REVIEW - ELIO

Tidak ada komentar

Belum sampai lima menit film ini bergulir, tangis saya sudah jatuh melihat si protagonis yang wajahnya pun dibasahi air mata. Elio (Yonas Kibreab) namanya, bocah 11 tahun yang tak menangis layaknya "karakter kartun". Hanya setitik air mata mengalir di pipi Elio, sementara hatinya merenungkan kesepian yang menghantui. Mungkin ia sendiri tidak sepenuhnya memahami alasan kepiluannya. Ada kalanya kita berada di kondisi serupa. Kedalaman jiwa manusia memang tak kalah misterius daripada jagat raya. 

Sebagaimana karya-karya terbaik Pixar, Elio memahami kompleksitas emosi manusia. Adegan di atas memperlihatkan Elio berbaring di semacam planetarium di kantor bibinya, Olga (Zoe SaldaƱa), yang tergabung dalam kesatuan angkatan udara. Elio yang sebatang kara sepeninggal kedua orang tuanya, terhipnotis oleh hipotesis bahwa umat manusia tidak seorang diri di alam semesta. Dia berharap alien menculiknya, membawanya pergi ke dunia di mana ia diinginkan oleh para penghuninya.

Kelak harapan itu jadi kenyataan, walau sedikit berbeda dari apa yang Elio imajinasikan, di mana ia malah terjebak di tengah konflik luar angkasa, yang turut membawanya menjalin persahabatan unik dengan makhluk dari Hylurg bernama Glordon (Remy Edgerly). Saya tak menyebutnya "alien", karena bagi Glordon pun Elio merupakan alien. Semua hanya perihal perspektif. Pastinya, mereka sama-sama teralienasi di tempat tinggal masing-masing. 

Momen saat Bumi pertama kali disambangi oleh makhluk ekstraterestrial yang menciptakan gangguan bagi beragam benda elektronik serta berjasa menghapus skeptisme dalam diri Olga, memancarkan atmosfer mencekam nan magis khas film bertema "kunjungan alien". Trio sutradaranya, Madeline Sharafian, Domee Shi (Turning Red), dan Adrian Molina (Coco) kentara mengerjakan pekerjaan rumah mereka di adegan tersebut. 

Begitu pula Julia Cho, Mark Hammer, dan Mike Jones selaku penulis naskah. Close Encounters of the Third Kind (1977) buatan Steven Spielberg terkenal lewat tagline-nya yang berbunyi "We are not alone", yang hingga kini seolah jadi kalimat wajib dalam film mengenai invasi alien. Elio mengambil kalimat yang bersinonim dengan kengerian itu menjadi sesuatu yang lebih bermakna, dengan menerapkannya dalam perjalanan protagonisnya mengusir rasa sepi.

Sewaktu kisahnya mengajak penonton bertualang menjauhi Bumi, biarpun Elio dan Glordon adalah duo yang mudah dicintai, alurnya sebatas melempar suguhan buddy comedy generik. Luar angkasa dengan segala keanehannya tidak lebih dari pernak-pernik visual yang memikat mata akibat minimnya eksplorasi. Padahal pembangunan dunia kerap jadi keunggulan Pixar. Sebaliknya, Elio mencapai fase terbaik tiap alurnya menjalin koneksi dengan kehidupan di Bumi. Di situlah ia sukses mengawinkan elemen fiksi-ilmiah dan drama humanis dengan apik.

Saya kembali meneteskan air mata di babak ketiga tatkala Elio yang tengah melayang di orbit Bumi akhirnya diyakinkan bahwa ia tidaklah seorang diri. Bagi individu yang sudah terlalu lama terkurung dalam rasa sepi, ucapan "Kamu tidak sendiri" ibarat gaya tarik gravitasi yang menjaganya supaya tak terbang mengawang-awang di ruang hampa bernama "kesendirian".

Tidak ada komentar :

Comment Page: