendarai truk usang, kurang sensitif terhadap kultur asing, menyebut american football sebagai "the real football", memiliki tato elang di lengan, Bill Baker (Matt Damon) bisa dibilang gambaran pria konservatif Amerika Serikat. Dia tidak memilih kala pemilu akibat punya catatan kriminal, tapi andai diberi kesempatan, kita tahu siapa yang bakal dipilihnya. 

Stillwater adalah kisah tentang protagonis yang "sangat Amerika", namun di tangan Tom McCarthy (The Station Agent, Spotlight) selaku sutradara sekaligus penulis naskah (bersama Marcus Hinchey, Thomas Bidegain, dan Noé Debré), filmnya dipresentasikan secara "tidak terlalu Amerika", lewat alur lambat, dan durasi panjang, pula konklusi kelam yang tak memberi jawaban pasti. Sebab memang tiada kepastian melegakan bagi permasalahan tokoh-tokohnya.

Bill adalah seorang roughneck (pekerja kasar) di tambang minyak. Dia tinggal seorang diri, melakukan rutinitas standar warga kelas pekerja Amerika. Sampai satu demi satu fakta mengenai hidupnya terungkap, ketika Bill terbang ke Marseille, Prancis. Istrinya meninggal bunuh diri, sementara puteri tunggalnya, Allison (Abigail Breslin), memasuki tahun kelima dari total hukuman penjara sembilan tahun, sebagai terdakwa pembunuhan terhadap Lina, gadis keturunan Arab yang juga kekasihnya.

Allison kukuh menyebut bahwa pelakunya adalah orang lain. Tentu Bill percaya. Ketika sang pengacara menolak melanjutkan kasus karena minim bukti, Bill nekat mengurus segalanya sendiri, biarpun ia berada di negara asing yang sama sekali tak ia mengerti bahasanya. 

Bill, dengan segala arogansi dan ignorancy khas Amerika, bukanlah sosok likeable. Dia tidak peduli andai penyelidikannya dirasa menginvasi privasi maupun dipandang kurang sesuai dengan adat setempat. Saat menemui seorang saksi mata yang pernyataannya penuh ujaran kebencian terhadap orang keturunan Arab, Bill tidak terganggu, dengan alasan "sudah sering menemui hal serupa di tempat kerja". 

Berkat dua poin, kita bisa bersimpati padanya. Pertama, soal motivasi. Bill menyayangi Allison adalah kepastian, tapi lebih dari itu, ia terdorong untuk membuktikan kepantasannya. "He's a fuck up", kata Allison tentang sang ayah, yang baginya tak berguna dan  berulang kali merusak hidupnya. Bill bukan berusaha sok pahlawan guna mencuri hati sang puteri, melainkan enggan jadi pecundang yang (kembali) tak berdaya menyelamatkan orang tercinta.

Kedua, apalagi kalau bukan akting Matt Damon, yang memanusiakan sosok Bill, memberinya kerapuhan yang berkontradiksi dengan citra machismo pria konservatif Amerika. Damon memikat, sebab ia tampil kasual, alias tidak perlu meledak-ledak mengekspresikan rasa frustrasi. 

Walau cukup disayangkan ketika beberapa subteks seputar isu rasisme dan homphobic sebatas jadi latar tanpa eksplorasi serta dampak berarti, Stillwater menyimpan kekuatan lain terkait penceritaannya. Alurnya kaya. Hampir di tiap titik ada materi untuk diamati dan/atau pengungkapan fakta baru. Pun Stillwater kerap menempuh jalur tak terduga, tanpa harus memposisikannya sebagai twist bombastis. Bagi McCarthy, kejutan di sini bukan twist, melainkan bagian dari berlikunya perjalanan hidup. 

Semisal, saat muncul timeskip selama empat bulan, yang keberadaannya cukup melawan pakem. Kebanyakan film serupa bakal menyelesaikan kisah dalam jangka waktu singkat demi menjaga intensitas. Stillwater, selaras dengan tempo lambatnya, memilih meluangkan waktu. Karena, perguliran waktu esensial untuk proses karakternya. 

Waktu memberi kesempatan bagi terciptanya hubungan antara Bill dengan Virginie (Camille Cottin) dan puterinya, Maya (diperankan amat baik oleh aktris cilik berbakat, Lilou Siauvaud), untuk berkembang. Virginie adalah aktris teater yang tidak sengaja Bill temui di hotel, lalu membantunya sebagai penerjemah, sebelum akhirnya mereka tinggal bersama. Seiring waktu, Bill menemukan keluarga baru, kebahagiaan baru, namun apakah ia siap memulai kehidupan baru?

Penyutradaraan McCarthy cenderung meredam letupan emosi, pun tempo lambatnya sempat draggy di beberapa titik, tetapi secara keseluruhan, permainan pacing-nya solid. Bergerak pasti walaupun pelan. Memang terasa panjang, namun begitu usai, saya tidak mengira filmnya berjalan selama 140 menit. Stillwater adalah tipikal film di mana penonton cukup duduk, mengamati, menerima, lalu membiarkan perjalanan karakternya yang sarat dilema dan ambiguitas moral, meresap dengan sendirinya. 

2 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Setuju, filmnya lama tapi gak kerasa lama

Visible Man mengatakan...

Plot twist nya lumayan bikin kaget, moment terbaik memang waktu deket dengan keluarga virginie