REVIEW - ETERNALS

18 komentar

Eternals dibuka oleh teks mitologis, tentang dikirimnya 10 Eternals oleh Celestial (di komik merupakan salah satu ras pertama di alam semesta) bernama Arishem, sekitar 5000 tahun SM, guna menumpas monster yang disebut Deviant. Muncul kesan yang belum pernah ada di film MCU lain. Layaknya epos, daripada kisah pahlawan super kekinian.

Bukan cuma pembukaannya saja, seluruh presentasi film garapan Chloé Zhao ini, hingga ke momen penutupnya, memang berbeda dengan judul-judul Marvel Studios sebelumnya. Kesepuluh jagoan kita pun, ketimbang superhero, rasanya lebih cocok disebut "utusan Tuhan", dalam kisah bernuansa spiritual tentang proses mempertanyakan keimanan.

Mari berkenalan dulu dengan para Eternals. Ajak (Salma Hayek) selaku pemimpin dengan kekuatan penyembuhan, Kingo (Kumail Nanjiani) bisa menembakkan sinar kosmik dari tangannya, Sprite (Lia McHugh) mampu menciptakan ilusi, Phastos (Brian Tyree Henry) sang penemu, Makkari (Lauren Ridloff) sang pemilik kecepatan super, Druig (Barry Keoghan) sanggup memanipulasi pikiran, Gilgamesh (Don Lee) si Eternal terkuat dari segi kemampuan fisik, Thena (Angelina Jolie) si prajurit legendaris, Sersi (Gemma Chan) dengan kemampuan memanipulasi materi lewat sentuhan, dan terakhir, ada Ikaris (Richard Madden) yang perkasa.

Bisakah karakter sebanyak itu diperkenalkan, lalu tampil menarik hanya dalam satu film? Nyatanya bisa. Setidaknya, masing-masing memiliki ciri yang mudah diingat, baik berkat penokohan di naskah atau penampilan pemainnya. Chan adalah figur ethereal, Jolie bak dewi tangguh berharga diri tinggi, sedangkan akting Hayek, sebagai "sosok ibu", memunculkan komparasi menarik dengan perannya di Hitman's Wife's Bodyguard, bukti bahwa ia merupakan aktris versatile. 

Selama ribuan tahun, selain menumpas Deviant, Eternals juga membantu perkembangan umat manusia, khususnya terkait ilmu pengetahuan. Tentu sejarah mencatat eksistensi mereka, dan di sini penonton akan tahu asal-usul kisah Ikaros dan Athena versi MCU. Mereka pun boleh menjalani hidup sebagaimana manusia. Misalnya seperti Kingo yang terkenal sebagai bintang Bollywood, atau Sersi yang menjalin romansa dengan manusia biasa bernama Dane (Kit Harington). Tetapi ada satu aturan: Eternals pantang mencampuri konflik umat manusia. 

Dari situlah sumber dilema berasal. Selama ini, para Eternals setia pada Arishem, menuruti perintahnya tanpa sekalipun mempertanyakan, serupa kesetiaan manusia terhadap Sang Pencipta. Ketika suatu fakta terungkap, timbul krisis keimanan. 

Naskah karya Chloé Zhao, Patrick Burleigh, Ryan Firpo dan Kaz Firpo, secara tajam menyampaikan cerita soal bagaimana makhluk (termasuk manusia), berhak mengutamakan hidup mereka di atas "takdir" yang telah digariskan penciptanya, meski itu bertentangan dengan kepercayaan yang dianut selama ini. Tidak ada "pengorbanan atas nama kebaikan yang lebih besar". Zhao berdiri bersama kemanusiaan.

Kesan humanis tersebut turut nampak dalam kesan diversit-nya terkait penokohan. Phastos menjadi superhero gay pertama di MCU, sementara Makkari berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat (juga yang pertama kalinya ada superhero tuli di MCU). 

Tapi Zhao bukan sedang menampik spiritualitas. Apalagi Eternals sendiri digambarkan bak mesias dengan segala keajaiban yang mereka pakai guna menuntun umat manusia. Zhao tidak melawan "higher power", namun menyampaikan, bahwa spiritualitas dapat disentuh tanpa harus mengerdilkan kemanusiaan, walau secara ukuran, manusia tidak ada apa-apanya dibanding semesta. Di situlah terjadi peleburan narasi dan visual. Apabila narasi Eternals (jiwa) "membesarkan" kemanusiaan, visualnya (raga), senada dengan karya Terrence Malick (dan meninggalkan kesan serupa Dune milik Denis Villeneuve), menggambarkan masifnya semesta. Indah, megah, magis. 

Ada setumpuk cerita yang Eternals ingin sampaikan, khususnya perihal mitologi. Meski perpindahan latar waktunya beberapa kali kurang rapi, pun naskahnya agak terlalu bergantung pada eksposisi, paparan mitologi ini, selain memperluas cakupan MCU ke ranah kosmik yang kompleks, juga luar biasa menarik. Mengikat. Durasi 157 menit seolah berlalu begitu saja.

Elemen di atas penting, mengingat Eternals tidak mengandung spektakel sebanyak film MCU biasanya. Tentu bukan berarti filmnya melulu tampil serius. Komedi tetap mengiringi, yang mana jadi panggung bagi gaya deadpan Brian Tyree Henry, juga Harish Patel sebagai Karun si pelayan Kingo, yang secara mengejutkan, mencuri perhatian sebagai manusia biasa di tengah para dewa. 

Eksekusi aksinya cukup solid. Zhao jelas mengambil beberapa inspirasi dari Zack Snyder (minus gerak lambat), baik dalam karakterisasi Ikaris yang bak Superman (kekokohan fisik serta gestur Richard Madden makin memperkuat kesan ini), hingga baku hantam yang meletup-letup layaknya meriam. Terlebih, Eternals mempunyai Don Lee alias Ma Dong-seok alias "Korean One Punch Man", yang sanggup merobohkan Deviant sekali pukul.

Puncak pertarungannya mungkin agak antiklimaks, sebab film dengan cakupan kisah seluas ini patut diberi klimaks berskala lebih besar, namun di sisi lain, itu bisa dimengerti, mengingat aksi terakhirnya memang soal "menghentikan" alih-alih "menghancurkan". Jangan lupakan pula mid-credits scene dan post-credits scene, yang menampilkan beberapa tokoh penting untuk masa depan MCU (termasuk cameo suara yang mungkin akan terlewatkan identitasnya).

18 komentar :

Comment Page:
Mukhlis mengatakan...

wah, berarti nggak sejelek yang kritikus bilang ya, bang? Ane sempet pesimis soalnya sama nih film, entah kenapa nilai film ini renda di rotent.tomater.
Its okay laah, fix kamis ini nonton.

BTW (SPOILER, katanya itu di kredit scene suaranya blade ya, bang?)

Anonim mengatakan...

Alhamdulilah review nya positif

Anonim mengatakan...

Harry styles nongol auto teriak penonton di bisikop gw������

Anonim mengatakan...

Harry styles nongol auto teriak penonton di bisikop gw🤣🤣🤣

Opick mengatakan...

Justru gw ngeliat konfliknya antiklimaks banget celestial dengan segala kekuatannya bisa di hentikan "cuma" pake unimind,,trus gimana nasib ikaris ya?🤔

Rasyidharry mengatakan...

Uni-mind itu bener. Sesuai sama komiknya dalam hal power. Dan kayak udah ditulis, kesan antiklimaksnya bisa dipahami karena tujuannya. Cuma emang bakal lebih seru kalo wujud uni-mind disamain kayak di komik. Walaupun lagi-lagi, emang ada tujuan di perubahan itu (biar Sersi jadi sentral)

Bigs mengatakan...

Cinematografinya bagus, ceritanya bapuk.

Indra mengatakan...

Bang Rasyid, sebelum saya memutuskan untuk menontonnya, saya mau tanya, apakah sensor LSF nya terasa? Jika terasa, apakah cukup mengganggu (seperti halnya Hell Boy atau Mortal Kombat)?

Rasyidharry mengatakan...

Hmm Hellboy & MK sendiri udah beda level yak. Hellboy itu ancur banget. Udah nggak layak tonton. MK masih banyak yang lolos. Dari kuantitas, Eternals emang lumayan banyak, tapi yang dipotong semuanya adegan ciuman. Beberapa sedikit ngaruh ke emosi, tapi karena film ini emang bukan jualan ciuman, (beda sama Hellboy yang aslinya jualan violence), jadi nggak terlalu berdampak

Novita mengatakan...

Masih maju mundur mau nonton ini, thanks reviewnya!

Indra mengatakan...

Bang Rasyid, mo nanya hal umum, apakah jika suatu film ditetapkan rating 21+ oleh LSF, apakah itu berarti film tersebut tidak kena sensor?

Anonim mengatakan...

Sensor tetap ada kalo kontennya mengarah ke pornografi. Kalo konten gore & violance mungkin masih aman

Rasyidharry mengatakan...

Yap, kurang lebih kayak jawaban di atas. Tim sensor yang sekarang cenderung "ramah" sama gore, tapi sensi soal sex. Tapi jelas, makin tinggi klasifikasi usia, makin dikit catatan dari lsf. Makin berpotensi filmnya ditonton anak, makin ketat juga sensornya macem film-film MCU (walaupun buat kasus Eternals, ada kemungkinan sensornya dari distributor. Mandiri)

Indra mengatakan...

Hmmm bukankah kekerasan berlebihan sama bahayanya dengan sex? Jika demikian, bukankah sensor kekerasan harus sama ketatnya dengan sex (walaupun 21+)? Kenapa LSF lebih memilih permisif pada kekerasan berlebihan daripada ketat untuk keduanya? Apakah perlu satu kategori baru agar film tanpa sensor (Misal namanya ER-Extremly Restricted)?

Unknown mengatakan...

Baru nonton kemarin, nggak seburuk direview, cuma yang jadi ikaris actingnya garing banget ya.

Anonim mengatakan...

[SPOILER]
Masih ada 1 yg ganjel Bang Rasyid soal penjelasan Eternal ga join lawan Thanos.
Tujuan Celestial & Eternals kan utk memastikan jumlah populasi di suatu planet terpenuhi utk kelahiran Celestial berikutnya. Tujuan Thanos jelas bertentangan & mengancam misi Celestial & Eternals. Jadi, kenapa mereka diam saja & ga melakukan sesuatu?
Penjelasan Eternals ga boleh ikut campur urusan manusia rasanya terlalu dangkal saja menurut saya. Buktinya, Druig yg ikut campur sekian lama ga dapet konsekuensi apa pun.
Bagaimana ceritanya kalau Avengers ga ada buat balikin jumlah populasi? Celestial & Eternals bakal sabar nunggu?

Anonim mengatakan...

bantu jawab si anonim. Kenapa Eternal ga join lawan Thanos meskipun itu tujuanya bisa mengancam dan menunda rencana, soalnya yang tahu tujuan asli waktu itu cuma Ajax, Arishem, sama Ikaris, dan kondisi Eternals sendiri lagi pecah juga kan udah kesebar, jadi gamungkin juga kalo Ajax tiba2 ngasih tau soal ini ke mereka, pastinya bakal chaos sendiri tim mereka. Satu2nya yang bisa campur tangan sebenernya ya si Druig, tapi keknya dia terlalu egois sama tempatnya sendiri dan udah ga peduli sama si dunia, si Phastos juga kan jadi emang semua Eternals keknya udah bodo amat aja sih. J

nizarranger mengatakan...

Film ini kayaknya tidak ada sangkut pautnya dengan Marvel Series ya?