REVIEW - CANDYMAN

3 komentar

"It's important to me that we can tell black stories without it being about race", demikian ucap Jordan Peele kala mempromosikan Us (2019). Itulah mengapa Us spesial. Sebuah horor yang menormalkan eksistensi karakter kulit hitam, serta mendahulukan pencapaian kualitas genrenya ketimbang presentasi isu sosial. Di Candyman, Peele yang mengisi kursi produser sekaligus menulis naskah bersama bersama sang sutradara, Nia DaCosta, dan Win Rosenfeld, berbuat sebaliknya. 

Bukannya keliru. Apalagi isu milik Candyman memang penting, dengan tingkat relevansi tinggi. Menjadi kurang tepat kala penyampaian pesan tersebut diprioritaskan sebelum hal paling mendasar: melahirkan suguhan horor solid.

Film in berstatus sekuel bagi Candyman (1992), yang tak menganggap keberadaan Farewell to the Flesh (1995) dan Day of the Dead (1999). Berlatar 27 tahun pasca film pertama, kita dipertemukan dengan Anthony McCoy (Yahya Abdul-Mateen II), seniman yang tinggal di Chicago bersama kekasihnya, Brianna Cartwright (Teyonah Parris), seorang direktur galeri seni. Jika sudah menonton versi 1992, pasti anda tahu identitas Anthony sesungguhnya. 

Demi mencari inspirasi untuk karya terbarunya, Anthony meriset sebuah legenda urban mengenai Candyman, si pembunuh mistis bersenjatakan tangan kait, yang muncul bila seseorang memanggil namanya lima kali di depan cermin. Konon, Candyman merupakan arwah gentayangan Sherman Fields (Michael Hargrove), yang tewas pada 1977 akibat tindak kekerasan polisi rasis. Sebagaimana banyak seniman yang tenggelam terlalu dalam saat berkarya, obsesi mulai menguasai jiwa Anthony, sementara di saat bersamaan, satu demi satu korban Candyman berjatuhan.

Meski berstatus sekuel, film ini sejatinya kental aroma reboot, terkait cara naskahnya merekonstruksi ulang penokohan Candyman. Jalan yang dipilih cukup cerdik, di mana alih-alih retcon, Peele dkk. cenderung memperluas mitologinya, mengembangkan tindak rasisme terhadap satu individu dari film aslinya, menjadi trauma kolektif akibat kekerasan pihak pemegang otoritas. 

Tapi pengembangan mitologi ini bak pisau bermata dua. Kisahnya rumit, bahkan kadang lebih rumit, lebih membingungkan dari semestinya, karena presentasi yang kurang rapi. Padahal, salah satu kunci legenda Candyman adalah kesederhanaan. Kita tak takut pada setan hasil ritual persembahan manusia, karena tak pernah melakukan itu. Lain cerita dengan menyebut nama Candyman di depan cermin. Kita semua bisa. Saking gampangnya, seolah itu benar-benar nyata. Tapi apakah kita berani melakukannya?

Daripada mengeksplorasi kengerian tersebut, Candyman lebih tertarik mendalami isu rasisme. Pemandangan menjijikkan, misalnya tangan yang membusuk atau kondisi tubuh yang berpotensi men-trigger para pengidap trypophobia, sesekali mengisi layar, namun secara keseluruhan, biarpun diberkahi musik buatan Robert A. A. Lowe yang terdengar bak perwujudan rasa cemas, juga akting solid Yahya Abdul-Mateen II, film ini termasuk horor yang pelit teror. 

Nia DaCosta punya talenta merangkai visual cantik (termasuk penggunaan animasi bergaya shadow play guna menggantikan flashback), namun ia belum piawai menebar teror. Bukannya fokus pada kebrutalan, DaCosta malah terlampau berusaha membuat aksi-aksi Candyman tampak estetis (pan out ke luar gedung tempat terjadinya pembantaian, memakai refleksi cermin kecil). Baru di third act-nya film ini benar-benar unjuk gigi. Third act berdarah yang turut berperan selaku jawaban tegas atas rasisme dan kekerasan polisi. Sayangnya, momen tersebut datang terlambat. 

Tapi alasan terbesar mengapa versi 2021 ini tidak seseram pendahulunya adalah "hilangnya" Tony Todd, si pemeran asli Candyman, yang cuma muncul sebagai cameo jelang akhir. Candyman adalah Tony Todd. Titik. Tony Todd dengan postur menjulang nan intimidatif, Tony Todd dengan ekspresi yang bisa membuat sekujur tubuh merinding, Tony Todd dengan lebah-lebah yang keluar dari mulutnya. Tony Todd tidak perlu riasan wajah berlebihan. Dia cukup berdiri, dan si calon korban langsung tahu, apa itu "rasa takut". 

3 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

bang seskali review film horor indonesia, judulnya roh mati paksa

Anonim mengatakan...

Bang,kira kira abang bakal review ritual:the series karya azhar kinoy lubis apa nggak bang? Kok banyak yg bilang bagus. Ingin tahu pendapatnya bang

Anonim mengatakan...

Saya kira Candyman mengandalkan gory scene yang fenomenal. Maklum pun belum pernah nonton prequel nya. Terlalu biasa lah pokonya hahaha ditambah boring parah pas di pertengahan