REVIEW - STORY OF DINDA: SECOND CHANCE OF HAPPINESS

5 komentar

Saya menikmati Story of Kale: When Someone's in Love (2020) Mungkin lebih dari mayoritas penonton lain. Perlu dibuat? Tidak, namun tetap sebuah pelengkap solid bagi semesta Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini, sekaligus bukti bukti kejelian Visinema mengembangkan waralaba. Story of Dinda: Second Chance of Happiness adalah kasus berbeda. 

Ibarat susu, Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (2020) diperah dengan teknik mumpuni, pula berasal dari sapi berkualitas, sementara Story of Kale menjadi upaya mengumpulkan sisa-sisa susu yang masih layak dikonsumsi. Tapi dalam Story of Dinda, susu itu benar-benar sudah kering, dan si pemerah tetap memaksa sampai si sapi mengerang kesaktikan, sembari ia mengais susu-susu yang berceceran di tanah. 

Menurut Angga Dwimas Sasongko, sejak awal Visinema memang berniat menuturkan cerita melalui dua perspektif. Menyaksikan hubungan tidak sehat antara Kale (Ardhito Pramono) dan Dinda (Aurelie Moeremans) dalam film sebelumnya, apa perlu ada penjabaran lain terkait alasan Dinda mengakhiri romansa mereka? Kalau iya, seberapa signifikan perspektif baru itu?

Rupanya di tengah konfliknya dengan Kale, Dinda bertemu dengan Pram (Abimana Aryasatya), teman Nina (Cantika Abigail), yang merupakan adik Argo (Arya Saloka), kekasih abusive Dinda di Story of Kale. Pram telah memiliki istri, tetapi pernikahannya bermasalah. Pram menyimpan rasa, begitu pun Dinda, yang belajar soal pentingnya kebahagiaan diri sendiri dari si pria karismatik. 

Ya, itu saja isi skenario buatan M. Irfan Ramli (Love for Sale, Generasi 90an: Melankolia, Story of Kale). Bisakah melahirkan eksplorasi mendalam mengenai hubungan maupun self-love? Tentu bisa, namun presentasinya amat dangkal. Tidak heran filmnya hanya berjalan selama 59 menit.

Dituturkan menggunakan alur non-linear, yang terus berpindah antara masa lalu kala Dinda dan Pram baru berkenalan, dan masa kini ketika Pram mengajak Dinda menjalani hidup baru bersamanya di Jerman. Mereka bicara, bicara, bicara, guna saling bertukar kegundahan.

Ada banyak obrolan, tapi minim dialektika. Pram mengajari Dinda agar mengejar kebahagian miliknya, Dinda membandingkan Kale yang posesif dengan Pram yang memberinya ruang kebebasan. Perbincangan stagnan di konteks-konteks tersebut, dikemas secara repetitif, bak sebuah sekuen 5-10 menit yang terus diulang dan dipaksa bergulir berkali-kali lipat lebih lama. 

Kenapa Dinda akhirnya mengakhiri hubungannya dengan Kale? Karena ia sadar, kebahagiaan miliknya juga penting, yang mana sudah Dinda pahami sejak paruh pertama film. Tidak ada tahapan-tahapan mengenai proses Dinda belajar memahami, kemudian menerima hal tersebut. Andai Story of Dinda dijadikan film pendek berdurasi 20 menit pun rasanya tidak ada perubahan berarti.

Saya sepenuhnya mendukung niat meraup keuntungan lewat waralaba. Lewat sekuel, spin-off, dan sebagainya. Saya pun beranggapan, bahwa suguhan OTT memang sebaiknya sederhana, singkat, sehingga dapat dinikmati sambil bersantai di rumah. Tapi Story of Dinda sudah melewati batas. Tidak berlebihan kalau disebut "keterlaluan".

Naskahnya dangkal, sedangkan di kursi sutradara, Ginanti Rona (Midnight Show, Anak Hoki) juga tak menambah kekuatan penceritaan (biarpun dengan materi yang didapatkan, rasanya bakal sulit untuk berbuat lebih). Satu-satunya penyelamat adalah duet Abimana-Aurelie. Interaksi mereka nyaman diikuti, kadang membuat saya lupa kalau obrolannya repetitif. Terutama Abimana, yang meski dua tahun absen berakting sejak Gundala, masih memikat lewat cara tutur "meneduhkan" khasnya. Abimana masih aktor Indonesia favorit saya, pun merupakan elemen terbaik film ini, tapi tolong, jangan buat Story of Pram jika pembuatannya mengais paksa sisa-sisa susu seperti ini. 


(Bioskop Online)

5 komentar :

Comment Page:
sindi mengatakan...

menurut gue film ini sama yang pertama mirip film the souvenir deh bang.sama-sama film yang bercerita tentang cewek yang berusaha lepas dari pacarnya yang "rusak" dan di sekuelnya berusaha move on.tapi kayaknya beda kualitasnya ya.

btw emangnya bakal ada story of pram gitu bang.moga aja dah bukan tentang "mencari dari arti kebahagiaan"lagi.

Panca mengatakan...

Ya story of dinda seharusnya memang tidak perlu ada dan cukup di Kale aja,dan kalaupun bicara waralaba sepertinya story of dinda sudah agak lompat dari semesta NKCTHI.Dan kalau mau mengembangkan dari semesta NKCTHI kenapa tidak menceritakan tentang Aurora, rasa kesepian Aurora sepertinya bisa lebih perlu diselami dan lebih menarik.

Sebentang Kisah mengatakan...

NKCTHI seharusnya bukan sebuah universe yang harus dikembangkan. saya rasa dengan adanya film ini, NKTCHI dan Story of Kale jadi tidak ekslusif lagi, karena yang seharusnya misteri, tidak lagi menjadi menarik karena semua teka-teki seperti tidak diserahkan pada penonton_kesannya itu kayak 'mau tahu jawabannya? tunggu film selanjutnya.' ini bagus di industri tapi kurang untuk kalangan penikmat film itu sendiri_menurut saya.

Rasyidharry mengatakan...

Saya sih silahkan, mau dikembangin jadi universe lebih luas. Prinsipnya, sebagai penikmat film, juga harus aware & peduli sama perkembangan industri lokal. Tapi sebaliknya, produsen juga tetep harus memperhatikan kualitas produk

Kol Medan mengatakan...

Irfan ramli anak ideologis pramoedya ananta toer